Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumsel memiliki potensi besar, seiring target pemerintah menjadikan tanaman ini sebagai bahan baku utama Bahan Bakar Nabati (BBN).
Sebab, hingga 2021 Kementerian Pertanian RI mencatat ada sekitar 1,2 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Sumsel, dengan pertumbuhan luas perkebunan rata-rata diatas empat persen setiap tahunnya.
Berdasarkan angka tersebut, Sumsel saat ini berada di urutan ketiga provinsi di Sumatera yang memiliki luasan kebun kelapa sawit terbesar, sekaligus urutan keenam secara nasional.
Seperti diungkapkan oleh Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel, pertengahan Desember ini.
"Peningkatan lahan maupun produksi ini belum terhitung satu juta hektar lagi lahan kosong yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat," jelasnya.
Sebab dalam beberapa tahun mendatang, setidaknya Sumsel akan memiliki sekitar 3 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit, yang saat ini saja menurutnya sudah menyerap lebih dari 224 ribu petani (tenaga kerja). Hanya saja, kontribusi perkebunan kelapa sawit ini terhadap PAD Sumsel secara keseluruhan belum bisa disebut maksimal.
Pemerintah masih terus berupaya meningkatkan kontribusi ini lewat berbagai upaya. Selain terus mendorong adanya Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan, Pemprov Sumsel juga terus menggencarkan program kemitraan antara Pemda dan petani.
Apalagi saat ini, permintaan terhadap CPO sebagai hasil dari olahan sawit Sumsel ini terus mengalami peningkatan, sejalan dengan aktivitas masyarakat yang mulai kembali pulih setelah dihantam pandemi.
BACA JUGA: Peluang Mencapai Komitmen Iklim Indonesia Dengan Elaborasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati
"Dari sisi produktivitas, produksi Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO Sumatera Selatan juga mulai meningkat sejalan dengan kemarau basah yang meningkatkan produktivitas serta bertambahnya luasan tanaman mature setelah replanting," jelas Rudi.
Begitu juga dengan program kebijakan pengembangan BBN yang saat ini berlanjut, diperkirakan juga akan mendorong peningkatan kinerja industri pengolahan produk turunan kelapa sawit Sumsel. Meski belum sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan akan permintaan BBN itu.
Sebab menurut Rudi, dari luas perkebunan kelapa sawit di Sumsel sekitar 1,2 juta hektar baru sekitar 3,3 juta ton Crude Palm Oil (CPO), yang dianggap masih belum bisa memenuhi kebutuhan bahan baku B30.
"Saat ini saja belum mampu memenuhi kebutuhan hilirisasi produk kelapa sawit. Mulai dari untuk kebutuhan rumah tangga, bahan baku make up, apalagi untuk bahan bakar B30," kata Rudi.
Sehingga salah satu cara yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan Sumsel adalah mendorong dilakukannya hilirisasi yang potensial seperti rencana pembangunan pabrik biofuel yang dilakukan oleh Pemkab Musi Banyuasin.
Kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu daerah yang memiliki luasan wilayah perkebunan kelapa sawit terbesar di Sumsel. Pemkab Musi Banyuasin beberapa waktu lalu sempat menjadi sorotan setelah menjalin kerjasama dan nota kesepahaman dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait rencana pembangunan pabrik biofuel ini.
Dalam skenario prosesnya pembangunan pabrik ini, sempat akan dimulai di kawasan Kecamatan Sungai Lilin yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani agar bisa ikut mendapatkan manfaat dari proses hilirisasi yang dilakukan.
Hanya saja, proses ini sekarang masih belum bisa dikatakan berjalan. Sejumlah kendala sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Musi Banyuasin menjadi alasan.
Meskipun demikian, Pemkab Musi Banyuasin mengklaim saat ini sudah bisa memproduksi Industry Vegetable Oil (IVO) yang memenuhi standar untuk bahan bakar bensin sawit (bensat) dan avtur.
"Kabupaten Muba berkeinginan menjadikan pekebun sawit sejahtera, mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan," kata Sekda Kabupaten Musi Banyuasin, Apriadi mengutip statement Bupati Dodi Reza pada awal Februari 2021 lalu.
Apriadi menjelaskan, Pemerintah Kabupaten Muba juga berupaya mendukung Program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan mendeklarasikan Muba Sustainable Palm Oil Initiatif (MSPOI) dengan mengerucutkan sejumlah rencana aksi.
Saat ini dikatakannya, Pemkab Musi Banyuasin juga ikut berupaya mencegah deforestasi melalui moratorium izin baru dan peningkatan produktivitas dengan replanting, pendekatan lanskap melalui pendekatan satu kesatuan kawasan yang saling mempengaruhi dan memperhatikan area-area dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV).
Aktivitas petani sawit di Desa Bumi Kencana, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. (rmolsumsel)
Sehingga petani sawit ini diharapkan tidak menggarap lahan gambut melalui moratorium izin kebun di lahan gambut dan restorasi lahan gambut dengan rewetting, revegetation, revitalization bersama BRG dan KLHK.
"Target kita tetap, untuk bagaimana pabrik mendekati rantai pasok, dengan berbagai keuntungan positif lain seperti meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi ongkos transportasi," jelasnya.
Di sisi lain, lewat upaya ini, Pemkab Muba berupaya untuk mengurangi resiko (mitigasi) kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi di wilayah sumsel.
"Terakhir, kami ingin pabrik mendekati ke rantai pasok sehingga meningkatkan pendapatan petani dengan pengurangan biaya transportasi dan mengurangi emisi kendaraan dengan jarak tempuh yang pendek," ungkapnya.
Petani Sawit Muba Butuh Peran Aktif dan Komitmen Pemerintah
Tim Kantor Berita RMOLSumsel berkesempatan untuk berbincang langsung dengan salah satu petani kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin.
Mulyono, pria 31 tahun, yang telah sekitar tujuh tahun terakhir kembali ke kampung halamannya, Desa Bumi Kencana, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin ini, memilih untuk membantu orangtuanya mengurus kebun kelapa sawit seluas sekitar 5 hektar.
Diceritakannya, sebagian besar warga dan keluarganya merupakan transmigran di era 7-80an dan memulai kehidupan sebagai petani dan pekebun palawija di kawasan tersebut.
"Kalau untuk sawit, baru masuk diatas tahun 2000an. Semua mengalami pasang surut, sampai akhirnya masuk perusahaan dan mulai menghasilkan,"katanya.
Desa Bumi Kencana, dihuni sekitar 1.250 kepala keluarga. 60 persen diantaranya kini berprofesi sebagai petani sawit, sementara 40 persen lainnya merupakan petani karet dan berbagai tanaman produktif lain.
"Dari 60 persen petani sawit itu, 70 persen diantaranya merupakan petani plasma yang tergabung dalam koperasi Mukti Jaya yang terikat kontrak dengan PT Berkah Sawit Sukamaju (BSS)," ungkapnya.
Mereka sedikit lebih beruntung dibandingkan petani mandiri. Sebab, proses yang dijalani selama sekitar 10 tahun kebelakang, menurut Mulyono telah memberi manfaat signifikan.
Dulu, mereka yang tergabung dalam koperasi tersebut terikat kontrak dengan PT Hindoli, salah satu perusahan besar di kawasan Musi Banyuasin.
Namun, pada 2017 kontrak itu habis seiring menurunnya usia produktif kelapa sawit di kawasan tersebut. Sehingga pada 2018, dilakukan replanting lewat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Sejak saat itulah, lanjut Mulyono, petani mulai mendapat manfaat dan bisa mandiri. "Kalau dirunut, setelah penumbangan pada 2017, penanaman pada 2018, sampai saat ini sebagian besar sudah mandiri dan menghasilkan," katanya.
Beruntungnya Mulyono dan petani kelapa sawit lain yang tergabung dalam koperasi, mereka kerap mendapatkan pelatihan, bantuan subsidi pupuk dan beragam program lain baik dari pemerintah daerah maupun perusahaan.
Dengan usia sekitar 42 bulan sampai saat ini, Mulyono sudah merasakan bagaimana tanaman kelapa sawit ini cukup menghasilkan. Untuk tandan buah segar, rata-rata dalam satu hektar sudah menghasilkan 200 kilogram di tahun 2020.
"Sekarang dalam satu hektar sudah menghasilkan sekitar 1.200-1.300 kilogram dengan harga jual Rp2.900 perkilogramnya," terang Mulyono.
Jumlah produksi dan harga jual ini tentu bisa bertambah seiring dengan usia produktif kelapa sawit yang mencapai 25 tahun. Meskipun tidak bisa sangat menghasilkan, namun sementara ini Mulyono cukup tenang untuk urusan ekonomi keluarganya.
