Bulan Juli – Agustus 2024 kembali menjadi momentum hitam bagi Indonesia dengan melonjaknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di berbagai penjuru negeri. Luas area terbakar meningkat tajam dari 11.711 hektare di bulan Juni menjadi 60.292 hektare hanya dalam satu bulan. Lalu melonjak lagi menjadi 45.368 hektare pada separuh bulan Agustus. Secara total, sejak Januari hingga 18 Agustus 2024, sudah terbakar 163 ribu hektare lahan di Indonesia, 94% atau 152,8 ribu hektare di antaranya tidak terbakar di area yang sama melainkan meluas ke area baru.
Analisis Madani Berkelanjutan menunjukan bahwa karhutla di kawasan hutan meningkat tujuh kali lipat, dari 4.211 hektare pada Juni menjadi 31.315 hektare pada Juli, lalu menjadi 23.242 selama 18 hari di bulan Agustus. Kebakaran juga merambah ke kawasan Hutan Lindung dan Konservasi dengan total hampir 34 ribu hektare dari Januari hingga pertengahan Agustus, 42% dari total area terbakar di kawasan hutan. Provinsi Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur menjadi lokasi dengan Area Indikatif Terbakar terluas di bulan Juli sementara Kalimantan Timur yang pada bulan Juni menjadi provinsi “terpanas” berhasil menekan angka karhutla. Sedangkan memasuki hari ke 18 di Bulan Agustus, Nusa tenggara Timur bertambah 12.526 hektare sedangkan Kalimantan Barat bertambah 10.022 hektare.
Baca Juga: Api Meninggi di Bulan Juni
Peningkatan Karhutla Bukan Faktor Alam (saja)
Krisis iklim yang cenderung memperpanjang musim kering tentu menjadi salah satu hal yang bisa mendorong peningkatan karhutla. Tapi, faktor alam tersebut bukan menjadi tantangan utamanya. Sudah sangat banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mencegah karhutla untuk terjadi. Terlebih dengan fakta sejarah bahwa kabut asap Indonesia pernah menjadi sebuah permasalahan lintas negara dengan Singapura dan Malaysia pada 1997 dan 2015. Jelas saja, karhutla mendapatkan perhatian yang sangat besar. Bukan hanya itu, persoalan karhutla menjadi semakin tajam ketika melihat kenyataan bahwa 99% karhutla di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya karena praktik pembukaan lahan dengan cara membakar. Berbeda dengan beberapa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada beberapa negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat.
Hal ini sejalan dengan temuan dari analisa yang dilakukan Madani Berkelanjutan yang menunjukan empat area yang menonjol dalam kejadian karhutla yang meningkat pada periode Juli – Agustus ini. Terdapat karhutla di hutan alam, ekosistem gambut, area Moratorium atau Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), serta karhutla di dalam dan sekitar izin konsesi yang menjadi sorotan atas peningkatan kejadian.
Karhutla di area hutan alam meningkat
Karhutla di area hutan alam meningkat lebih dari sepuluh kali lipat pada Juli 2024, mencapai 8.421 hektare dari hanya 650 hektare di bulan sebelumnya. Lalu meningkat selama hari ke 18 di bulan Agustus mencapai 6.458 hektare. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena hutan yang terbakar merampas habitat alami bagi banyak spesies, memperburuk krisis keanekaragaman hayati, dan melepaskan sekitar 1.025.715,7 ton CO2 ke atmosfer yang memperparah perubahan iklim. Saat ini, ada sekitar 29 juta hektare hutan alam yang berada dalam penguasaan izin dan konsesi ekstraktif seperti izin perkebunan sawit, konsesi logging, Hutan Tanaman Industri, serta tambang. Selain itu, ada 9,7 juta hektare hutan alam yang belum masuk terlindungi oleh kebijakan moratorium izin (PIPPIB).
Ekosistem gambut, yang dikenal sebagai salah satu penyangga ekologi terpenting, juga tidak luput dari kehancuran. Kebakaran di ekosistem gambut melonjak dari 195 hektare pada Juni menjadi 12.657 hektare di Juli. Sedangkan hingga hari ke 18 di Bulan Agustus, kebakaran bertambah lagi menjadi 3.940 hektare. Ironisnya, ekosistem gambut lindung justru terbakar lebih luas dibandingkan ekosistem gambut yang berfungsi sebagai area budidaya. Artinya, ini mengindikasikan ada kegiatan yang dilakukan pada wilayah yang seharusnya tidak terdapat aktivitas manusia. Pembukaan hutan dan pengeringan gambut di izin dan konsesi turut meningkatkan risiko karhutla. Saat ini, terdapat 9,5 juta hektare ekosistem gambut yang berada dalam penguasaan izin perkebunan sawit, logging, dan Hutan Tanaman Industri.
Area moratorium PIPPIB dan izin konsesi pun tak luput dari amukan api. Area PIPPIB yang terbakar melonjak dari 1.903 hektare menjadi 16.116 hektare, dan area konsesi yang terbakar naik drastis dari 2.517 hektare menjadi 19.323 hektare. Kenaikan terbesar terjadi di konsesi perkebunan sawit, yang meningkat dari 192 hektare menjadi 6.597 hektare.
