Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Tidak dapat dimungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sudah menjadi bagian dari serangkaian bencana tahunan yang selalu menghiasi negeri ini. Padahal, negeri yang berada di atas ring of fire ini sudah terbilang kenyang dengan segudang potensi bencana.

Tapi apa boleh buat, karhutla masih terus terjadi karena dalangnya belum puas memperkaya diri. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar 99% kebakaran hutan akibat ulah manusia.

Selama ini, opsi pembakaran hutan dan lahan selalu dipilih karena dinilai sangat ekonomis. Bayangkan saja, penggunaan alat berat atau penyediaan alat pembakar khusus untuk menampung sisa-sisa hasil penebangan dalam hal pembukaan lahan baru maupun pembersihan lahan (land clearing), terbilang sangat tidak efisien bahkan begitu merogoh kocek. Selain berbiaya mahal, metode pembersihan lahan seperti ini juga memakan waktu yang tidak sebentar. Tentu jika dikalkulasikan secara ekonomi, perbandingannya dengan pembakaran ibarat bumi dan langit.

Logika sempit ekonomi yakni bermodal sekecil-kecilnya demi untung sebesar-besarnya adalah fakta yang masih diterapkan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Alhasil, metode membuka lahan dengan membakar (slash and burn) menjadi primadona di tengah masyarakat. 

Metode pembersihan lahan dengan membakar dianggap sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi para pelakunya. Begitulah sederhananya ekonomi kebakaran hutan dan lahan atau Karhutlanomic saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebakaran hutan yang dipicu oleh keserakahan ini bukan hanya mengancam kesehatan masyarakat, melainkan juga mengancam perekonomian secara menyeluruh. Memang benar bahwa metode pembersihan lahan dengan cara membakar memberikan keuntungan karena berhasil memangkas biaya produksi.

Tapi efek yang disebabkan dari kebakaran hutan dan lahan itu ibarat besar pasak daripada tiang. Artinya, bahwa apa yang diberikan dari hasil membakar lahan tidak sebesar penderitaan di kemudian hari. Selayaknya sebuah bencana pada umumnya, persoalan ekonomi selalu menjadi buntut yang tak bisa dihindari. Dalam konteks kebencanaan, kesepakatan dunia yang tertuang dalam Senday Frame Work for Disaster Risk Reduction tidak lagi hanya melihat bencana dalam konteks ancamannya terhadap nyawa manusia saja, tapi juga dalam konteks perekonomian. Hal itu lantaran bencana mengakibatkan aktivitas masyarakat terhenti bahkan lumpuh. Kelumpuhan tersebut akhir berujung pada lesunya perekonomian, lesunya perekonomian daerah yang terdampak bencana akan menjalar ke daerah lainnya yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Sehingga wajar jika dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, kerugian ekonomi yang disebabkan bencana ini harus menjadi perhatian serius.

Terkait kerugian secara ekonomi, Bank Dunia pernah mengungkapkan, total kerugian yang ditanggung Indonesia sepanjang 2019 akibat kebakaran lahan dan hutan mencapai US$ 5,2 miliar atau setara dengan Rp 72,95 triliun (dengan kurs Rp 14.000/dollar AS). Angka tersebut setara dengan 0,5% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Pelajaran penting

Menurut hemat saya, ada tiga poin pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan sebagai arahan untuk menghentikan karhutlanomic yang selama ini menjadi keniscayaan.

Pertama, persoalan penegakan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negeri ini sangat kesulitan menjerat para pelaku pembakaran. Ketidaktegasan dan adanya indikasi korupsi menjadikan kasus kebakaran hutan dan lahan ibarat benang kusut yang sulit untuk diurai.

Menjadi sangat disayangkan pula ketika permasalahan kebakaran hutan dan lahan belum terurai, di sisi lain penggelut usaha konsesi akan dilepaskan dari tanggung jawab atas kebakaran yang terjadi berkat RUU Cipta Kerja yang kini semakin kuat didorong penerbitannya. Sudah penegakan hukum lemah, kini dengan Cipta Kerja penegakan hukum kehilangan taringnya.

Kedua, relevansi sistem penganggaran. Banyak pihak yang menganggap bahwa alokasi anggaran instansi atau lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi penanganan kebakaran hutan dan lahan sudah tidak relevan.

Misal, ketika intensitas kebakaran hutan berkurang atau malah tidak muncul sama sekali, maka jelas serapan untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan juga tidak akan sesuai target. Dalam hal ini, serapan yang tidak sesuai target tersebut akan mengurangi alokasi anggaran instansi di tahun berikutnya.

Terkait dengan ini, alangkah baiknya jika alokasi anggaran berpatokan pada capaian atau prestasi. Ketika kebakaran hutan dan lahan berkurang atau tidak muncul sama sekali, maka instansi dapat dikatakan berprestasi sehingga alokasi anggaran dapat dimaksimalkan untuk program-program lainnya. Alokasi anggaran berdasarkan prestasi ini juga dapat menjadi stimulus bagi instansi untuk menerapkan ide-ide baru yang lebih kreatif dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Ketiga, minimnya komitmen berkelanjutan. Pelaku kebakaran hutan dan lahan yang biasanya adalah korporasi telah membuktikan bahwa komitmen berkelanjutan atau komitmen hijau demi menjaga lingkungan sangat minim di tengah masyarakat.

Hal ini juga membuktikan bahwa pemerintah sendiri tidak memiliki grand design tentang pembangunan berkelanjutan yang lebih spesifik menyentuh semua lapisan masyarakat dari hulu ke hilir, dari lapisan menengah ke atas sampai masyarakat di level tapak. Padahal, untuk membangun ekonomi yang lebih hijau, pemerintah jelas tidak bisa bergerak sendirian. Semua pihak harus memiliki komitmen hijau sehingga isu penyelamatan lingkungan khususnya hutan menjadi arus utama dalam aktivitas ekonomi maupun pembangunan.

Sekarang sudah saatnya kesadaran akan lingkungan menjadi sebuah kesadaran bersama yang mendasar. Semua pihak harus sadar bahwa merusak lingkungan, hutan, dan alam sudah tidak relevan untuk mencari keuntungan. Memperkaya diri dengan merusak salah satunya dengan melakukan pembakaran hutan harus segera ditinggalkan.

Bukankah belum lama ini pemerintah bahkan kita semua dibuat bangga dengan capaian penurunan angka deforestasi? Jika benar ada kebanggaan tersebut, maka cara terbaik untuk mempertahankannya adalah dengan meninggalkan segala hal yang merusak lingkungan, salah satunya karhutlanomic.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika Hari Hutan Nasional yang jatuh setiap 7 Agustus ini, dijadikan momentum untuk membentuk kesadaran bahwa hutan adalah aset masa depan yang berharga sehingga menjauhkannya dari kebakaran, degradasi, dan deforestasi adalah keniscayaan.

Related Article

[related_posts]