Lingkungan pada hakikatnya dimaknai sebagai keanekaragaman segala jenis sumber daya yang dibutuhkan dalam perencanaan kehidupan yang berkelanjutan. Lingkungan dalam hal ini bukan hanya berbicara mengenai sumber daya yang dibutuhkan secara fisiologis tetapi mengarah pada sebuah perbuatan untuk membentuk dan merencanakan konsepsi dan rencana kehidupan. Ironisnya hakikat lingkungan dalam kenyataannya menggambarkan kondisi hutan dataran rendah dan hutan mangrove yang memprihatinkan. Jika ditinjau kembali pada peranannya, ekosistem mangrove memiliki fungsi yang vital sebagai pelindung pantai dari abrasi yang diakibatkan oleh gelombang pasang air laut, selain itu ekosistem mangrove memiliki manfaat secara tidak langsung dan manfaat secara langsung. Hutan mangrove sebagai non economic value memberikan kontribusi sebagai berikut; a) menangkap endapan dan membersihkan kandungan zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke laut, b) memberikan zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada di sekitarnya. Namun hal ini tidak selaras dengan orientasi dan praktik dalam menjaga kelestarian mangrove di Indonesia.
Bappenas (1993) menjelaskan bahwa hutan mangrove di Indonesia mulai lenyap sekitar satu juta ha antara tahun 1969-1980. Konversi hutan mangrove di Provinsi Jawa Timur banyak digunakan sebagai kawasan berbasis komersial. Keadaan tersebut menjadi memicu kerusakan hutan mangrove di Jawa Timur sebesar 40 persen. Wilayah pantai timur Kota Surabaya (Parmubaya) merupakan salah satu wilayah yang terindikasi mengalami kerusakan.
Kawasan mangrove di wilayah Parmubaya telah banyak diubah menjadi kawasan real estate, budidaya ikan payau pada kawasan wilayah pesisir Surabaya Timur, kawasan industri pada wilayah Surabaya Utara. Fenomena ini memicu turunnya kualitas lingkungan pesisir sehingga berdampak pada terganggunya ekosistem dan lebih dari 50 persen kawasan tidak berfungsi dengan optimal.
BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi
Eksploitasi dan konversi ekosistem hutan mangrove yang terus terjadi di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Gununganyar Kota Surabaya merupakan salah satu kondisi menurunnya luasnya ekosistem mangrove. Permasalahan ini dipicu oleh disorientasi tujuan tata kelola wilayah mangrove yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sehingga dapat mengancam keberlanjutan hutan mangrove itu sendiri. Konsep pengembangan konversi mangrove Wonorejo menjadi ekowisata mangrove tidak sesuai dengan orientasi ramah lingkungan.
Ekowisata mangrove yang dikembangkan sebaliknya merusak mangrove di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) penebangan banyak dilakukan pada jenis mangrove Sonneratia Alba, Avicennia Alba, dan Rhizopora Apiculata. Ketiga jenis tanaman ini mempunyai akar yang kuat dan tahan terhadap terjangan air laut. (b) minimnya kontrol penanaman mangrove pada kawasan ekowisata, (c) sarana dan prasarana yang dikembangkan seperti suara mesin perahu yang dikembangkan untuk wisatawan mengganggu habitat burung pemakan serangga di pantai timur Surabaya (Parmubaya), (d) desain pengembangan ekowisata yang tidak berpihak pada petani lokal. Fenomena yang terjadi menjelaskan bahwa adanya tumpang tindih antara arah kebijakan pelestarian ekosistem mangrove dengan tujuan tertentu dari kepentingan kelompok dalam sistem politik.
Upaya pengembangan ekowisata seakan menjadi bentuk tindakan pemusnahan ekosistem mangrove di kawasan Surabaya Utara. Hal ini menyebabkan dampak negatif bukan hanya pada ekosistem mangrove namun juga berimbas pada rusaknya ekosistem lainnya yang bergantung pada keberadaan mangrove, seperti ekosistem ikan dan udang yang menjadikan mangrove sebagai tempat reproduksi, ekosistem burung baik itu burung asli Indonesia maupun burung – burung dari luar negeri yang bermigrasi pada pohon mangrove. Sedangkan permasalahan lainnya yang akan timbul meluasnya tindakan ilegal masyarakat yang menjadikan kawasan tambak ikan dan udang. Fakta yang terjadi kemerosotan ekosistem mangrove di kawasan pantai timur Surabaya ini mengindikasikan kegagalan tata ekonomi dalam mewujudkan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan.
