Jakarta, 19 Mei 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung rencana pemerintah untuk
mempermanenkan perlindungan hutan alam dan gambut tersisa, pasca berakhirnya masa berlaku
INPRES tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut (Moratoroium Hutan) pada 17 Juli 2019.
“Diperpanjangnya kebijakan perlidungan hutan alam dan lahan gambut secara permanen memperbesar
peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif
Madani. “Namun, perpanjangan saja belum cukup. Jika ingin mencapai target iklim, pemerintah harus
memperkuat komitmen perlindungan hutan alam dan gamnbut dengan turut melindungi jutaan hektar
hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”
Riset World Resources Institute pada 2017 menunjukkan bahwa moratorium hutan adalah kebijakan
mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini dengan
melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO 2 pada 2030 sehingga target iklim
Indonesia bisa tercapai.
Data Pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa
sebanyak 43,3 juta hektare atau 48,4 persen hutan alam Indonesia dikategorikan sebagai hutan
sekunder yang terlepas dari perlindungan moratorium. Lebih dari setengahnya atau 24,8 juta hektare
diperuntukkan untuk eksploitasi dengan status hutan produksi. “Yang paling mendesak adalah
melindungi hutan alam yang masih bagus dan paling terancam,” ujar Anggalia Putri, Manajer
Pengelolaan Pengetahuan Madani. “Ada 3,8 juta hektare hutan sekunder berstatus Hutan Produksi
untuk Konversi (HPK), yang dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non-kehutanan seperti
perkebunan dan lain-lain. Pasca berakhirnya masa berlaku Moratorium, perlindungan secara permanen
hutan alam dan gambut seharusnya melindungi wilayah tersebut.”
“Kami berharap Pemerintah Indonesia periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan
hutan dengan cara mengakomodasinya dengan landasan aturan perundang-undangan yang lebih kuat
dan menuangkannya dalam rencana tata ruang nasional,” ujar Teguh. “Dengan demikian, ada garansi
hukum dan politik lebih besar untuk mencapai komitmen iklim dan juga dapat meminimalkan konflik di
masyarakat.”
Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih bersifat sementara
(moratorium). Madani juga mengkhawatirkan berbagai aturan pengecualian yang ada seperti
permohonan izin yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan
ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional. “Ada 31,2 juta hektare lahan tidak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah
dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan ex-
perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan
hutan,” ujar Anggalia.
Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, pemerintah juga harus mewaspadai emisi dari sektor
energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim
Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di
perundingan iklim COP-25 yang akan dilaksanakan di Chili bulan Desember ini,” tutup Teguh.