27 November 2024 nanti, perhelatan pertama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan serentak akan dilaksanakan. Para calon kepala daerah, mulai mengeluarkan berbagai tawaran program visi dan misinya. Ditengah situasi itu, analisa kejadian karhutla yang dilakukan Madani Berkelanjutan menunjukan peningkatan kejadian karhutla. Analisa kami mencatat luas area yang terbakar naik dari 57.064 hektare di Juli 2024 menjadi 89.055 hektare pada Agustus 2024. Sepanjang Juli-Agustus 2024 total luas area terindikasi terbakar adalah 200 ribu ha di seluruh Indonesia.
94,5% atau setara 196 ribu ha terindikasi di area baru dan bukan areal yang pernah terbakar. Akumulasi Area Indikatif Terbakar (AIT) tiap provinsi dengan rekap dari Sistem Pemantauan Karhutla (SiPongi) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada periode yang sama menunjukan kemiripan 89%.
Disclaimer:
Seluruh data kebakaran dalam artikel ini merujuk pada model Area Indikatif Terbakar (AIT) yang dikembangkan oleh MADANI Berkelanjutan. Model ini dirancang untuk mengidentifikasi pola titik panas yang berpotensi besar menjadi area karhutla. Data hotspot dalam model AIT MADANI telah melalui pemilahan yang cermat untuk menghasilkan informasi yang lebih akurat. Data akumulasi AIT di tiap provinsi memiliki kemiripan 94% dengan tabulasi SIPONGI. Meskipun SIPONGI dan AIT memiliki metode yang berbeda, keduanya memberikan informasi area indikatif terbakar yang relatif sama.
Berdasarkan data analisa kami, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Riau, Aceh, Sumatera Utara, dan Jambi menjadi sepuluh wilayah dengan tingkat karhutla tertinggi di Agustus 2024. Akan tetapi, dari kesepuluh daerah ini tidak ditemukan satupun kandidat kepala daerah yang memiliki gagasan politik maupun visi-misi menanggulangi bencana karhutla selama kepemimpinan mereka nantinya.
Ketiadaan gagasan politik terkait penanggulangan karhutla dari kandidat kepala daerah dapat didasari oleh dua faktor. Pertama, isu karhutla tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan elektabilitas atau tidak memiliki daya tarik elektoral. Kurangnya literasi publik terkait dengan isu ini menjadi salah satu kecenderungan kandidat kepala daerah juga tidak menganggap bahwa isu ini penting untuk dibahas dalam masa pemilihan.
Oleh karena itu, kandidat lebih mengutamakan isu-isu yang dianggap mampu menggaet minat pemilih seperti isu-isu bantuan soal, sembako, kesehatan dan pendidikan gratis, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagai.
Kedua, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan membuat isu karhutla tidak mendapat perhatian serius dari kandidat. Banyak politisi lokal memiliki hubungan yang erat dengan sektor bisnis seperti perkebunan sawit dan pertambangan, yang sering terlibat dalam praktik-praktik pembakaran lahan untuk membuka lahan baru. Ini bukan sebuah hal baru, bahkan tahun 2019, CIFOR telah menemukan fenomena tersebut. Dalam konteks ini, kepentingan ekonomi dan politik kandidat sering kali tumpang tindih dengan kepentingan korporasi besar yang justru diuntungkan oleh regulasi yang longgar dan lemahnya pengawasan terhadap praktek pembakaran lahan. Akibatnya, komitmen terhadap pengendalian karhutla sering diabaikan demi menjaga hubungan baik dengan pelaku bisnis yang berpengaruh.
Ketika masyarakat tidak menuntut penanggulangan karhutla secara konkret, kandidat pun tidak merasakan tekanan untuk memprioritaskan masalah ini dalam visi-misi mereka. Kesadaran terhadap dampak kesehatan dan ekonomi jangka panjang akibat karhutla, seperti kerugian materiil serta gangguan kesehatan seperti ISPA, masih sering diabaikan atau diremehkan oleh masyarakat maupun politisi lokal.