Upaya Belum Cukup
Sebagai negara yang berulang kali mengalami permasalahan karhutla, Indonesia telah melakukan berbagai upaya pencegahan. Namun, setiap upaya yang diupayakan oleh Pemerintah tidak pernah mampu untuk seutuhnya mewujudkan Indonesia terbebas dari ancaman karhutla. Badan Restorasi Lahan Gambut dan Mangrove (BRGM) digadang sebagai salah satu institusi yang bisa mencegah karhutla dengan berbagai kegiatannya yang berkaitan dengan restorasi lahan gambut. Tapi sayangnya, BRGM menghadapi berbagai persoalan pelik.
Pertama, kewenangannya yang terbatas serta sering tumpang-tindih dengan kewenangan institusi lain. Terbatasnya kewenangan tersebut misalnya dalam ketiadaan kewenangan BRGM dalam melakukan monitoring gambut di area konsesi, pasca terbitnya Perpres Nomor 120/2020 yang mengganti Perpres Nomor 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut, kewenangan supervisi pemeliharaan gambut di lahan konsesi dihapus. Sementara tumpang-tindih dengan instansi lainnya muncul misalkan dalam pengelolaan mangrove. Berdasarkan Perpres No. 120 Tahun 202, KLHK memiliki kewenangan untuk mengelola mangrove di kawasan hutan, sedangkan BRGM memiliki kewenangan untuk melakukan percepatan rehabilitasi mangrove. Sementara, KKP bertanggung jawab atas mangrove di luar kawasan hutan berdasarkan Perpres No. 82 Tahun 2020. Kondisi ini dapat menghambat upaya mendasar untuk melindungi gambut.
Kedua, target restorasi lahan gambut yang ditetapkan pemerintah belum optimal lantaran masih banyaknya lahan gambut yang terbakar. Ketiga, upaya yang dilakukan oleh BRGM cenderung berfokus pada aspek teknis restorasi, namun, tidak cukup menyoroti permasalahan mendasar karhutla, yaitu pengelolaan lahan oleh korporasi besar yang mengabaikan standar lingkungan, serta praktik pembakaran lahan yang terus berlanjut di tingkat masyarakat karena tidak ada alternatif yang ditawarkan secara sistematis dan berkelanjutan.
Di samping BRGM, berbagai inisiatif juga dilakukan baik oleh Pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Tujuannya untuk mengefektifkan penanganan karhutla, namun nampaknya upaya tersebut juga tidak bisa secara efektif memberikan jalan keluar bagi permasalahan karhutla di Indonesia. Bahkan pemantauan secara near real time untuk kebakaran hutan sudah bisa dilakukan melalui mapbiomas fire, sebuah platform digital yang menyediakan informasi mengenai karhutla secara cepat. Madani Berkelanjutan pun mengembangkan laporan bulanan yang lebih cepat dari data resmi luasan hot spot yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan lewat SiPongi.
Semua inisiatif dari lembaga non pemerintah tersebut memiliki tujuan yang sama, berharap agar pengambil keputusan bisa segera mengambil tindakan ketika karhutla mulai menunjukan tanda peningkatan. Namun, untuk menyelesaikan isu karhutla dibutuhkan lebih dari sekedar tools (perangkat). Integritas, political will, dan kecepatan dalam melakukan upaya pencegahan (termasuk penegakan hukum) menjadi kunci utamanya.
Dari 22 putusan pengadilan dalam perkara terkait karhutla yang telah dimenangkan oleh negara, baru 7 perkara yang dieksekusi, dan baru 2 perusahaan yang sudah melaksanakan perintah eksekusi tersebut. Ini menunjukan bahwa belum ada tindakan yang cukup untuk memunculkan efek jera pada para pelaku pembakaran hutan. Demikian juga upaya politik yang kerap mengesankan bahwa Indonesia telah berhasil menekan kondisi karhutla. Pemberitaan maupun pernyataan publik maupun laporan tentang karhutla nasional kerap menunjukan keberhasilan Indonesia dalam menekan kejadian karhutla di Indonesia. Padahal, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau tetap konsisten melaporkan kejadian karhutla yang tetap tinggi. Demikian juga dengan berbagai analisis yang dilakukan kelompok masyarakat sipil lainnya. Artinya, bayang-bayang karhutla masih menghantui Indonesia khususnya dalam konteks pencapaian komitmen iklimnya.
Menuju Indonesia Tanpa Karhutla
Kejadian karhutla di Indonesia memiliki dinamika permasalahan yang perlu diselesaikan secara komprehensif. Semua pihak harus turut terlibat dan melakukan langkah konkrit sesuai dengan kapasitasnya. Kami melihat terdapat tiga aspek minimal yang perlu digarisbawahi untuk menjadi langkah awal dan tindakan cepat yang bisa dilakukan.
Karhutla adalah ancaman serius bagi masa depan ekologi, kesehatan, dan ekonomi Indonesia. Hasil analisis AIT MADANI selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia belum bebas dari karhutla, bahkan di area yang dilindungi seperti hutan alam dan ekosistem gambut. Ini menegaskan pentingnya perbaikan sistemik dalam penanganan dan mitigasi karhutla, baik di tingkat nasional maupun regional.
MADANI Berkelanjutan terus melakukan analisis karhutla berbasis AIT sebagai kontribusi nyata dalam upaya menekan angka karhutla. Pemodelan AIT diharapkan dapat menjadi alat bantu penting dalam memitigasi kejadian karhutla, terutama di area dengan tutupan hutan alam dan ekosistem gambut. Dengan update data yang lebih cepat, penanganan karhutla dapat dilakukan secara lebih dini, sehingga kerusakan yang lebih luas dapat dicegah.
Daftar Pustaka