Peran Indonesia dalam COP26

Conference of the Parties ke-26 (COP-26) digelar di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober hingga 12 November 2021. Indonesia memiliki peran penting dalam konferensi tingkat tinggi perubahan iklim itu. Dikutip dari Beritasatu.com, 21 Oktober 2021, Duta COP26 untuk Asia Pasifik, Ken O’Flaherty, menyebut Indonesia yang memiliki hutan mangrove seluas 3,4 juta ha dan kekayaan nasional luar biasa lainnya, mempunyai potensi dalam mencegah terjadinya pemanasan global.


Seperti diketahui, Indonesia memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia (3.489.140,68 ha berdasarkan data 2015), yang setara dengan 23% dari ekosistem mangrove dunia. Selain itu, Indonesia mempunyai hutan tropis ketiga di dunia, yakni 843.200 km2 pada 2019 berdasarkan laporan Rainforest Foundation Norway 2021 tentang Status Hutan Tropis Dunia. Indonesia juga memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia (22,5 juta ha berdasarkan data Global Wetlands). 


Menurut Direktur Utama PT Rimba Makmur Utama, Dharsono Hartono, target 1,5 derajat celcius tidak akan tercapai tanpa kontribusi Indonesia. Ia berpendapat bahwa Indonesia yang memiliki lahan mangrove paling besar di dunia, serta sebagai negara kedua paling besar memiliki hutan tropis serta lahan gambut, membuat hal tersebut menjadi sangat strategis dalam mengurangi pemanasan global (Beritasatu.com, 21 Oktober 2021). 


BACA JUGA: Pentingnya Kebijakan Pembangunan yang Konsisten dengan Agenda Net Sink FOLU dan Mengakhiri Deforestasi Pada 2030


Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dewanti, mengatakan bahwa Dalam COP-26 Indonesia, mempunyai empat misi utama dalam COP-26. Pertama, implementasi NDC. Kedua, pemenuhan atau penyelesaian Paris Rulebook. Ketiga, pernyataan komitmen jangka panjang 2050. Keempat, menuju zero emission (Mediaindonesia.com, 21 Oktober 2021). 


Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Indonesia juga menyatakan komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius pada rata-rata global atau 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra industri (IESR.or.id). Agar dapat memenuhi target suhu yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, semua negara di dunia diharapkan agar dapat mencapai net zero emission pada 2050, termasuk Indonesia. Namun, Indonesia menyatakan baru akan mencapai net zero emission pada 2060. Hal itu terungkap dalam pemutakhiran NDC dan dokumen 2050 Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR). Dengan mundurnya target Indonesia sepuluh dari target 2050 itu, menurut laporan IPCC Sixth Assessment Report (AR-6), kesempatan untuk menstabilkan iklim menjadi makin sempit. Hal itu terlihat dari beberapa dampak krisis iklim yang sering terjadi. Peningkatan kejadian cuaca ekstrem mempengaruhi frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan  siklon tropis. Akibatnya, sejumlah infrastruktur rusak dan menimbulkan kerugian baik secara fisik maupun secara finansial. Berdasarkan hasil studi Bappenas, pada 2023 kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim mencapai Rp112.2 triliun (IESR.or.id). 


Dalam acara COP-26 pada 1 November 2021, Presiden Indonesia, Jokowi, berpidato selama empat menit. Dalam pidatonya, ia menyampaikan sejumlah klaim tentang komitmen Indonesia dalam perubahan iklim di dunia, antara lain, laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir; kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020; telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu ha pada 2024, terluas di dunia; telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 sampai 2019. Ia juga menyampaikan bahwa sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink selambatnya pada 2030. 


Klaim Jokowi itu dibantah oleh Greenpeace. Dikutip dari Greenpeace.org, 2 November 2021, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta ha (2003—2011) menjadi 4,8 juta ha (2011—2019). Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019—2021 tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya dari tahun 2002—2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta ha dari konsesi HTI dan 2,77 juta ha kebun sawit. Kemudian, lebih dari setengah total luas hutan mangrove dalam kondisi rusak, yaitu seluas 1.817.999,93 ha. Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta ha, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim. 


COP-26 dan Persetujuan Paris


Pada 2015 negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat persetujuan dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 (COP-21). Karena lokasi persetujuan itu berada di Paris, Prancis, persetujuan tersebut dinamai dengan The Paris Agreement, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Persetujuan Paris atau Perjanjian Paris.


