Banyak orang mengira bahwa krisis iklim hanya sebatas perubahan cuaca, yang mungkin bisa diatasi dengan menurunkan temperatur AC atau menghindar dari teriknya matahari. Nyatanya, ada bahaya laten yang justru menggerogoti kehidupan umat manusia, terutama kelompok rentan.
Perubahan iklim yang makin masif menjadikan kondisi bumi rentan terhadap berbagai ancaman serius yang membahayakan kehidupan manusia, mulai dari peningkatan intensitas bencana hingga penyebaran penyakit.
Dalam kurun 2022-2026, diperkirakan ada satu tahun yang di dalamnya suhu rata-rata global melampaui batas kenaikan 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra industri pada 1850-1900. Kenaikan suhu ini diyakini akan memperburuk daya dukung lingkungan dan mempersempit ruang hidup manusia.
Kerugian Ekonomi Akibat Krisis Iklim
Perubahan iklim tidak hanya berdampak langsung terhadap kenaikan intensitas bencana, seperti banjir dan kekeringan, tapi juga berdampak secara tidak langsung terhadap gagal panen, krisis pangan, hingga kemiskinan. Hal-hal inilah yang pada gilirannya turut memperburuk kondisi perekonomian nasional.
Berdasarkan proyeksi Asian Development Bank (ADB), dampak perubahan iklim di Indonesia berpotensi menyebabkan kerugian hingga 3,5% dari PDB nasional pada 2100. Sebagai ilustrasi, kerugian pada sektor pertanian dan wilayah pesisir akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai 2,2% dari total PDB pada tahun yang sama (ADB 2009). Selain itu, meningkatnya frekuensi bencana yang dipicu oleh perubahan iklim juga menyumbang kerugian ekonomi sebesar 0,3% dari PDB (ADB 2009).
Revisi kajian Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) menunjukkan bahwa pada 2020, kerugian ekonomi di empat sektor prioritas (kelautan dan pesisir, air, pertanian, serta kesehatan) mencapai Rp102,36 triliun atau sekitar 0,61% dari target PDB 2020. Angka ini diproyeksikan meningkat menjadi Rp115,53 triliun pada 2024.
Proyeksi dampak ekonomi perubahan iklim pada 2030 memperkirakan kerugian dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat mencapai 0,66% hingga 3,45% dari PDB nasional, dengan rata-rata dampak sebesar 2,87% PDB. Analisis ini mencakup kerugian akibat bencana seperti penyebaran penyakit dari banjir, longsor, dan kekeringan, serta kerusakan hasil pertanian akibat banjir.
Keberlangsungan sektor-sektor kebutuhan dasar sangat bergantung pada stabilitas ekosistem. Bencana yang mengganggu layanan jasa ekosistem dapat mengakibatkan kerugian ekonomi signifikan di bidang-bidang tersebut. Jika digabungkan dengan kerusakan jasa ekosistem dan dampak bencana, potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp4.328,38 triliun.
Guncangan Stabilitas Sosial
Krisis iklim tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomi, tapi juga memperburuk ketimpangan sosial. Terganggunya produktivitas para petani dan nelayan membuat harga pangan melambung dan berdampak terhadap kenaikan inflasi, penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), hingga peningkatan garis kemiskinan.
Dampak perubahan iklim juga dirasakan secara tidak seimbang oleh kelompok masyarakat paling rentan di kawasan Asia-Pasifik, yang umumnya memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk menghadapi guncangan. Kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, petani kecil, nelayan tradisional, pekerja informal, buruh, dan masyarakat adat, menghadapi risiko yang lebih tinggi, yang pada akhirnya memperburuk ketimpangan sosial dari waktu ke waktu.
Hal tersebut disebabkan oleh kelompok rentan cenderung mengalami ketimpangan dan keterbatasan dalam hal akses sumber daya, perlindungan sosial, dan hak, sekaligus memiliki keterbatasan kapasitas dalam merespons dampak perubahan iklim sehingga lebih sulit pulih dan berpotensi meningkatkan risiko konflik sosial. Krisis iklim juga memicu migrasi massal akibat hilangnya mata pencaharian dan tempat tinggal, yang pada gilirannya dapat menyebabkan ketegangan sosial di daerah tujuan migrasi.
Hak-Hak Anak yang Terabaikan
Anak-anak merupakan bagian dari kelompok rentan yang cenderung menghadapi risiko terbesar dari krisis iklim. Hampir seluruh anak di dunia terpapar setidaknya satu bentuk bahaya terkait iklim dan lingkungan, seperti gelombang panas, siklon, polusi udara, banjir, dan kelangkaan air.
Lebih dari sepertiga populasi anak di dunia, yakni sekitar 820 juta jiwa, memiliki keterpaparan tinggi terhadap gelombang panas yang potensial memburuk seiring meningkatnya suhu global. Sebanyak 400 juta anak memiliki keterpaparan tinggi terhadap siklon. Kondisi ini berpotensi memburuk seiring meningkatnya frekuensi siklon intensitas tinggi, intensitas curah hujan, dan pergeseran pola siklon.
Sementara itu, hampir 90 persen populasi anak di dunia atau sekitar 2 miliar anak saat ini memiliki keterpaparan tinggi terhadap polusi udara dengan konsentrasi polutan lebih dari 10µg/m3. Kondisi tersebut berpotensi memburuk jika tidak ada penurunan pembakaran bahan bakar fosil yang menjadi penyebab utama polusi udara. Begitu juga dengan banjir dan kelangkaan air bersih yang berpengaruh terhadap ruang hidup ratusan juta jiwa anak-anak di dunia.
Indonesia menduduki peringkat ke-46 dari 163 negara di dunia yang populasi anaknya paling terancam. Bahaya iklim dan lingkungan yang berdampak negatif terhadap akses anak-anak ke layanan dasar utama membuat daya tahan dan kapasitas beradaptasi mereka menurun secara signifikan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap bahaya terkait iklim dan lingkungan.
Setiap Keputusan Berpengaruh terhadap Masa Depan
Krisis iklim merupakan tantangan multidimensi yang berpengaruh signifikan terhadap ekonomi, stabilitas sosial, dan juga keadilan bagi masyarakat rentan. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dan kebijakan yang adil untuk dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan melindungi seluruh masyarakat.
Dalam menghadapi dampak krisis iklim yang semakin nyata, perlindungan sosial memiliki peran vital dalam meningkatkan ketahanan masyarakat dan mengurangi kerentanan. Sebagai alat kebijakan utama, perlindungan sosial berfungsi untuk mengatasi kemiskinan yang secara tidak langsung disebabkan oleh krisis iklim.
Lebih dari itu, perlindungan sosial juga memainkan peran strategis dalam mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kebijakan ini berkontribusi pada pengurangan ketimpangan sosial, mitigasi dampak guncangan ekonomi, penurunan kerugian produksi, peningkatan permintaan dan aktivitas ekonomi, serta pengembangan sumber daya manusia dan partisipasi tenaga kerja.
Keberhasilan upaya ini salah satunya bergantung pada dukungan pendanaan iklim yang memadai. Sayangnya, hasil Konferensi Para Pihak (COP) ke-29 tentang Perubahan Iklim, yang semula diharapkan menjadi momen penting bagi pendanaan iklim, belum memenuhi harapan. Negara-negara maju hanya berkomitmen memobilisasi dana iklim sebesar USD 300 miliar per tahun pada 2035, masih jauh dari kebutuhan riil USD 2,5 triliun yang diajukan negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari negara berkembang, Indonesia perlu mengambil langkah proaktif untuk mereformasi dan memperluas sistem perlindungan sosial dalam mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menjaga stabilitas ekonomi dan sosial, serta memastikan terciptanya keadilan iklim bagi seluruh lapisan masyarakat.
Referensi
Abidin, M. Zainul. (2023). Perubahan Iklim dan Perlindungan Sosial. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/16/perubahan-iklim-dan-perlindungan-sosial pada 5 Desember 2024, pukul 13.00 WIB.
Budianto, Yoesep. (2023). Krisis Iklim yang Mengancam Keberlangsungan Hidup Manusia. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/06/04/krisis-iklim-yang-mengancam-keberlangsungan-hidup-manusia pada 4 Desember 2024, pukul 11.48 WIB.
Institute for Essential Services Reform (IESR). (2024). Pasca COP-29: Indonesia Perlu Perkuat Kebijakan Iklim dan Pendanaan untuk Transisi Energi. Diakses dari https://iesr.or.id/pasca-cop-29-indonesia-perlu-perkuat-kebijakan-iklim-dan-pendanaan-untuk-transisi-energi/ pada 5 Desember 2024, pukul 16.31 WIB.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2024). Proyeksi Dampak Ekonomi Akibat Perubahan Iklim. Diakses dari https://adaptasi.ppi.menlhk.go.id/adaptasi/getDetailContent/5/20 pada 4 Desember 2024, pukul 14.59 WIB.
UNICEF. (2021). Krisis Iklim adalah Krisis Hak Anak.
Urban, Stefan. (2024). Perlindungan Sosial di Tengah Perubahan Iklim. Diakses dari https://greennetwork.id/opini/perlindungan-sosial-di-tengah-perubahan-iklim/ pada 5 Desember 2024, pukul 16.19 WIB.