Ketimpangan terlihat jelas antara petani plasma dan petani swadaya (mandiri) seperti yang diceritakan Mulyono. Padahal, sebelum pandemi, Pemkab Musi Banyuasin berencana untuk membuatkan kelompok tani yang diharapkan bisa menaungi mereka yang bertani mandiri. Hanya saja, sampai sampai saat ini rencana itu tidak berjalan.
Mengutip studi yang dilakukan Ratnawati Nurkhoiry dan diterbitkan dalam International Journal of Oil Palm pada 2020 lalu, permasalahan yang dihadapi oleh para petani di saat pandemi adalah turunnya permintaan dan berimbas pada nilai jual.
Dalam penelitian itu juga disebutkan, turunnya permintaan dan harga jual ini membuat terjadinya perubahan dalam aktivitas para petani, sehingga mereka melakukan efisiensi di berbagai sisi kehidupan dan cenderung tidak memprioritaskan kualitas produksi.
Hal ini juga dirasakan oleh petani mandiri di kawasan Desa Bumi Kencana sehingga mereka yang tidak tergabung dalam kelompok tani ini lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di masa pandemi dibanding dengan memprioritaskan produksi.
"Misalnya kalau petani plasma di pemupukan satu kali dalam tiga bulan, di masa pandemi kemarin mungkin mereka hanya satu kali dalam setahun sehingga produksinya tidak maksimal," lanjut Mulyono.
Sehingga salah satu yang diharapkan adalah komitmen pemerintah untuk menghadirkan pabrik sawit untuk masyarakat. Termasuk pabrik biofuel yang digadang jadi yang pertama di Sumsel itu. Karena dengan adanya pabrik tersebut petani kelapa sawit di kawasan Desa Bumi Kencana ini akan ikut merasakan manfaatnya.
Selama ini, mereka menyebutnya dengan istilah 'beli putus', dimana petani hanya menjual TBS kepada perusahaan, atau tengkulak bagi petani mandiri. Dengan adanya pabrik, petani ini berharap bisa mendapat nilai dan manfaat lebih dari kelapa sawit sebagai hasil dari proses hilirisasi.
"Selama ini yang kita tahu sawit ini hanya bisa jadi minyak goreng. Kalau dibuat bahan bakar, tentu kita berharap bisa dilibatkan agar semakin sejahtera," ungkapnya.
Kolaborasi Strategi untuk Menyejahterakan Petani Sawit
Pada 2020 lalu kebun sawit rakyat berkontribusi sekitar 33 persen dari total produksi nasional sebanyak 48 juta ton. Melansir databoks.katadata.id, dengan produksi sawit sebesar 2,7 juta ton, Sumsel berada di peringkat kedua setelah Riau dan termasuk dalam lima besar provinsi penyumbang produksi sawit kebun rakyat secara nasional, bersama Sumatera Utara, Jambi dan Kalimantan Barat.
Oleh karena itu, perkebunan sawit ini dianggap memberi dampak positif pula bagi daerah. Mulai dari memberikan lapangan kerja, berkontribusi dalam perbaikan infrastruktur, meningkatkan produktivitas dan daya saing daerah, sekaligus memenuhi kebutuhan bahan baku dalam dan luar negeri.
Namun, beberapa hal masih harus menjadi perhatian dalam mengelola kebun sawit rakyat ini, seperti emisi gas rumah kaca dan limbah produksi yang dihasilkan, deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sampai penyelesaian konflik pertanahan dengan masyarakat
Hal inilah yang terus didorong oleh Dinas Perkebunan Sumsel, dengan diantaranya terus melakukan peningkatan kapasitas petani dan pekebun lewat sosialisasi dan pelatihan. Kurangnya sumber daya membuat Dinas Perkebunan Sumsel memaksimalkan kinerja penyuluh untuk menjangkau kawasan pelosok.
Seperti diungkapkan oleh Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian. "Diantara yang menjadi fokus adalah meningkatkan jumlah organisasi pekebun mandiri ini. Dengan bergabungnya mereka ke dalam organisasi, seperti koperasi misalnya tentu akan mendapatkan sejumlah kemudahan," jelas Rudi.
