[Jakarta, 23 Juli 2020] Pembangunan ekonomi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Model ini sangat rentan terhadap goncangan, sehingga harus segera bertransformasi. Dampak dari model pembangunan yang ekstraktif sudah nampak di depan mata, seperti kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi. Walaupun kejadian kebakaran hutan yang terjadi pada tahun belakangan ini tidak seekstrim tahun 2015, namun dibandingkan antara tahun 2018 dan 2019 terjadi kenaikan yang sangat signifikan dari 720 kejadian menjadi sekitar 3.700 kejadian kebakaran. Di sisi lain, anggaran untuk penanggulangan kebakaran di KLHK menurun. Ini adalah tantangan baik bagi pemerintah maupun kita semua.
Kondisi pandemi Covid-19 yang kita rasakan saat ini adalah goncangan terkini bagi perekonomian dunia. Dalam Global Risks Report 2020, diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi atau PDB Indonesia bisa mencapai 0% pada akhir tahun 2020. Namun, risiko yang lebih jangka panjang terhadap ekonomi global adalah permasalahan lingkungan, termasuk hilangnya ekosistem seperti hutan alam, gambut, dan mangrove, dan kegagalan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru yang dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 23 Juli 2020.
“Terkait pemulihan ekonomi nasional, fokus pemerintah ditekankan pada sektor kesehatan, ketahanan pangan, bantuan ekonomi dan sosial. Perlu dipastikan bahwa pemulihan ekonomi nasional yang dijalankan bisa memperkuat pondasi ekonomi Indonesia untuk bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan dan tidak merusak hutan. Dari anggaran PEN yang disediakan oleh pemerintah sekitar Rp 695,2 triliun, belum secara eksplisit menyinggung tentang transformasi ekonomi. Apakah paket stimulus yang sudah dibuat dan dianggarkan oleh pemerintah sudah dapat mengatasi ancaman-ancaman yang sedang dihadapi saat ini? Kondisi saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk mengubah arah pembangunan ekonomi Indonesia, masih ada kesempatan untuk “changing course” untuk bertransformasi menjalankan sustainable development. Harapannya arah pembangunan tidak lagi bertumpu pada eksploitasi Sumber Daya Alam dan lebih memprioritaskan pada pemulihan dan perlindungan lingkungan (green recovery),” tambah Nadia.
Sementara itu, Prof. Emil Salim, Pendiri dan Dewan Pembina Yayasan KEHATI yang menjadi pembicara kunci pada Diskusi tersebut menyampaikan bahwa perkayaan hutan menjadi kata kunci utama. “Kata kuncinya adalah perkayaan hutan. Bukan eksploitasi, tapi enrichment. Hutan dan pohon tetap dijaga, tapi resource dari hutan yang kita manfaatkan untuk perkayaan pembangunan,” papar Emil Salim. “Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Jangan kalah sama Korea yang terkenal dengan ginsengnya, kita pun juga bisa terkenal dengan hasil alam kita,” lanjutnya.
Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) mengatakan bahwa butuh keberpihakan yang lebih strategis mulai dari fiskal, regulasi dan keberpihakan politik untuk memberikan ruang bagi praktik-praktik dan kebijakan pro konservasi. “Ke depan, perlu endorsing dan literasi green economy ke partai-partai, parlemen, istana, media dan semua unsur masyarakat sipil,” kata Ronny P. Sasmita.
Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memberikan gagasan agar pencegahan Karhutla dapat menjadi Indeks Kinerja Utama Pemimpin Publik. “Pencegahan Karhutla bukanlah isu sektoral, karena itu semua elemen pemerintah daerah maupun pusat harus berkontribusi. Caranya, dijadikan Indeks Kinerja,” ujarnya.
Gagasan lain yang disampaikan oleh Joko Tri Haryanto adalah berkaitan dengan pendanaan untuk menjaga kelestarian hutan dan menciptakan keadilan lingkungan. “Perlu adanya skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) khususnya dari provinsi ke kabupaten/kota dan desa, atau yang disebut dengan Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan dari kabupaten ke desa lewat Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikenal sebagai Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi ( TAKE). Kondisi ini didasari fakta bahwa setiap tahunnya, pemerintah provinsi mengalokasikan dana fiskal ke kabupaten/kota melalui Bantuan Keuangan (Bankeu), Bantuan Sosial (Bansos), Hibah dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah.
Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Conservation Strategy Fund Indonesia menyampaikan gagasannya terkait upaya mencegah karhutla. “Pertama, perlu perombakan Sistem Integrated Fire Management (IFM) agar 80% fokus kerja dan anggaran ada di upaya pencegahan dan hanya 20% di pemadaman. Diperlukan Unit Pencegahan Karhutla sebagai unit khusus dengan pendanaan yang cukup. Kedua, menghapus semua dana pemadaman yang dapat berpotensi mendorong kebakaran karena tanpa kebakaran dana tersebut tidak dapat digunakan. Dana ini sebagian ada dalam anggaran KLHK, namun sebagian besar dalam bentuk dana ‘on call’ darurat yang dikelola BNPB. Ketiga, membuktikan pemerintah berani mengeksekusi keputusan pengadilan dalam bentuk denda triliunan rupiah pada perusahaan-perusahaan besar yang terbukti melakukan karhutla. Ketika langkah ini akan menyatukan arah insentif dalam penanangan karhutla menuju pencegahan karhutla”.
Perlunya transformasi pembangunan yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan inilah yang melatarbelakangi Yayasan Madani Berkelanjutan menggagas Gerakan #1000GagasanEkonomi. Gerakan ini diharapkan bisa menjadi pemicu sekaligus wadah untuk mengumpulkan dan menggaungkan gagasan-gagasan konkret terbaik anak bangsa untuk membangun ekonomi Indonesia ke depan tanpa mengorbankan lingkungan dan hutan, demi masa depan generasi mendatang. Mari berbagi gagasan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. [ ]
oooOOOooo
Narahubung:
– Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887