Meski terus dikritik sejak proses perencanaannya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) seakan tak terbendung. Mengacu pada UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, pembangunan IKN telah ditetapkan sebagai program prioritas nasional dalam rencana kerja pemerintah selama 10 tahun setidaknya hingga tahun 2032. Biaya membangun IKN cukup fantastis. Menurut Nota Keuangan RAPBN 2025, pada tahun 2023, pembangunan infrastruktur di IKN menelan biaya 21,7 triliun rupiah sedangkan pada RAPBN tahun anggaran 2025, alokasi yang direncanakan Pemerintah untuk mendukung penyiapan pembangunan IKN mencapai Rp143,1 miliar.
Tidak hanya soal biaya, pembangunan IKN yang berada di daratan timur Kalimantan seluas 256.000 hektare juga dikhawatirkan akan memicu perusakan ekosistem, termasuk hutan yang menopang berbagai kehidupan di dalam dan sekitarnya, serta menggusur wilayah masyarakat adat yang telah eksis bertahun lamanya. MADANI –dengan turut menghimpun laporan berbagai jaringan masyarakat sipil– akan memaparkan bagaimana dampak pembangunan IKN terhadap eksistensi hutan alam, masyarakat adat, dan komunitas lokal yang berada di wilayah IKN maupun wilayah penyangga.
Secara umum, meski perencanaan IKN berjanji akan melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati di wilayahnya, tidak ada jaminan bahwa semua hutan alam yang tersisa akan dilindungi, terlebih yang sudah terlanjur diberikan ke izin dan konsesi. Selain itu, IKN juga mengancam kelangsungan ekosistem mangrove di kabupaten penyangga, serta deretan perbukitan berhutan di daratan Sulawesi Tengah yang menjadi wilayah pemasok material bangunan dan pangan untuk IKN. Terhadap masyarakat adat, pembangunan IKN juga dilakukan dengan mengabaikan keterlibatan aktif mereka. Lebih parahnya, masyarakat adat justru terancam menjadi pihak yang tergusur dari wilayahnya akibat pembangunan IKN.
IKN sebagai “Forest City”
Wilayah IKN terbagi dua, yaitu Kawasan Ibu Kota Nusantara (K-IKN) seluas kurang lebih 56.180 hektare dan Kawasan Pengembangan Ibu Kota Nusantara (KP-IKN) seluas kurang lebih 199.962 hektare. Sekitar 45% wilayah IKN masih berstatus Kawasan Hutan. Tutupan hutan alam secara keseluruhan di IKN pada tahun 2022 mencapai 44 ribu hektare atau seperempat dari wilayah IKN secara keseluruhan. Dari angka ini, 96% atau setara 41 ribu ha berada di Kawasan Pengembangan atau KP-IKN sedangkan hutan alam di K-IKN tercatat sekitar 2 ribu ha. Jejak deforestasi di wilayah yang sekarang menjadi IKN selama 10 tahun terakhir tercatat 11 ribu ha, di mana 1,5 ribu ha merupakan hutan alam.
Berdasarkan Rencana Induk IKN, IKN akan dibangun menjadi Forest City dengan minimal 75% (tujuh puluh lima persen) kawasan hijau, di mana 65% merupakan area yang dilindungi dan 10% area produksi agrikultur. Salah satu prinsipnya adalah dengan memiliki kualitas tutupan lahan yang baik. Selain itu, lanskap “Hutan Hujan Tropis” di IKN juga harus direvitalisasi.
Meski berkonsep “Forest City”, tidak seluruh hutan alam di IKN terlindungi, khususnya yang berada di Kawasan Pengembangan atau KP-IKN. Dari 41 ribu ha hutan alam, hanya 22,8 ribu ha (55%) yang terlindungi karena berada di Hutan Konservasi. Sisanya seluas 18,7 ribu ha berada di kawasan Hutan Produksi dan Area Penggunaan Lain yang dapat dieksploitasi. Bahkan, lebih dari 20 ribu ha hutan alam di KP-IKN ternyata sudah masuk ke area izin dan konsesi, terbesar di izin kehutanan, yaitu izin logging. Ada juga hutan alam yang sudah berada di izin perkebunan sawit, konsesi tambang minerba dan migas.
Apabila IKN serius menjadi Forest City, seharusnya hutan alam yang terlanjur berada di wilayah izin dan konsesi ditetapkan sebagai area yang dilindungi. Ada berbagai skema yang dapat digunakan, mulai dari review perizinan, penetapan Area Bernilai Konservasi Tinggi, hingga penetapan Areal Preservasi. Hal ini penting karena peruntukan lahan di Kawasan Pengembangan IKN turut mencakup ekspansi wilayah urban dan agrikultur. Di Indonesia, ekspansi komoditas agrikultur dan perkotaan merupakan pendorong deforestasi yang signifikan.
Selain itu, transparansi Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sangat penting untuk memastikan realisasi perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati sesuai janji Rencana Induk IKN. Saat ini, RDTR IKN tidak dapat diakses oleh publik sehingga realisasi kawasan hijau tidak bisa dipastikan.
IKN, Pendorong Kerusakan di Wilayah Penyangga?
Penetapan IKN sebagai Forest City bisa jadi mempersempit ruang perusakan di wilayah IKN itu sendiri. Namun, potensi kerusakan yang lebih besar justru berada di wilayah lain yang “dikeruk” untuk menopang pembangunan IKN. Laporan Majalah Tempo pada Juni 2024 memaparkan bahwa pembangunan IKN meningkatkan ancaman terhadap hutan mangrove di Balikpapan, salah satu kota yang menjadi wilayah penyangga. Kondisi ini turut pula mengancam keberadaan bekantan dan pesut yang bergantung pada ekosistem mangrove. Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara memasukkan kawasan mangrove di Teluk Balikpapan dalam wilayah pengembangan mereka. Lampiran II UU Nomor 3 /2022 tentang Ibu Kota Negara (UU-IKN) menyebut, ada dua pelabuhan utama di Teluk Balikpapan yang akan menjadi fasilitas penunjang IKN.
Selain di Kawasan Pengembangan IKN, ancaman akibat kebutuhan pembangunan juga teridentifikasi di beberapa wilayah Sulawesi Tengah. Berdasarkan catatan WALHI Sulawesi Tengah, izin galian C di Kabupaten Palu, Sigi, dan Donggala tercatat terus meningkat semenjak 2022, tahun dimulainya pengembangan IKN secara masif. Saat ini terdapat 69 izin existing di wilayah tersebut dengan total luasan 1.764,41 ha, melonjak 49 izin dalam kurun 3 tahun. Jika dibiarkan, operasi industri ini dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hutan di Lansekap Gawalise yang membentang di Palu dan Donggala. Tentu kondisi ini dapat meningkatkan potensi bencana seperti longsor dan banjir yang akan berdampak pada ribuan warga yang tinggal di dataran tersebut.
Penyelenggaraan Kawasan Pangan Nusantara (KPN) Desa Talaga di Kabupaten Donggala yang direncanakan menjadi pemasok pangan di IKN juga melahirkan persoalan, terutama terkait rendahnya pelibatan masyarakat dan perencanaannya yang tidak transparan. Dalam kunjungan lapangan MADANI bersama EKONESIA dan diskusi dengan berbagai pihak Desa Talaga terungkap bahwa tidak ada keterbukaan informasi dan pelibatan masyarakat secara bermakna dalam perencanaan proyek KPN.Sosialisasi dan musyawarah hanya dilakukan di salah satu Dusun dan pemerintah daerah Kabupaten. Sementara tidak ada sosialisasi yang dilakukan secara menyeluruh di lingkup Desa Talaga sebagai sentral pelaksanaan proyek. Lebih dari itu, EKONESIA juga mencatat bahwa proyek KPN tidak menjawab kebutuhan atas ketahanan pangan lokal dan perlindungan sosial dan budaya masyarakat. Penanaman komoditas jagung, sorghum, dan kedelai yang dicanangkan pada lokasi KPN tidak cocok dengan kondisi tanah yang berbatu dan kurang subur. Selain itu, masyarakat setempat sudah terbiasa mengembangkan tanaman keras dan perkebunan jangka panjang seperti kelapa, kakao, dan agroforestri.