Persetujuan Paris merupakan dokumen perjanjian global negara-negara di dunia mengenai kewajiban negara untuk turut serta melakukan kontribusi penurunan kenaikan suhu global. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa tiap negara berkewajiban untuk menyediakan dukungan dana dan teknologi untuk mendampingi masyarakat agar mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Setiap negara yang menandatangani kesepakatan tersebut harus menentukkan target dan langkah-langkah agar suhu bumi tidak naik dan sesuai dengan target bersama. Target-target tersebut diterjemahkan ke dalam dokumen yang disebut The Nationally Determined Contributions (NDC). 


Persetujuan yang mengawal reduksi emisi karbon dioksida itu efektif mulai berlaku sejak 2020. Ada tiga tujuan persetujuan itu dibuat. Pertama, menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat celcius dari angka sebelum masa revolusi industri, dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1.5 derajat Celcius karena pembatasan itu akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari perubahan iklim. Kedua, meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan. Ketiga, membuat suplai finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.


BACA JUGA: Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat


Persetujuan Paris mulai dibuka untuk ditandatangani pada 22 April 2016. Saat itu 174 negara, termasuk Uni Eropa, menandatangani persetujuan tersebut dan 15 negara langsung meratifikasinya. Sampai Juli 2021, Persetujuan Paris telah ditandatangani oleh 197 negara dan diratifikasi oleh 195 negara. Jumlah negara yang meratifikasi persetujuan itu jauh melampaui batas minimal berlakunya persetujuan tersebut. Sebagai informasi, Persetujuan Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca.


Indonesia meratifikasi Persetujuan Paris pada 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016. Selain itu, Indonesia sudah mengirimkan rencana penurunan emisi dalam NDC dengan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% tanpa syarat dan hingga 41% dengan syarat dari emisi business as usual (BAU) per 2030.


COP-26 fokus pada tujuan mempertahankan Persetujuan Paris. Dikutip dari CNNIndonesia.com, 3 November 2021, secara spesifik, ada empat tujuan COP-26. Pertama, menjaga komitmen batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius dengan pencapaian target pengurangan emisi pada 2030. Untuk mencapai hal tersebut, negara-negara peserta diminta untuk mempercepat penghapusan batubara, mengurangi pembabatan hutan, mempercepat peralihan ke kendaraan listrik, dan mendorong investasi untuk energi terbarukan. Kedua, beradaptasi untuk melindungi masyarakat dan habitat alami. Karena perubahan iklim memberi dampak yang bersifat merusak, COP-26 mendorong negara-negara untuk melindungi dan memulihkan ekosistem, serta membangun pertahanan untuk menghindari hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian, dan nyawa. 


Ketiga, mobilisasi keuangan. Untuk memenuhi dua tujuan awal, negara-negara maju harus memenuhi janji mereka untuk memobilisasi setidaknya US$100 miliar atau setara Rp1.426 triliun per tahun untuk menekan dampak krisis iklim di dunia. Keempat, kerjasama dan komitmen. Untuk mewujudkan mimpi bersama tersebut, negara-negara peserta diminta untuk bekerja sama dan mempercepat tindakan, melibatkan pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil tiap negara. Prioritas yang diangkat, dibicarakan, dan jadi bahan negosiasi dalam konferensi COP-26 ialah mengaktifkan ambisi perdagangan karbon, transparansi negara dalam tindakan dan dukungan pencegahan perubahan iklim, timeline dan komitmen pengurangan emisi, dan pencegahan dan minimalisasi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.


Sumber:

“Indonesia Usung Empat Misi di COP26” (Beritasatu.com, 21 Oktober 2021).

“Indonesia Usung Empat Misi di COP26” (Mediaindonesia.com, 21 Oktober 2021).

“Menuju COP 26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi” (IESR.or.id, diakses pada 5 November 2021). 

“Tanggapan Greenpeace Indonesia terhadap Isi Pidato Presiden Joko Widodo di Konferensi COP 26 Glasgow” (Greenpeace.org, 2 November 2021). 

“Apa yang Mereka Bicarakan di COP26 dan Mengapa Anda Harus Peduli” (CNNIndonesia.com, 3 November 2021).