Ekosistem mangrove memiliki dwi fungsi dalam pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan yaitu fungsi ekologi dan fungsi ekonomi. Mangrove secara ekologi berperan sebagai tempat perkembangbiakan biota akuatik dan berfungsi sebagai sabuk hijau kawasan pesisir. Keberadaan ekosistem mangrove berperan besar dalam meminimalisir dampak abrasi dan menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan ditinjau dari aspek ekonomi, serangkaian produk turunan dari mangrove dapat dihasilkan antara lain; (1) produk olahan: makanan, minuman, obat – obatan dan bahan pewarna pakaian. (2) Kawasan sentra budidaya biotik akuatik, sehingga dapat mendorong roda-roda perekonomian kawasan pesisir. Pembangunan wilayah pesisir harus mengintegrasikan keberlanjutan fungsi ekologi dan fungsi ekonomi. Blue economy merupakan model ekonomi strategis yang dapat diimplementasikan pada kawasan wilayah pesisir.
Konsep blue economy berorientasi pada empat prinsip yaitu; (a) kekuatan dan potensi dari wilayah Wonorejo tersebut. (b) Nilai tambah ekosistem mangrove yang dapat menunjang pembangunan wilayah pesisir. Kebijakan pemerintah kota di wilayah pesisir harus dipadukan dengan kondisi wilayah pesisir tersebut. Sehingga industri yang dikembangkan pada kawasan konservasi mangrove berbasis pada perikanan, perairan dan produk olahan mangrove di wilayah Wonorejo. (c) Pemberdayaan berorientasi pada penguatan ekonomi masyarakat secara mikro. Masyarakat dalam hal ini bertindak sebagai subyek pembangunan. Perlunya penguatan kapasitas, pengetahuan dan keterampilan rumah tangga masyarakat pesisir dalam penguasaan faktor – faktor produksi dalam lahan perikanan dan kehutanan. Oleh sebab itu, penguatan ekonomi rakyat harus mampu menyentuh penguatan atas faktor – faktor produksi. (d) Prinsip berkelanjutan, konsep pembangunan kawasan wilayah pesisir pantai Timur Surabaya harus mengintegrasikan komponen ekonomi, ekologi dan sosial secara adil. Sehingga terjaminnya pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
BACA JUGA: Memperkuat Perhutanan Sosial dengan Kehati dan Kembali Ke Kearifan Tradisional
Model blue economy dalam pembangunan wilayah pesisir dapat diaktulisasi melalui pendekatan Triple Co. Triple co mengarah pada tiga prinsip utama yaitu co-ownership di mana wilayah pesisir dan kawasan mangrove merupakan wilayah yang dimiliki bersama oleh masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Hal ini menjelaskan bahwa kawasan ekosistem mangrove dan wilayah pesisir merupakan tanggung jawab bersama. Pengembangan kawasan strategis wilayah pesisir harus melibatkan peran aktif masyarakat pesisir, karena tanpa dukungan masyarakat lokal bukan hanya aktualisasi pembangunan yang gagal, namun juga memicu konflik yang berkepanjangan. Co-determination, adanya keterlibatan stakeholder dalam proses perencanaan pembangunan wilayah pesisir.
Masyarakat pesisir harus bertindak sebagai subyek pembangunan wilayah pesisir pantai timur Surabaya, sehingga akan memperkuat jaringan dan daya dukung dalam memelihara kualitas lingkungan pesisir. Co–responsibility, pengelolaan ekosistem mangrove bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga masyarakat pesisir. Pemerintah pusat, daerah, dunia usaha dan masyarakat pesisir harus secara terpadu merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pada kawasan ekosistem mangrove.
Oleh: Ayu Dwidyah Rini
Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Trilogi