Pernyataan di atas terasa naif, bila dihadapkan pada realita, bahwa dimanapun, terlebih di Indonesia, membangun itu menghasilkan pula dampak negatif yang bahkan merusak. Kejadian banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan di banyak tempat di seantero negeri ini, nyaris menjadi langganan tahunan. Sedemikian “rutin”nya, sejumlah dokumen perencanaan pembangunan di beberapa provinsi dan kabupaten menampilkan berbagai kejadian itu semacam “profil kebencanaan”. Dampak demikian, seberapapun kecilnya, apalagi sampai merombak bentang alam (landscape) karena deforestasi dan degradasi hutan, misalnya, pastilah tak diinginkan. Namun faktanya, tidak terhindarkan. Artinya, hampir mustahil membangun dengan nol kerusakan.
Semakin naif pertanyaan itu, bila tidak cukup jelas dan tegas batasan terkait setidaknya dua hal dan menghubungkan keduanya: kinerja keberhasilan pembangunan yang ditargetkan dan kerusakan yang dapat ditolerir sebagai akibat yang tak terhindarkan dari kebutuhan mencapai target pembangunan itu. Perlu pula gambaran, batasan tadi sesungguhnya preferensi siapa dan seberapa sadar batasan itu disepakati sebagai kebutuhan dan kompromi nalar bersama para pihak pemangku kepentingan pembangunan. Proses menarik batasan itu menjadi keniscayaan, agar pertanyaan tidak terlalu naif dan logis untuk coba dijawab.
BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan Karya Prof. Emil Salim
Tulisan ini coba mengeksplorasi dan mengelaborasi dialektika substantif di atas. Tujuannya sederhana: memahami secara kualitatif seberapa kerusakan dapat ditolerir untuk serangkaian target pembangunan yang (idealnya) telah jadi kesepakatan para pihak itu. Lalu menarik implikasinya yang relevan dalam menjawab pertanyaan itu, terutama terkait pendekatan yang diperlukan. Eksplorasi ini penting, terutama bila basis pembangunan masih harus bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.
NARASI PEMBANGUNAN
Pemahaman akan batasan di atas dapat didekati setidaknya dari sejumlah diskursus sekaligus narasi terkait arah dan orientasi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Untuk itu perlu investasi guna membuka kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah (PAD), dan mendongkrak perolehan pajak dan devisa. Meningkatnya peran investasi menunjukkan adanya pergeseran ke arah struktur pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif. Investasi kemudian menjadi motor pertumbuhan baru. Maka investasi penting, dan hal-hal yang menghambatnya perlu diatasi. Peningkatan investasi membutuhkan stabilitas keamanan, selain kepastian hukum dan penegakannya.
Begitulah kiranya serangkaian narasi pembangunan yang sering kita dengar dan saksikan selama ini. Kesannya positif dan ideal, bahkan mulia: mengatasi kemiskinan sekaligus membangun kesejahteraan masyarakat. Namun, luput dari diskursus itu, antara lain batasan kerangka “kompromistis” alokasi SDA yang (akan) “diekstraksi” dan toleransi akan tingkat deplesinya; termasuk potensi kerusakan lingkungan. Ini menguatkan sinyalemen Prof. Emil Salim yang dalam banyak kesempatan sering sekali menyesalkan, bahwa arus utama pembangunan Indonesia selama dan sampai saat ini (2020), faktanya masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam dokumen RPJMN 2020-2024, antara lain disebutkan sasaran pembangunan, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan penekanan pada struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah, didukung sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.
BACA JUGA: Menghentikan Deforestasi Dengan Mencegah Karhutla Melalui Pembenahan Sistem Insentif
Rencana pembangunan ini mengarusutamakan Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 target, beserta indikatornya. Ini telah menjadi bagian dari agenda pembangunan Indonesia ke depan. Rencana pembangunan ini menjadi titik tolak mencapai Visi Indonesia 2045: Indonesia Maju. Maka penguatan proses transformasi ekonomi9 dalam rangka mencapai tujuan pembangunan 2045 menjadi fokus utama dalam rangka pencapaian infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, layanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Begitulah narasi pembangunan lainnya, sebagaimana telah tertuang resmi dalam dokumen formal itu dalam payung legal Perpres 18/2020.
NARASI KERUSAKAN ITU
Pada tataran paradigmatik, setidaknya dari sisi rules in form, rencana pembangunan di atas memperlihatkan target, sasaran, titik berangkat, dan tujuan yang secara kualitatif relatif jelas dan lengkap. Pembangunan berkelanjutan bahkan menjadi arus utama. Batasan pembangunan demikian memperlihatkan kadar optimisme: dengan arus utama SDGs pembangunan diyakini akan sustain. Dalam optimisme itu belum tergambar secara tegas narasi dan kadar kerusakan SDA dan lingkungan sebagai akibat dari pembangunan yang diagendakan.
Narasi “kerusakan” baru tersua di bagian-bagian lebih dalam dari dokumen dimaksud. Melihat sifatnya, narasi kerusakan yang mengemuka dapat diposisikan kedalam Ex-Ante dan Ex-Poste. Dalam bab-bab awal disebutkan, bahwa kerusakan itu telah (lama) berlangsung. Yang dimaksud antara lain sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Langkah lanjut atas narasi semacam ini lebih pada penanggulangan, pemulihan dan semacamnya (Ex-Poste). Dalam tabel yang sama tampak narasi kerusakan lainnya, bersifat potensi yang diduga menghambat. Langkahnya kemudian adalah antisipatif, berangkat dari ”apa yang akan dibangun” (Ex-Ante).
Baca lebih lengkap gagasan “Membangun Tak Merusak, Bisa?” karya Azis Khan dalam 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan dengan mengunduh dokumen tulisan yang tersedia di bawah ini.
Oleh: Azis Khan
Senior Research Fellow – Conservation Strategy Fund (CSF)
Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini: