Ngerasa hopeless dengan masa depan diri sendiri dan sering kali ngebandingin pencapaian diri dengan orang lain mungkin bukan hal asing buat anak muda, terutama kamu yang berada di rentang usia 25-30an. Orang-orang bilang itu adalah quarter life crisis, fase yang dialami oleh mayoritas manusia yang beranjak dewasa.
Tapi, pernah nggak sih ngerasa cemas dan hopeless saat lihat lingkungan kita makin penuh dengan sampah, hutan makin sedikit, polusi di mana-mana, banyak orang kelaparan, sampai-sampai kita berpikir kalau kiamat sebentar lagi karena bumi sudah sangat nggak layak huni?
Kalau pernah, kamu nggak sendirian. Penelitian yang diterbitkan jurnal Sustainable Earth Reviews pada Maret 2024 mengungkapkan kalau lebih dari 80 persen Gen Z sangat peduli terhadap isu lingkungan, terutama perubahan iklim, dan mengalami kecemasan akibat hal tersebut. Rasa cemas ini muncul saat kita menyaksikan dampak nyata perubahan iklim, tapi nggak punya kemampuan yang cukup buat menghentikan permasalahan tersebut.
Sebagai generasi yang aware terhadap isu kesehatan mental, kebayang dong gimana rasanya jadi Gen Z yang hampir tiap hari terpapar beragam informasi tentang climate crisis di media sosial, tapi juga ngerasa cemas karena nggak tau apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?
Duh, jadi kek comment netizen kan! Bukannya menuju Indonesia Emas, tapi malah Indonesia Cemas 😰
Sumber: globalchangeecology.com
Eco-anxiety: Ketakutan yang Tumbuh Bersama Climate Crisis
Saat mendengar climate crisis, sebagian orang mungkin bakal langsung membayangkan es yang mencair di Kutub Utara, hutan-hutan yang terbakar, atau badai dahsyat yang bikin rumah-rumah penduduk hancur. Tapi, seperti yang udah pernah kita bahas sebelumnya, krisis iklim juga menyimpan bahaya tersembunyi yang kalau dibiarin gitu aja bisa berakibat fatal buat masa depan lingkungan dan juga manusia.
Nah, salah satu dampak nggak terlihat dari krisis iklim adalah munculnya eco-anxiety alias ketakutan atau kecemasan kronis terkait perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh American Psychological Association (APA), Climate for Health, dan ecoAmerica untuk menggambarkan dampak psikologis dari isu-isu lingkungan.
Walaupun nggak dikategorikan sebagai gangguan mental klinis, eco-anxiety menjadi fenomena umum, terutama di kalangan generasi muda yang merasa bahwa masa depan mereka terancam oleh krisis iklim.
Sumber: medium.com
Eco-anxiety bukan sekadar perasaan sesaat, melainkan kecemasan mendalam yang muncul karena ketidakpastian tentang nasib planet ini. Orang yang mengalaminya sering kali merasa nggak berdaya untuk menghentikan laju kehancuran lingkungan, meskipun sudah mencoba melakukan berbagai upaya untuk mengatasinya, mulai dari mengurangi penggunaan plastik, memilih transportasi ramah lingkungan, dan aksi iklim lainnya.
Fenomena ini bisa muncul dalam berbagai bentuk dengan beberapa gejala umum, seperti:
- Perasaan cemas yang terus-menerus tentang perubahan iklim.
- Susah tidur karena memikirkan masa depan Bumi.
- Perasaan putus asa, nggak berdaya, bahkan marah terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak peduli terhadap lingkungan.
- Menghindari diskusi atau berita tentang isu lingkungan karena merasa tertekan.
- Dalam kasus ekstrem, eco-anxiety bahkan bisa memicu depresi atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Kenapa Eco-anxiety Bisa Terjadi?
Ada banyak alasan kenapa fenomena ini terjadi, salah satunya adalah information overload. Dalam sehari, kita mungkin bisa membaca banyak sekali berita soal krisis iklim—dan hampir semuanya berisi hal-hal buruk. Belum lagi kalau kamu aktif di media sosial, pasti sering juga terpapar postingan tentang polusi, kebakaran hutan, bencana alam, atau dampak krisis iklim lainnya.
Informasi yang terlalu banyak dan cepat ini mungkin akan sulit kita proses sehingga yang muncul bukan gagasan-gagasan solutif, melainkan respons emosional seperti kemarahan, ketakutan, frustrasi, keputusasaan, penghindaran, kecemasan, depresi, rasa bersalah, bahkan rasa malu yang pada akhirnya membuat kita susah tidur, nggak nafsu makan, bahkan sulit berkonsentrasi.
