Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam pengembangan bioenergi, khususnya biodiesel berbasis minyak sawit. Sejak awal kebijakan BBN diluncurkan pada 2006, kadar campuran biodiesel terus ditingkatkan dari B2.5 pada 2008 hingga B35 pada 2023, dan ditargetkan mencapai B40 dalam dokumen Enhanced NDC. Dengan capaian ini, Indonesia menjadi negara dengan kadar campuran biodiesel tertinggi di dunia.
Kebijakan ini awalnya dirancang untuk mendukung transisi energi, meningkatkan kemandirian energi nasional, dan mengurangi emisi dari sektor transportasi. Namun dalam praktiknya, keberlimpahan produksi sawit justru mendorong penggunaan BBN sebagai instrumen stabilisasi harga CPO bukan sebagai strategi energi bersih. Akibatnya, efektivitas BBN dalam menurunkan emisi patut dipertanyakan, apalagi jika bahan bakunya berasal dari ekspansi kebun sawit di atas lahan hutan atau gambut.
Di tengah kritik terhadap bioenergi berskala industri, peluang justru muncul dari pendekatan berbasis komunitas. Bioenergi skala kecil yang dikelola oleh komunitas lokal dengan bahan baku non-sawit seperti limbah pertanian atau biomassa lokal dapat mendukung transisi energi yang lebih adil, rendah emisi, dan berakar pada kebutuhan serta kapasitas lokal.
Untuk memastikan bahwa pengembangan bioenergi sejalan dengan tujuan iklim dan keadilan sosial, MADANI Berkelanjutan bekerja di tiga jalur utama: