Madani

Tentang Kami

KARHUTLA MENINGGI DI BULAN JUNI

KARHUTLA MENINGGI DI BULAN JUNI

Update Area Diduga Karhutla Nasional Juni 2024 MADANI Berkelanjutan

MADANI mengidentifikasi indikasi angka kebakaran berbasis model Area Indikatif Terbakar (AIT) yang dikembangkan mandiri berdasarkan titik panas di citra satelit. Selama  Januari hingga Juni 2024, area yang diduga kuat terbakar sudah mencapai 56 ribu ha, 90% (53,9 ribu ha) di antaranya merupakan area baru.  “Angka di area yang tidak berulang ini terus didalami MADANI. Setiap tahunnya, AIT di area yang tidak berulang ini terus bertambah. Artinya, makin banyak hutan dan lahan yang rusak atau terdegradasi akibat karhutla”, ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist MADANI.

Sepuluh Provinsi mendominasi AIT, terbesar berada di Kalimantan Timur, meskipun angkanya menurun pada Juni 2024. Provinsi lain seperti Riau dan Sumatera Selatan mengalami fluktuasi setiap bulannya, namun tetap tinggi dan terus muncul AIT baru. “Ini harus menjadi perhatian pengambil kebijakan setempat agar segera mengambil upaya mitigasi yang tepat dan efektif agar area karhutla tidak makin membesar dan berdampak pada masyarakat sekitar”, kata Sadam Afian Richwanudin, Peneliti MADANI.

Dilihat dari segi kawasan, lebih dari separuh (52% atau 27 ribu ha) area yang diduga kuat terbakar terjadi di Kawasan Hutan. Dari segi tutupan lahan, 85% atau 45,9 ribu ha merupakan tutupan non hutan alam. Area terbakar di dalam dan sekitar izin/konsesi masih tinggi dengan persentase hingga mencapai 70%. Khusus di dalam izin, AIT di izin perkebunan sawit terindikasi paling besar. Temuan ini sepatutnya menjadi catatan bagi pemilik izin untuk mengupayakan mitigasi dan pemadaman secara cepat.

Indikasi kebakaran juga masih terjadi kebakaran di wilayah-wilayah yang seharusnya terlindungi. Area Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPS) berkontribusi 9,3% meski hanya sedikit yang masuk area izin perhutanan sosial. Kebakaran juga terjadi di area moratorium atau PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Izin Baru) dengan persentase hingga 25%. Sementara 18,42% atau 9,9 ribu ha AIT teridentifikasi di Fungsi Ekosistem Gambut. “Jika fenomena karhutla ini terus dibiarkan dan tidak segera ditangani, kami khawatir akan terus mengancam kelangsungan hutan alam tersisa. Lebih jauh juga akan menghambat upaya Indonesia untuk mencapai target iklim sebagaimana yang telah dimandatkan dalam Dokumen NDC dan FOLU Net Sink 2030”, papar Nadia Hadad, Direktur MADANI.

Disclaimer:

Seluruh data kebakaran pada tulisan ini mengacu pada model Area Indikatif Terbakar atau AIT. Model yang dikembangkan MADANI ini merupakan upaya untuk melihat pola titik panas atau hotspot yang memiliki karakteristik khusus sehingga diduga menjadi area indikatif karhutla. Data hotspot pada Model AIT MADANI, telah memilah mana titik panas karhutla dan mana titik panas selain karhutla sehingga menghasilkan informasi yang lebih akurat.

1. Bagaimana angka karhutla pada Juni?

Angka indikasi karhutla pada Juni tercatat meningkat seluas 8.014 ha atau naik hingga 350% dibandingkan dengan Mei. 94% dari angka tersebut teridentifikasi di area baru, artinya kebakaran menyebar ke area yang pada bulan sebelumnya tidak terbakar. Angka ini menjadi yang tertinggi ketiga dalam setengah tahun terakhir. MADANI belum memastikan penyebab peningkatan drastis ini, namun diduga karena dua hal, yaitu mulai masuknya musim kemarau serta aktivitas pembakaran di lahan yang rentan terbakar.