Alasan lainnya adalah ketidakberdayaan. Kamu mungkin merasa udah ngelakuin hal-hal kecil, seperti bawa tumbler ke mana-mana, pakai tas belanja kain, atau pilah sampah di rumah. Tapi, saat melihat kerusakan lingkungan dalam skala besar, semua itu jadi kerasa nggak ada artinya. Rasanya kayak buang ember air ke lautan 🥺
Selain itu, ada juga faktor personal yang bisa menyebabkan seseorang mengalami eco-anxiety. Orang yang pernah melihat atau merasakan langsung bencana akibat krisis iklim cenderung merasa terhubung secara lebih mendalam dengan alam sehingga mereka sering kali lebih mudah merasakan kehilangan saat melihat kehancuran lingkungan. Bagi mereka, kerusakan alam bukan hanya isu global, tetapi juga pengalaman yang sangat pribadi.
Masihkah Ada Harapan?
Erin Seaton, dosen senior di Universitas Tufts, Amerika Serikat, yang fokus pada pendidikan kesehatan mental, menjelaskan bahwa eco-anxiety yang dialami generasi muda bisa melemahkan, melumpuhkan, dan memperburuk kondisi kesehatan mental yang sudah ada kalau nggak segera diatasi.
Oleh karena itu, Seaton dan timnya berupaya mengubah kecemasan terhadap perubahan iklim menjadi aksi nyata. Dengan begitu, kita nggak cuma punya banyak wawasan tentang dampak perubahan iklim, tapi juga tentang apa saja langkah-langkah konkret yang bisa kita lakukan bersama untuk mengatasinya.
- Validasi dan Regulasi Emosi
Sebelum menentukan langkah dalam mengatasi krisis iklim, penting bagi siapa saja yang terlibat dalam aksi iklim untuk memvalidasi apa yang kita rasakan, termasuk eco-anxiety. Dengan mengakui dan menyadari kondisi emosional kita, proses untuk melangkah bisa jadi lebih mudah. Ann Ward, spesialis pendidikan di Universitas Tufts, mempelajari bagaimana para aktivis muda di Boston, seperti anggota gerakan Sunrise Movement—sebuah organisasi pemuda yang mendorong aksi nyata terhadap perubahan iklim—mengelola emosi mereka terkait isu ini. - Kelola Informasi
Berita tentang krisis iklim memang penting, tapi bukan berarti kamu harus menyerap semuanya. Batasi waktu membaca berita atau cari sumber yang juga menampilkan solusi dan inovasi, bukan cuma masalah. Dengan menerima informasi secara efektif, maka pikiran kita juga bisa lebih mudah menentukan mana hal yang bisa kita atasi dan mana yang perlu kita komunikasikan kepada pihak lain untuk dicari solusinya. - Bangun Komunikasi dan Koneksi
Selain memvalidasi emosi negatif yang dirasakan, penting juga bagi kita untuk membicarakannya secara terbuka sehingga kita bisa memperoleh dukungan dari pihak lain dengan kepedulian yang sama. Berdiskusi dengan orang-orang yang punya kegelisahan yang sama bisa menjadi cara efektif untuk membangun komunikasi sekaligus koneksi yang pada akhirnya bisa membantu kita untuk melakukan aksi nyata. - Selebrasi
Merayakan setiap aksi yang kita lakukan bukan hal yang berlebihan, kok. Kalau kamu baru bisa melakukan satu langkah konkret untuk mendukung Bumi dalam menghadapi krisis iklim, ya nggak masalah. Kamu bisa tetap merayakan aksi nyata kamu dalam mendukung Bumi sehingga makin semangat buat melangkah lebih jauh lagi. Yuk, kita jaga bumi sama-sama ❤️
Referensi:
Acaroglu, L. (2024). Part 1: The Rising Peak of Climate and Eco-Anxiety. Diakses dari https://medium.com/disruptive-design/the-rising-peak-of-climate-and-eco-anxiety-b2f9d6ac9045 pada 23 Desember 2024, pukul 15.49 WIB.
American Psychological Association, Climate for Health, & ecoAmerica. (2017). Mental Health and Our Changing Climate: Impacts, Implications, and Guidance. Diakses dari https://www.apa.org/news/press/releases/2017/03/mental-health-climate.pdf
Arif, A. (2024). Mengubah Kecemasan Gen Z Menjadi Aksi Iklim. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/30/mengubah-kecemasan-gen-z-menjadi-aksi-iklim pada 23 Desember 2024, pukul 11.51 WIB.
Mujianto, M. (2024). Eco-Anxiety: Coping with Anxiety Related to Climate Change. Diakses dari https://relungindonesia.org/en/2024/05/eco-anxiety-coping-with-anxiety-related-to-climate-change/ pada 23 Desember 2024, pukul 13.00 WIB.