Puncaknya, petani dan pekebun sawit rakyat ini menurutnya akan bisa menghasilkan sawit yang tidak kalah berkualitas dibanding dengan petani plasma seperti yang terjadi saat ini. Termasuk mengenai tata kelola dan penangan konflik, yang disebut Rudi, Sumsel beruntung karena sejauh ini konflik lahan antar warga dan perusahaan sudah jauh berkurang.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah, sambung Rudi merupakan cara lain yang kini sedang digalakkan oleh Pemprov Sumsel. Gubernur Herman Deru, lanjutnya terus berkomunikasi dengan kepala daerah di Sumsel, untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit mereka.
Kolaborasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di Sumsel itu untuk bisa menyejahterakan petani dan pekebun sawit bisa di lihat di kabupaten Musi Banyuasin.
Tidak hanya pemerintah provinsi, dukungan untuk program itu juga datang dari negara lain seperti salah satunya Norwegia. Dimana pada akhir November lalu, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Rut Kruger Giverin datang dan melihat langsung tata kelola kebun sawit rakyat di Musi Banyuasin. Sekaligus memberikan dukungan pada program pembangunan demplot di Desa Mendis Jaya, Kecamatan Bayung Lincir.
Pelaksana tugas Bupati Musi Banyuasin, Beni Hernedi mengatakan, saat ini luasan kebun sawit di wilayahnya terus meningkat, lebih dari 400.000 hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persen diantaranya merupakan kebun sawit mandiri milik masyarakat.
Dengan kerja kolaboratif, termasuk dukungan dari berbagai negara seperti Norwegia ini, Beni berharap kontribusi sawit terhadap pendapatan daerah, sekaligus kesejahteraan petani dan pekebun sawit bisa terus ditingkatkan.
"Kolaborasi yang dilakukan ini bertujuan untuk mendorong pengelolaan yang baik dan berkelanjutan serta pengembangan hilirisasi. Begitu juga dengan target dan capaian kita untuk membuat pabrik biofuel sendiri," ujarnya.
Keterlibatan semua sektor dan stakeholder lokal, menurut Beni jadi bagian lain yang juga terus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Saat ini saja, sudah ada Pusat Unggulan Komoditi Lestari (PUKL) di Kabupaten Musi Banyuasin yang menjadi wadah kolaborasi bagi pengembangan sawit dan karet di wilayahnya.
"Kita juga melakukan kerjasama dengan swasta, NGO, akademisi dan pendamping agar kolaborasi ini bisa berdampak nyata untuk kesejahteraan," ujar Beni.
Sehingga strategi kolaboratif ini diharapkan mampu mendukung pemerintah pusat menjalankan kebijakan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) secara nasional.
Sisi Lain Kebijakan Pengembangan BBN Sebagai Ancaman Hak Asasi Masyarakat dan Lingkungan
Dalam dokumen terbaru Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca yang cukup signifikan. Salah satunya dengan memaksimalkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) dimana, kelapa sawit sebagai bahan baku utama.
BBN sebagai salah satu energi terbarukan ini diproyeksikan untuk menggantikan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara. Hanya saja, penggunaan bahan bakar ini kedepannya berpotensi merusak lingkungan lebih parah lagi. Seperti yang dinilai oleh akademisi Universitas Sriwijaya, JJ Polong.
Kepada kantor berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu, usai diskusi ekologi politik bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI)' di Palembang, upaya pemerintah memaksimalkan BBN berbahan dasar kelapa sawit ini justru mengancam deforestasi secara besar-besaran. Sehingga dinilai pula tidak berpihak pada sisi ekologis dan sosiologis masyarakat.
"Tidak banyak yang merasakan manfaatnya. Masyarakat (petani dan pekebun kelapa sawit), stop hanya sampai proses produksi tanaman. Selebihnya pabrik dan sistem yang berjalan," ungkap Polong.
BACA JUGA: Limbah Sekam Padi untuk Bahan Bakar Pengering Limbah
Menurutnya saat ini, ada banyak kepentingan dalam kebijakan pengembangan BBN berbahan baku sawit atau biofuel yang justru didukung oleh studi 'pesanan' yang ironisnya dilakukan oleh akademisi.
"Intelektual terus mendorong dikembangkannya penggunaan bahan baku sawit ini. Padahal yang menggunakan hanya segelintir, cenderung dilakukan oleh oligarki. Ditengah upaya pemenuhan kebutuhan energi yang dikuasai oleh pihak tertentu ini, masyarakat dapat apa?" tanya Polong.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Hairul Sobri. Kebijakan pengembangan BBN yang digaungkan pemerintah saat ini menurutnya tak lebih sebagai akal-akalan untuk melegalkan upaya menghilangkan Hak Asasi Masyarakat (HAM) dan Lingkungan.
Dijelaskannya, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dengan perluasan lahan perkebunan sawit yang akan dilakukan secara masif di berbagai provinsi termasuk Sumsel.
Dalam proses alih fungsi lahan dengan dalih perluasan perkebunan kelapa sawit inilah, menurutnya emisi gas rumah kaca akan keluar lebih banyak lagi, dibandingkan dengan upaya pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca lewat kebijakan BBN.
"Dimana berpihaknya (NDC) terhadap masyarakat? Selain melepas emisi (gas rumah kaca) lebih besar, alih fungsi (perluasan perkebunan sawit) ini juga akan menimbulkan dampak lain, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) misalnya," ungkap Sobri.
Membayangkan Pemprov Sumsel masih menyiapkan sekitar satu juta lahan kosong lagi untuk ditanami sawit, Sobri cukup geram. Sebab, jika lahan tersebut berada di wilayah rawa gambut, justru pelepasan emisi gas rumah kaca yang akan dihasilkan lebih besar lagi. "Tidak akan terganti sampai 100 tahun sekalipun," ungkapnya
Apalagi di Sumsel yang menurutnya terus terjadi perluasan lahan perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya. Justru hal ini dinilai sebagai upaya pemerintah memaksakan kehendak.
"Belum lagi konflik agraria yang masih saja terjadi. Kalaupun tidak terekspos, tentu banyak hal yang menyebabkannya. Petani yang tidak punya kemampuan melawan korporasi, padahal mereka ini sudah puluhan tahun tinggal di lokasi perkebunan itu," lanjut Sobri.
Hal inilah yang menurutnya menjadi ancaman bagi keberlangsungan HAM dan lingkungan di kawasan perkebunan kelapa sawit di Sumsel. Sehingga menurutnya pemerintah akan lebih bijak jika melihat secara komprehensif semua aspek yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan. Seperti sosial ekonomi dan lingkungan sehingga masyarakat tidak terkesan dipengaruhi dan dipaksa untuk mengikuti kemauan pemerintah.
Lebih jauh diungkapkannya, kesejahteraan masyarakat tidak bisa diukur dari besarnya nilai investasi di suatu wilayah, atau anggaplah wilayah perkebunan sawit. Sebab, yang selama ini dilihat oleh Walhi Sumsel adalah terjadinya ketimpangan yang besar dari sisi kesejahteraan petani.
"Tidak semua wilayah yang memiliki kebun sawit yang luas, masyarakatnya sejahtera. Justru terkadang yang terjadi malah sebaliknya. Mereka kesulitan berkembang, untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup," katanya.
Kalaupun petani (mandiri) ini memiliki lahan untuk digarap menanam sawit, menurut Sobri yang akan terjadi lama-kelamaan, mereka tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan perawatan untuk produksi karena terhimpit ekonomi dan kebutuhan rutin yang harus dicukupi.
"Sehingga konsep keberlanjutan yang dicanangkan pemerintah itu menurutnya tidak sesuai dengan praktik di lapangan. Dan kami menilai ini kebijakan yang tidak masuk akal. Belum lagi (dalam alih fungsi lahan sawit) akan muncul potensi bencana Karhutlah yang menimbulkan biaya dan kerugian lain, biaya berobat masyarakat, biaya pemadaman. Justru hal seperti ini yang harus dipikirkan pemerintah," tegasnya.
Salah satu cara yang ideal menurut Sobri adalah dengan memaksimalkan apa yang dimiliki oleh masyarakat saat ini. "Kenapa lahan yang ada tidak ditanami komoditi produktif lain sehingga wilayah tersebut tidak hanya mengandalkan sawit. Misalnya padi, tanaman kayu, dan sebagainyo. Sebab tugas negara memfasilitasi rakyatnya, bukan malah mendorong alih fungsi lahan sawit besar-besaran yang justru punya kontribusi besar terhadap kerusakan iklim, HAM dan lingkungan," ujarnya.
Oleh: M Fajar Wiko
Artikel telah tayang di RMOL SUMSEL.