2. Bagaimana tren angka karhutla Januari-Juni?

Karhutla terindikasi terus meningkat dari Januari hingga April 2024 dengan persentase hampir 3 kali lipat. Meskipun turun saat memasuki Mei, namun kembali naik pada Juni 2024. Sebanyak 91% (setara 53,9 ribu ha) dari 59,412 ha area karhutla Januari-Juni 2024 tidak berulang. Artinya, mayoritas AIT dari bulan ke bulan terus menyebar di area yang baru.

Sebaran Karhutla Jan-Juni 2024 (5 Provinsi terluas dalam hektare)

Kalimantan Timur adalah provinsi dengan area indikasi karhutla terluas. Sekitar 36% atau setara 20 ribu hektar AIT Januari-Juni 2024 berasal dari provinsi ini. Kaltim mengalami ledakan AIT pada ulan Februari dan April, lalu menurun memasuki bulan Mei 2024. Provinsi lain yang turut menyumbang area karhutla besar adalah NTT, Riau, Aceh, dan NTB. 

3. Di mana sajakah kawasan yang terindikasi terdapat karhutla?

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

Dari segi tutupan, mayoritas area indikasi terbakar berada di area non-hutan alam dengan luas 46 ribu ha atau 85 persen. Namun, indikasi kebakaran masih ditemukan di area gambut dan area restorasi gambut. Bahkan, AIT di Fungsi Ekosistem (FE) Gambut terjadi paling luas di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut yaitu sebesar 64,36% atau setara 6,2 ribu ha. Menjaga FE Gambut, termasuk di kawasan Hutan Produksi dan APL, menjadi hal yang penting mengingat peran pentingnya dalam menahan emisi karbon. 

4. Di mana sajakah area kawasan hutan yang patut menjadi perhatian?

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

AIT pada Januari-Juni menyebar di seluruh jenis kawasan, terbesar berada di kawasan Area Penggunaan Lain atau APL. Meskipun begitu, area PIPPIB (wilayah penghentian pemberian izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut) menyumbang AIT dengan luas 12.972 ha atau 24 persen dari seluruh area indikasi terbakar. Padahal seharusnya wilayah ini merupakan area yang dilindungi.

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

Pada kawasan hutan, kebakaran dominan terjadi di kawasan hutan produksi. Sayangnya, kebakaran juga terindikasi masih terjadi di kawasan hutan lindung dan konservasi, bahkan meningkat hingga lima kali lipat di bulan Juni. Fenomena ini patut menjadi perhatian khusus karena dua kawasan ini memiliki fungsi vital bagi ekosistem.

5. Apakah karhutla terjadi juga di kawasan konsesi/izin?

Area Karhutla Berdasarkan Kawasan (dalam hektare)

Hampir 70% atau setara 36,5 ribu ha indikasi kebakaran pada Januari-Juni 2024 berada di dalam dan sekitar izin/konsesi. Izin perkebunan sawit mendominasi kontribusi angka AIT di izin/ konsesi selama Januari hingga Juni dengan luas AIT mencapai 6,6 ribu ha. Indikasi kebakaran di sekitar izin sawit pun tetap yang tertinggi yaitu seluas 3,4 ribu ha. Area terbakar tertinggi kedua berada di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang mencapai 3,4 ribu ha.

6. Apa yang harus menjadi perhatian pemangku kebijakan dalam upaya penanggulangan ke depan?

Berdasarkan analisis AIT yang dilakukan MADANI pada 2023, angka kebakaran meningkat tajam pada kurun Juli-September, terutama di provinsi yang rentan karhutla seperti Kalimantan Tengah. Meskipun tahun ini berada di luar 10 Provinsi dengan AIT terluas, namun angka AIT di Kalimantan Tengah terus meningkat pada medio Mei ke Juni. Pada level kabupaten, Merauke harus menjadi perhatian sebab menjadi kabupaten dengan angka indikasi terbakar yang tinggi.

 

Pengambil kebijakan di daerah harus mengambil langkah tepat agar peristiwa serupa tidak terulang, apalagi dengan tren kebakaran yang meningkat tajam dari Mei ke Juni. MADANI mendorong pengambil kebijakan di daerah untuk segera memitigasi potensi kebakaran, terutama di lahan kering. Pemilik izin dan masyarakat juga berandil penting dengan tidak melakukan aktivitas membakar serta melakukan tindakan cepat ketika muncul AIT.

7. Apa pembelajaran penting dari data AIT Madani?

Hasil analisis pemodelan AIT MADANI secara periodik dalam empat tahun terakhir, menunjukkan Indonesia belum bebas dari karhutla. Temuan kami menunjukkan masih terjadi kebakaran dari area bertutupan hutan alam, area gambut, hingga area yang sudah dibebani izin. Hal itu menunjukkan urgensi perbaikan sistemik dalam penanganan dan mitigasi karhutla, baik pada level nasional maupun regional. Perubahan tersebut utamanya terkait pada perbaikan regulasi dan penegakan hukum, serta pemenuhan kebutuhan personil, pembiayaan, dan prasarana.

 

MADANI akan terus melakukan analisis karhutla berbasis AIT sebagai suatu upaya kontribusi konkrit untuk terus menekan angka karhutla. Pemodelan AIT diharapkan bisa menjadi alat bantu dalam memitigasi kejadian karhutla di berbagai wilayah, terutama pada area dengan tutupan hutan alam. Dengan update data lebih cepat yang kami lakukan, upaya penanganan karhutla dapat dilakukan secara lebih dini. 

Unduh Dokumen Terkait

Related Article

Demi Kebijakan Iklim yang Adil dan Inklusif, Masyarakat Sipil Suarakan Keadilan Iklim Dalam Second NDC

Demi Kebijakan Iklim yang Adil dan Inklusif, Masyarakat Sipil Suarakan Keadilan Iklim Dalam Second NDC

[Madani News] Pendekatan yang adil dan inklusif akan menciptakan pondasi yang kuat untuk implementasi NDC yang berkelanjutan karena melibatkan dan memberdayakan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam mencapai target iklim.

Begitulah pesan yang ingin disampaikan masyarakat sipil dalam acara Ruang Dialog “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan” yang diselenggarakan Yayasan MADANI Berkelanjutan bersama Yayasan Pikul dan Yayasan Humanis  3-4 Juli 2024 di Jakarta.

BACA JUGA: Konferensi Perubahan Iklim Bonn 2024: Jalan Terjal Menuju COP 29

Diketahui saat ini Pemerintah Indonesia sedang menyusun Nationally Determined Contribution Kedua (Second NDC/SNDC) yang akan disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC) pada Agustus 2024. Penyusunan SNDC tersebut diharapkan mengintegrasikan keadilan iklim sehingga dapat mengatasi ketidaksetaraan sosial-ekonomi-politik yang ada sembari memastikan beban dan manfaat aksi iklim didistribusikan secara adil.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad mengatakan, untuk mengintegrasikan keadilan iklim dalam berbagai kebijakan maupun program pemerintah seperti NDC ataupun SNDC maupun berbagai aksi penanganan krisis iklim, perlu untuk melihat empat dimensi yakni keadilan rekognitif, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan restoratif.

Nadia juga mengingatkan bahwa Indonesia saat ini telah memasuki fase krisis iklim mengingat dampaknya yang sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia di seluruh lapisan.

Apakah itu di wilayah urban, suburban, atau di pedesaan merasakan dampaknya dalam bentuk yang berbeda-beda. Itu yang menjadi alasan utama, masyarakat yang terkena dampak itu harus ditempatkan sebagai subjek dan bukan hanya sekedar objek dalam penanganan krisis iklim,” ucap Nadia.

Saat ini, Indonesia harus menanggung beban dari dampak emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan negara maju sejak revolusi industri 30 dekade yang lalu.