Berkaca pada situasi yang sudah terjadi, potensi perusakan ekosistem dan sosial-budaya masyarakat di wilayah penyangga dan penyuplai kebutuhan IKN semakin mengkhawatirkan, namun belum mendapatkan respon memadai dari Pemerintah. Hal ini juga belum masuk sebagai sesuatu yang diperhitungkan secara serius dalam Rencana Induk IKN. Tanpa kacamata yang lebih luas dalam melihat hal ini, IKN yang dicita-citakan sebagai penggerak ekonomi di wilayah Timur akan menjadi episentrum penghancuran yang justru memunculkan zona-zona pengorbanan baru.
IKN Mengancam Ruang Hidup Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Perayaan HUT RI ke-79 di IKN nyatanya menjadi pertanda buruk bagi mereka yang harap-harap cemas ruang hidupnya yang akan dirampas. Mereka adalah masyarakat adat, masyarakat yang tinggal di sekitaran wilayah IKN yang harapannya akan kesejahteraan dari dibangunnya IKN sirna karena nyatanya mereka justru tergusur bahkan tidak diperkenankan untuk ikut merayakan kemerdekaan di ibu kota baru.
Kekhawatiran masyarakat adat bukan tanpa alasan. Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), ada sekitar 105 ribu hektare wilayah adat di wilayah IKN, yaitu wilayah adat Mentawir, Sepaku, Pemaluan, dan Maridan. Catatan Akhir Tahun AMAN pada 2021 menyebut lebih banyak lagi masyarakat adat yang berpotensi terdampak. Terdapat 21 komunitas adat di wilayah rencana pembangunan IKN, 19 komunitas adat di Penajam Paser Utara, sisanya di Kutai Kartanegara. Identifikasi mereka menunjukkan terdapat 11 komunitas adat di dalam zona inti pembangunan IKN, menunjukkan bahwa lokasi IKN bukan sekedar tanah kosong.
Catatan AMAN menunjukkan beberapa kasus konkrit terebutnya ruang hidup masyarakat adat untuk Pembangunan IKN. Komunitas Masyarakat Adat Pemaluan Sepaku contohnya, kebun maupun rumah mereka tiba-tiba dimasukkan ke dalam areal pembangunan IKN tanpa pernah diminta persetujuan. Drone (pesawat tanpa awak) tiba-tiba terbang di areal kebun milik masyarakat. Tanpa seizin masyarakat kebun mereka telah dipatok tanpa pemberitahuan yang jelas. Area mereka berpotensi akan digusur demi perluasan areal IKN.
Kondisi serupa juga terjadi pada wilayah adat Maridan yang tiba-tiba dipasang plang yang mengklaim area mereka menjadi milik suatu instansi Pemerintah. Padahal area tersebut banyak ditumbuhi pohon mangrove dan banyak sekali makam tua yang menjadi bagian dari sejarah peradaban komunitas Maridan. Lokasi pemakaman tua itu terletak disekitar pinggiran laut wilayah adat Paser Maridan. Masyarakat khawatir makam-makam tua tersebut akan hancur seiring adanya pembangunan IKN ini. Tak hanya makam tua, situs ritual adat pun terancam punah seperti yang telah terjadi di komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku yakni Batu Tukar Nondoi dan Batu Badok. Kedua situs ini telah hancur akibat pembangunan bendungan Intake Sepaku.
Tak hanya masyarakat adat di area IKN, masyarakat yang tinggal di daratan Pasigala (Palu, Sigi, Donggala) yang menjadi wilayah penyangga IKN turut merasakan dampaknya. Akibat industri galian C yang makin masif, angka infeksi pernafasan tercatat sangat tinggi. Berdasarkan data Januari 2024 hingga April 2024 total ada 461 orang menderita ISPA di wilayah lingkar tambang, terdiri dari 164 orang di Buluri, 170 orang di Tipo, dan 127 orang di Watusampu, Kota Palu. Perlu diingat penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian yang diakibatkan oleh penyakit pernafasan.
Fakta-fakta di atas seharusnya sudah cukup membuktikan bahwa Pemerintah harus mengoreksi proses pembangunan IKN yang mengabaikan kondisi lingkungan, kelangsungan wilayah masyarakat adat, dan ruang yang sehat untuk masyarakat. Alih-alih menjadi “Forest City” sebagaimana yang telah digadang-gadang oleh pembuat kebijakan, saat ini IKN justru membangun banyak kecemasan akan dampak buruk yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat di sekitar area pembangunan.
Penulis:
Sadam Afian Richwanudin, Legal Officer MADANI Berkelanjutan
Photo: