Bisnis dan Lingkungan kerap kali dianalogikan layaknya air dan minyak, dua hal yang tidak mungkin bersatu. Hal tersebut tidaklah salah, mengingat profit adalah tujuan utama dalam menjalankan bisnis. Sehingga, tidak jarang pelaku usaha tega untuk menumbalkan lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya.
Di sisi lain, terdapat aspek hukum yang mengeratkan bisnis dan lingkungan. Perusahaan diwajibkan untuk mengikuti aturan main yang ada di bawah payung peraturan hukum. Ide maupun pelaksanaan ekonomi berkelanjutan yang baik pun akan menjadi kurang efektif tanpa dilengkapi dengan kerangka hukum yang menunjang, layaknya taring yang tidak runcing. Sehingga saya kira diperlukan peraturan hukum untuk menjadi penyokongnya.
1. Hukum, Perusahaan dan Lingkungan
Dari segi hukum, peraturan di Indonesia mewajibkan para pelaku usaha tergantung dari dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya untuk memiliki dokumen-dokumen lingkungan hidup berupa (i) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), (ii) Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) atau (iii) Surat Pernyataan kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan juga (iv) Izin Lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2009, sebelum para pelaku usaha dapat menjalankan bisnisnya.
Idealnya, dengan adanya kewajiban perusahaan untuk memperoleh izin lingkungan sebelum menjalankan kegiatan usaha diharapkan akan mengurangi jumlah kerusakan lingkungan yang ada atau paling tidak mengurangi potensi timbulnya kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
BACA JUGA: Gagasan Prima Gandhi “Menggelorakan Usaha Agroedutourism”
Namun, kenyataannya di lapangan berkata lain. Kemudahan untuk memperoleh perizinan dan juga lalainya pengawasan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan menjadi salah satu faktor utama dari kerusakan lingkungan yang kerap terjadi.
2. Hukum Lingkungan dan Kenyataannya di Lapangan
Penerbitan perizinan lingkungan sekarang semakin mudah. Saya pernah mengurus izin lingkungan untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Perusahaan ini tidak tergolong usaha yang diwajibkan untuk memperoleh UKL-UPL atau AMDAL, sehingga saya hanya harus membuat surat pernyataan template yang juga dipakai oleh perusahaan-perusahaan lain, bahwa perusahaan tersebut akan menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Setelah melalui proses administratif yang sederhana, Izin Lingkungan perusahaan tersebut bisa terbit dan berlaku efektif.
Pemerintah juga semakin giat untuk mempermudah pengusaha untuk mendapatkan izin. Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, Izin Lingkungan dapat diterbitkan terlebih dahulu berdasarkan komitmen meskipun perusahaan belum memenuhi persyaratan untuk memiliki izin tersebut.
Terlebih lagi, kurangnya pengawasan pemerintah daerah, mudahnya manipulasi data dan tentunya politik uang merupakan “pelicin” terhadap kemudahan penerbitan izin tersebut. Perusahaan cukup duduk santai dan memastikan bahwa dana yang diperlukan tersedia.
BACA JUGA: Gagasan Emil Salim “Pembangunan Berkelanjutan”
Apabila anda melakukan pencarian di situs google dengan kata kunci “Perusahaan dan Kerusakan Lingkungan”, maka anda akan dihadapkan dengan ratusan, bahkan ribuan artikel yang membahas mengenai kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan di berbagai ruang lingkup usaha: baik dari industri, perdagangan, konstruksi maupun komoditas.
Lantas, apakah perlindungan terhadap lingkungan ini cukup sebatas mengantongi “izin” saja? Bagaimana jika kerusakan lingkungan terjadi ketika perusahaan telah mengantongi izin tersebut?
3. Hukuman terhadap Pelanggar, Efektifkah?
Kita kembali mengadu kepada hukum untuk menghakimi perusahaan-perusahaan yang telah merusak lingkungan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) dari Undang Undang Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Namun pada kenyataannya, berapa jumlah perusahaan yang benar-benar membayar ganti rugi tersebut? Untuk ruang lingkup pembakaran hutan di tahun 2019 saja, ganti rugi lebih dari 18 triliun belum dibayarkan oleh 11 perusahaan pembakar hutan. Sehingga, kita tidak bisa menunggu sampai pengusaha melakukan kerusakan lingkungan hidup dan hanya meminta ganti rugi.
Dapatkan gagasan Ruth Margaretha Ginting lebih lengkap dengan mengunduh gagasan yang tersedia di bawah ini.
Oleh: Ruth Margaretha Ginting
Pengacara di Kasih Hukum (NGO)