Selain itu, rakyat Indonesia juga menanggung beban ekologis dari ekstraksi sumber daya alam yang dilakukan negara maju. Akibatnya, banyak masyarakat adat dan lokal yang kehilangan akses atas kepemilikan tanah (land tenure).

Nadia mengatakan bahwa akibat perubahan iklim, masyarakat harus mengubah pola hidupnya dan beradaptasi. Akan tetapi, di sisi lain mereka tidak merasa dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan di Indonesia.

BACA JUGA: Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah harus melibatkan semua elemen khususnya kelompok rentan seperti nelayan tradisional, masyarakat pesisir, petani kecil, masyarakat adat, perempuan, orang dengan ragam disabilitas, anak-anak dan lansia, kelompok miskin urban dan sub-urban, maupun buruh dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim.

Melalui acara ruang dialog ini, Yayasan MADANI Berkelanjutan berharap aspirasi dan masukan  dari kelompok rentan dan masyarakat sipil dapat didengar para pembuat kebijakan demi upaya  untuk memperkuat ambisi dan dimensi keadilan iklim dalam dokumen kebijakan yang relevan seperti halnya SNDC maupun RPJMN 2025-2029. [ ]

Dokumen terkait:

Related Article

Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

Seruan Mendesak dari Masyarakat Rentan Agar Penyusunan Dokumen Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC) Lebih Partisipatif dan Inklusif

[Siaran Pers, 28 Juni 2024] Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen menangani krisis iklim dengan menyusun dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC, mulai dari NDC Pertama (First NDC), Updated NDC, hingga yang terbaru, Enhanced NDC. Namun, kami menilai bahwa penyusunan dokumen NDC di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan prinsip transparansi dan partisipasi yang inklusif dan bermakna, terutama bagi masyarakat yang terdampak dan pihak-pihak non-pemerintah pusat yang lazim disebut sebagai Non-Party Stakeholders atau NPS. Dalam momentum penyusunan dokumen Second NDC (SNDC), Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah serius untuk melibatkan kelompok yang paling berisiko terkena dampak perubahan iklim seperti nelayan tradisional, petani, masyarakat adat, perempuan, orang dengan disabilitas, anak-anak dan lansia dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, yang mendukung penuh  masyarakat rentan dalam menyuarakan aspirasi mereka dalam Surat Terbuka Lindungi Rakyat Indonesia Hari Ini dan Esok: Pastikan Partisipasi Bermakna dalam Penyusunan Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC).

“Dokumen NDC kedua Indonesia ini seharusnya tidak hanya ambisius, namun juga memuat komitmen yang konkret serta dilakukan melalui proses yang partisipatif, inklusif, dan adil. Untuk mencapai hal tersebut, dimensi keadilan iklim yang mencakup keadilan distributif, keadilan rekognitif, keadilan prosedural, keadilan restoratif-korektif, dan keadilan gender semestinya secara otomatis dilakukan dan disediakan oleh pemerintah guna pemenuhan hak asasi kepada warga negara sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi,” tambah Nadia.

“Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim memberikan dampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, gelombang pasang, penurunan muka tanah, dan kebakaran hutan dan lahan telah membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal, memakan banyak korban jiwa, merusak mata pencaharian nelayan, petani, masyarakat adat, bahkan melumpuhkan perekonomian lokal. Orang dengan disabilitas, perempuan, anak-anak dan lansia, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, petani kecil, dan nelayan tradisional menanggung beban yang jauh lebih berat karena kurangnya kemampuan dan dukungan bagi mereka untuk bertahan,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.

Armayanti Sanusi, Ketua Solidaritas Perempuan, mengatakan, “Faktanya, tahapan penyusunan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) masih mendiskriminasi perempuan untuk dapat terlibat secara bermakna di dalam seluruh tahapan perencanaan hingga monitoring adaptasi dan mitigasi iklim di Indonesia. Lebih lanjut lagi skema mitigasi masih lebih dikedepankan oleh pemerintah Indonesia, dibandingkan skema adaptasi yang dibutuhkan oleh perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim dan bencana. Padahal perempuan memiliki inisiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim di Indonesia. Proyek hilirisasi energi Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang diklaim pemerintah sebagai transisi energi bersih justru menempatkan perempuan pada situasi berlapis akibat masifnya perampasan, penggusuran ruang hidup perempuan, hingga penghilangan pengetahuan dan kearifan lokal  yang menciptakan berbagai ketimpangan dan feminisasi pemiskinan struktural bagi perempuan petani, nelayan dan perempuan adat”.

“Jumlah warga lansia dan difabel di Indonesia sekitar 50 juta orang, dan di dunia hampir mendekati 2 miliar orang. Sudah sepantasnya mereka terlibat di dalam seluruh proses pengambilan keputusan,” ujar Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia yang juga sekaligus Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability. “Proses penyusunan NDC yang kedua tidak menunjukkan adanya keberpihakan pada keadilan iklim bagi warga rentan ini. Prinsip “No One Left Behind” dan “Nothing About Us Without Us” tidak terlihat, dan mungkin juga tidak dipahami dalam merepresentasikannya,” imbuh Farhan.

Sementara itu, masyarakat yang hidup di pesisir juga belum dilibatkan secara inklusif. “Sangat penting memastikan suara nelayan tradisional didengar dan diperhitungkan dalam penanganan perubahan iklim. Khususnya dalam konteks penyusunan Second NDC. Faktanya, nelayan kecil dan tradisional merupakan kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Hasil survei KNTI tahun 2023 menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menurunkan hasil tangkapan sebesar 72%, menurunkan pendapatan sebesar 83%, dan meningkatkan risiko kecelakaan sebesar 86%. Tanpa pelibatan nelayan, kebijakan yang dihasilkan berisiko tidak relevan dan tidak efektif di lapangan. Nelayan kecil dan tradisional tidak hanya ingin menjadi objek dari kebijakan, tetapi juga subjek yang aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan,” tegas Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

“Menurunnya jumlah nelayan karena minimnya minat generasi muda untuk menjadi nelayan atau berusaha di sektor kelautan perikanan. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya risiko bekerja di laut pun demikian yang bergerak di sektor budidaya ikan dan rumput laut akibat dari adanya perubahan iklim dan menurunnya kesehatan laut dan pesisir,” terang Hendra Wiguna selaku Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia.

Hendra melanjutkan bahwa menurunnya jumlah nelayan ini perlu diantisipasi segera, karena akan berdampak luas mulai dari ketersediaan pangan hingga serapan tenaga kerja yang selama ini terserap oleh sektor usaha kelautan perikanan. Maka dari itu terkait dengan dampak perubahan iklim ini, perlu langkah serius dari pembuat kebijakan, serta kedepan setiap kebijakan yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim harus dimusyawarahkan bersama para pelaku di sektor pangan dalam hal ini nelayan, pembudidaya ikan, petani, peternak.

“Harapannya dengan pelibatan tersebut, akan hadir produk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terdampak perubahan iklim dan terwujud kemampuan adaptasi yang mumpuni bagi nelayan muda dan pelaku usaha kelautan perikanan lainnya,” tambah Hendra

“Sekitar 68 juta orang muda mendominasi populasi Indonesia. Masa depan orang muda yang diharapkan Pemerintah sebagai bonus demografi akan terancam dengan semakin parahnya bencana ekologis akibat dampak perubahan iklim. Apalagi 70% bencana ekologis di Indonesia adalah akibat perubahan iklim. Jumlah dan intensitasnya akan semakin meningkat seiring dengan suhu bumi yang semakin panas menuju jalur bahaya neraka iklim 1,5 derajat Celcius. Dalam situasi belum hadirnya undang-undang mengenai mitigasi dan adaptasi iklim yang memprioritaskan keadilan dan partisipasi rakyat secara bermakna, seluruh orang muda akan menjadi korban. Cita-cita menuju Indonesia maju akan sirna.” ujar Decmonth dari Extinction Rebellion Indonesia.

