Madani

Demi Kebijakan Iklim yang Adil dan Inklusif, Masyarakat Sipil Suarakan Keadilan Iklim Dalam Second NDC

[Madani News] Pendekatan yang adil dan inklusif akan menciptakan pondasi yang kuat untuk implementasi NDC yang berkelanjutan karena melibatkan dan memberdayakan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam mencapai target iklim.

Begitulah pesan yang ingin disampaikan masyarakat sipil dalam acara Ruang Dialog “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan” yang diselenggarakan Yayasan MADANI Berkelanjutan bersama Yayasan Pikul dan Yayasan Humanis  3-4 Juli 2024 di Jakarta.

BACA JUGA: Konferensi Perubahan Iklim Bonn 2024: Jalan Terjal Menuju COP 29

Diketahui saat ini Pemerintah Indonesia sedang menyusun Nationally Determined Contribution Kedua (Second NDC/SNDC) yang akan disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC) pada Agustus 2024. Penyusunan SNDC tersebut diharapkan mengintegrasikan keadilan iklim sehingga dapat mengatasi ketidaksetaraan sosial-ekonomi-politik yang ada sembari memastikan beban dan manfaat aksi iklim didistribusikan secara adil.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad mengatakan, untuk mengintegrasikan keadilan iklim dalam berbagai kebijakan maupun program pemerintah seperti NDC ataupun SNDC maupun berbagai aksi penanganan krisis iklim, perlu untuk melihat empat dimensi yakni keadilan rekognitif, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan restoratif.

Nadia juga mengingatkan bahwa Indonesia saat ini telah memasuki fase krisis iklim mengingat dampaknya yang sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia di seluruh lapisan.

Apakah itu di wilayah urban, suburban, atau di pedesaan merasakan dampaknya dalam bentuk yang berbeda-beda. Itu yang menjadi alasan utama, masyarakat yang terkena dampak itu harus ditempatkan sebagai subjek dan bukan hanya sekedar objek dalam penanganan krisis iklim,” ucap Nadia.

Saat ini, Indonesia harus menanggung beban dari dampak emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan negara maju sejak revolusi industri 30 dekade yang lalu.

Selain itu, rakyat Indonesia juga menanggung beban ekologis dari ekstraksi sumber daya alam yang dilakukan negara maju. Akibatnya, banyak masyarakat adat dan lokal yang kehilangan akses atas kepemilikan tanah (land tenure).

Nadia mengatakan bahwa akibat perubahan iklim, masyarakat harus mengubah pola hidupnya dan beradaptasi. Akan tetapi, di sisi lain mereka tidak merasa dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan di Indonesia.

BACA JUGA: Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah harus melibatkan semua elemen khususnya kelompok rentan seperti nelayan tradisional, masyarakat pesisir, petani kecil, masyarakat adat, perempuan, orang dengan ragam disabilitas, anak-anak dan lansia, kelompok miskin urban dan sub-urban, maupun buruh dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim.

Melalui acara ruang dialog ini, Yayasan MADANI Berkelanjutan berharap aspirasi dan masukan  dari kelompok rentan dan masyarakat sipil dapat didengar para pembuat kebijakan demi upaya  untuk memperkuat ambisi dan dimensi keadilan iklim dalam dokumen kebijakan yang relevan seperti halnya SNDC maupun RPJMN 2025-2029. [ ]

Dokumen terkait:

Tulisan Terbaru

Translate »
×