Bayangkan desa pesisir yang damai, sawah hijau terhampar luas, anak-anak bermain dan berlarian, ombak yang tenang menjadi latar suara kehidupan. Itulah gambaran masa lalu di Desa Loireng, Demak, Jawa Tengah. Tapi sekarang, semua tinggal cerita. Rob datang, abrasi merangsek, dan desa ini berubah selamanya.
Secara regional, data Jurnal Geomatika tahun 2021 dari Badan Informasi Geospasial (BIG) menunjukkan abrasi di pesisir Jawa Tengah meningkat signifikan. Sejak tahun 2015, air laut mulai menguasai daratan. Sawah-sawah berubah jadi kolam mati, airnya payau dan tak lagi bisa ditanami. Para petani terpaksa beralih menjadi nelayan atau petani tambak—bukan karena ingin, tapi karena harus. Perubahan ini bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang kehilangan cara hidup yang telah menjadi tradisi turun-temurun.
Perubahan ini adalah upaya bertahan hidup di tengah kondisi yang memburuk. Bagi masyarakat agraris yang terbiasa menggantungkan hidup pada tanah, beradaptasi dengan kehidupan maritim bukanlah hal mudah. Mereka harus memulai segalanya dari nol, menghadapi ketidakpastian, mencoba bertahan meski masa depan tampak suram.
Pembangunan yang Datang dengan Harga Mahal
Proyek pembangunan jalan tol Sayung-Semarang yang baru selesai 30% telah memblokir aliran sungai, membuat banjir jadi langganan warga Demak. Padahal, panduan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016 sudah menyebut bahwa perubahan drainase akibat infrastruktur besar seperti jalan tol bisa meningkatkan risiko banjir jika tidak direncanakan dengan prinsip-prinsip drainase berkelanjutan.
Desa Loireng, misalnya, kini sering terendam air selama berbulan-bulan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Air yang seharusnya mengalir kini terjebak, membuat desa ini seperti mangkuk raksasa yang penuh dengan air. Bahkan, pada momen seperti Idul Fitri, warga masih harus merayakan hari besar dengan kaki terendam banjir.
Limbah dari pabrik-pabrik di sekitar desa makin memperburuk situasi. Dengan bebasnya limbah dibuang ke sungai, kualitas air menjadi buruk dan memperparah kondisi lingkungan yang sudah kritis. Data dari Pelayanan Metadata Indikator SDGs Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengelolaan limbah B3 masih menjadi tantangan besar di wilayah ini. Masyarakat yang seharusnya menjadi penjaga lingkungan malah menjadi korban dari sistem yang lebih memihak pada kepentingan modal besar.
Selain itu, ekosistem mangrove yang menjadi pelindung alami pesisir malah ditebang untuk jalur tol. Sebanyak 42,6 hektar mangrove hilang begitu saja. Abrasi makin tak terkendali dan desa-desa makin rentan. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), mangrove punya peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dan perlindungan pesisir.
Ironisnya, proyek tol ini tak memberi kompensasi kepada warga, meski dampaknya masif. Minimnya informasi dan sosialisasi membuat warga hanya bisa menerima tanpa tahu yang akan terjadi pada mereka di masa depan. Padahal, studi tahun 2022 dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan untuk menghindari ketimpangan dan konflik sosial.
Harapan yang Tersisa dari Pesisir
Di tengah krisis iklim dan bencana ekologis ini, harapan belum sepenuhnya hilang. Masyarakat masih percaya bahwa pembangunan yang lebih adil dan inklusif bisa menjadi solusi. Infrastruktur memang penting, tetapi harus dibangun dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kebutuhan masyarakat lokal. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi bom waktu yang merugikan semua pihak.
Pertanyaan besar yang diajukan adalah: “Pesisir ini untuk siapa?” Apakah untuk segelintir orang yang punya modal besar, atau untuk masyarakat yang telah menjaga wilayah ini selama puluhan tahun? Pertanyaan ini bukan hanya tentang Loireng, tetapi juga tentang masa depan seluruh wilayah lingkungan pesisir Indonesia.
Membangun tanpa merusak adalah tantangan, tetapi itu adalah satu-satunya jalan jika kita ingin menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Ekosistem pesisir ini tidak hanya untuk mereka yang memiliki uang, tetapi juga untuk mereka yang mencintai dan hidup darinya. Laporan tahun 2023 dari United Nations Environment Programme (UNEP) menekankan pentingnya restorasi alam untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.
Fenomena ini adalah cermin bagaimana krisis iklim bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang keadilan sosial, ekonomi, dan moralitas. Ketika pembangunan infrastruktur tidak mempertimbangkan ekosistem, dampaknya adalah bencana yang harus ditanggung oleh mereka yang paling rentan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sudah menyebut bahwa wilayah pesisir di Asia Tenggara akan jadi salah satu yang paling terdampak oleh perubahan iklim jika tidak ada tindakan nyata.
Kisah dari pesisir Demak adalah pengingat bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan pilihan kita hari ini akan menentukan masa depan kita. Silakan tonton dokumenter DEMO(k)RAS(i) – Lansekap 2 di kanal YouTube Madani untuk melihat langsung perjuangan warga Demak. Bersama, kita bisa menjadi bagian dari solusi krisis iklim! 🌏