“Untuk itu, kami sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang terdampak krisis iklim memiliki aspirasi mewujudkan keadilan iklim bagi rakyat Indonesia meminta agar proses penyusunan Second NDC betul-betul mencerminkan proses partisipasi yang inklusif dan bermakna. Aksi iklim yang dirancang tanpa partisipasi inklusif dan bermakna bersama masyarakat dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar,” pungkas Torry Kuswardono.

Surat terbuka ini ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan ditandatangani oleh 32 lembaga perwakilan Masyarakat sipil yang banyak bergerak di krisis iklim. Lembaga-lembaga tersebut adalah 350.org Indonesia,  Aksi! for gender, social and ecological justice,  Bengkel Advokasi Pemberdayaan. dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK),  Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Climate Rangers Jakarta, Extinction Rebellion Indonesia, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Koaksi Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI), Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Lembaga Transform NTB, Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia, Perkumpulan HuMa Indonesia, Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS), Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP), Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Working Group ICCAs Indonesia (WGII), YAKKUM Emergency Unit (YEU), Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), Yayasan PIKUL [ ]

 

Kontak Media: 

Related Article

Naik 3 Kali Lipat Dibanding Tahun Sebelumnya, Kalimantan Timur Berstatus Siaga Darurat Karhutla

Naik 3 Kali Lipat Dibanding Tahun Sebelumnya, Kalimantan Timur Berstatus Siaga Darurat Karhutla

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di kuartal pertama tahun ini melonjak tinggi. Berdasarkan analisis model Area Indikatif Terbakar (AIT) yang dikembangkan Yayasan MADANI Berkelanjutan sejak 2019, terjadi kenaikan luas area indikatif terbakar secara year on year (yoy) di periode yang sama (Januari-April) sebesar 3 kali lipat dari 12.952 hektare area diduga terbakar di 2023 menjadi 41.982 hektare di 2024.

Kenaikan signifikan ini patut menjadi perhatian serius semua pihak, terutama pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang memiliki wewenang dalam penanganan dan penanggulangan bencana karhutla di negeri ini.

Akumulasi Model AIT tiap provinsi ini memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 97,37% dengan SIPONGI (Sistem Pemantauan Karhutla) miliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK.

Model AIT yang dikembangkan MADANI ini merupakan upaya untuk melihat pola hotspot yang memiliki karakteristik khusus. Sehingga patut kita duga menjadi area indikatif terbakar. Data hotspot sendiri memiliki kekurangan, di antaranya sulit untuk memilah mana titik panas karhutla dan mana titik panas selain karhutla. Namun pada Model AIT MADANI, hanya memasukan titik panas penyebab karhutla sehingga menghasilkan informasi yang lebih akurat.

Dari data AIT MADANI, tercatat bahwa ada 87,5% AIT atau setara 35 ribu ha berada di 10 Provinsi terluas yakni, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, NTT, Kepulauan Riau, Aceh, Kalimantan Barat, Riau, dan Kalimantan Timur.

Related Article

en_USEN_US
https://www.cpo.gov.hk/arts/pkv-games/ https://www.cpo.gov.hk/arts/bandarqq/ https://www.cpo.gov.hk/arts/dominoqq/ https://lsp-daimaru.id/pkv-games/ https://lsp-daimaru.id/bandarqq/ https://lsp-daimaru.id/dominoqq/ https://www.barkasmal.com/pgrm/pkv-games/ https://www.barkasmal.com/pgrm/bandarqq/ https://www.barkasmal.com/pgrm/dominoqq/ https://madaniberkelanjutan.id/alam/pkv-games/ https://madaniberkelanjutan.id/alam/bandarqq/ https://madaniberkelanjutan.id/alam/dominoqq/ https://mataramweb.com/jasa/pkv-games/ https://mataramweb.com/jasa/bandarqq/ https://mataramweb.com/jasa/dominoqq/