Perkebunan sawit dipercaya dapat menjadi salah satu tonggak ekonomi negara, sehingga perkembangannya menanjak lebih cepat dalam satu dekade terakhir. Percepatan perkembangan perkebunan sawit tidaklah selicin minyaknya. Status perizinan, praktik konversi hutan alam dan lahan gambut, kebakaran hutan dan gambut, serta konflik tenurial masih jadi pertanyaan besar untuk dijawab. Jika perkebunan sawit diharapkan menjadi bagian dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon dan ramah secara sosial, tentu saja persoalan-persoalan mendasar itu tidak bisa ditunda lagi penyelesaiannya.
Pemerintah juga tak pernah mengeluarkan fakta dan data yang komprehensif tentang nilai ekonomi sawit. Tidak cukup adil rasanya jika yang dimunculkan selama ini hanyalah angka pendapatan devisa negara dari pajak ekspor minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO). Lantas bagaimana dengan nilai kerugian negara atas praktik-praktik sawit ilegal yang masih berlangsung hingga saat ini?
Ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan juga diyakini memberikan kontribusi signifikan pada laju deforestasi Indonesia. CIFOR mencatat setidaknya empat juta hektare perkebunan sawit yang masih produktif dibangun melalui deforestasi. Mengutip laporan Greenpeace yang berjudul “Certifying Destruction, Why Consumer Companies Need to Go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction”, perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota asosiasi minyak sawit berkelanjutan alias Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) turut terlibat dalam praktik tersebut, dan telah merusak sekitar 20 ribu hektare lahan gambut kaya karbon pada tahun 2009.
Saya melihat ada dua hal yang akan terus memicu terjadinya deforestasi di perkebunan sawit. Pertama, alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Sebagian besar perkebunan sawit tidak mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta cenderung tidak memiliki Hak Guna Usaha. Situasi ini juga menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara dalam jumlah besar. Dalam laporan “Merampok Hutan dan Uang Negara” (ICW, 2011), praktik di atas telah merugikan negara sebesar Rp169,8 triliun pada periode 2004-2010. Kedua, pun jika izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit diberikan, hal tersebut dilakukan ketika pemerintah telah menerapkan kebijakan penundaan pemberian izin baru di atas hutan alam primer dan lahan gambut sejak Mei 2011 melalui INPRES Nomor 10 Tahun 2011 dan INPRES Nomor 6 Tahun 2013. Mari kita lihat, pada periode Januari – Juli 2013 Kementerian Kehutanan telah merealisasikan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 120.669,18 hektare di provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat .
Ancaman penghilangan hutan alam sudah di depan mata. Niat pemerintah untuk menggandakan produksi CPO menjadi 40 juta ton per tahun dilakukan dengan menambah 4 juta hektare luas perkebunan sawit . Jika tidak diantisipasi sedari awal, penjarahan hutan secara masif untuk perkebunan sawit akan terus terjadi. Dan untuk kesekian kalinya, pemerintah akan gagal memenuhi komitmen perlindungan hutan berikut keanekaragaman hayati yang dimilikinya.
Kasus perambahan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 36.353 hektare untuk perkebunan sawit ilegal seharusnya bisa menjadi guru bagi perlindungan hutan dan pembangunan sawit yang lebih bertanggung jawab, tanpa harus saling menyalahkan tentang mengapa hal tersebut terjadi dan masih berlangsung.
Praktik perkebunan sawit ilegal dalam arti mengonversi hutan dan gambut kaya karbon telah merusak citra Indonesia di pergaulan internasional, di tengah kuatnya komitmen perlindungan hutan dan penurunan emisi yang disampaikan oleh Presiden sejak 2009. Tak heran bila seruan Sekretaris Jenderal GAPKI pada harian Bisnis Indonesia tanggal 8 Oktober 2013 menjadi sangat relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti:
“Oleh karena itu, GAPKI meminta agar pemerintah sebagai penentu kebijakan segera melakukan tindakan terhadap berbagai temuan yang menyebutkan adanya perkebunan yang dilakukan di lahan yang tidak semestinya, seperti di kawasan hutan.” – Joko Supriyono, Sekretaris Jendral GAPKI
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang meminta pihak terkait mata rantai CPO untuk bertindak memerangi perambahan hutan dan tidak membeli bahan baku yang berasal dari kebun sawit yang merambah taman nasional .
Dua pernyataan di atas bisa menjadi sebuah awal yang baik jika para pihak bersepakat untuk merealisasikannya. Satu kemenangan kecil hari ini adalah seruan untuk tidak membeli minyak sawit ilegal dan merusak lingkungan turut dikumandangkan oleh pemerintah dan kalangan pengusaha sawit itu sendiri.
Bisakah kita mencintai sawit dengan jujur dan tanpa paksaan? Tentunya hal itu sulit dijawab saat ini. Mungkin nanti, atau bahkan tidak akan pernah sama sekali.