Hubungan Pilkada dan Karhutla
Ini bukan hal baru, banyak penelitian telah menunjukan korelasi yang erat antara kontestasi Pilkada dengan kejadian Karhutla. Walaupun saat ini sudah sangat jauh menurun, tapi ancaman kejadian karhutla masih tetap ada. Komitmen zero burning policy yang telah dimiliki Indonesia sejak Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Perkebunan, masih belum bisa berjalan. Komitmen yang kemudian dipertegas pada tahun 2014 juga terbukti masih belum bisa efektif menghilangkan karhutla di Indonesia. Buktinya, tahun 2015 kejadian karhutla besar kembali terjadi dan menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp220 triliun. Mencakup dampak pembatalan penerbangan, perkantoran yang libur, maupun aktivitas ekonomi yang berhenti.
Tahun 2015 merupakan momentum perhelatan Pilkada Serentak 2015 di berbagai daerah. Menurut data KLHK melalui SiPongi, angka karhutla cenderung tinggi pada tahun-tahun yang bersinggungan dengan pemilu. Dalam 10 tahun terakhir, misalnya, karhutla melonjak di tahun-tahun seperti 2014 (pemilihan presiden), 2015 (pilkada serentak), 2019 (pemilihan presiden), 2023 (menjelang pemilu 2024), dan 2024 (dari Januari hingga Agustus).
Bukan sebuah perkara sulit untuk mencari ujung pangkal korelasi antara Pilkada dan Karhutla yang kerap terjadi bahkan berulang. Karena politik dalam demokrasi Indonesia masih sangat kental dengan nuansa oligarki. Kedekatan (calon) penguasa suatu daerah dengan pengusaha yang memiliki kepentingan untuk membuka lahan bisa disaksikan dengan mudah. Pada akhirnya, penguasa dengan pengusaha akan saling melindungi kepentingannya masing-masing.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga Mantan Menteri Koordinator Hukum dan HAMam, Mahfud MD pernah mengatakan jika kecenderungan para calon pemimpin yang ikut dalam kontestasi pilkada melakukan kongkalikong atau didanai oleh cukong. Mahfud menyampaikan jika hampir 92 persen calon kepala daerah didanai oleh oligark sehingga terjadi korupsi kebijakan yang biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat. Kecenderungan ini membuat karhutla sulit untuk dipadamkan, sehingga seolah menjadi kutukan yang tidak pernah berakhir dari tahun ke tahun.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, juga menyoroti bahwa satu tahun sebelum dan sesudah pemilu merupakan periode yang rentan terhadap karhutla. Selama periode ini, sering terjadi transaksi izin pembukaan lahan yang melibatkan para kandidat politik dan pengusaha yang mendanai kampanye politik. Hal ini menandakan bahwa kontestasi politik sering kali menjadi pintu masuk bagi para oligarki untuk memperluas pengaruh ekonomi mereka melalui kebijakan lingkungan yang longgar.
BACA JUGA: Ibu Kota Nusantara: Kota Masa Depan atau Ancaman terhadap Hutan?
Hasil analisa Madani mencatat, 57% atau setara 111 ribu ha AIT berada di dalam dan sekitar Izin konsesi. Izin yang paling berkontribusi dalam nilai AIT terlebih saat memasuki Juli ini adalah izin sawit dan konsesi Migas. sedangkan untuk di sekitar Izin, paling banyak terjadi di sekitar Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
AIT di dalam izin konsesi naik dari 19 ribu ha pada Juli menjadi 34 ribu ha memasuki Agustus 2024. Untuk AIT di sekitar izin konsesi naik dari 12 ribu ha menjadi 13 ribu ha di bulan Agustus 2024. Meskipun kenaikan juga terjadi di area yang relatif jauh dari izin konsesi dari 26 ribu ha di Juli menjadi 42 ribu ha ha di bulan Agustus 2024. Artinya memasuki Agustus 2024 terdapat peningkatan aktivitas di dalam dan sekitar izin da konsesi yang diduga kuat menyebabkan karhutla.
3 Langkah Atasi Karhutla di Masa Pilkada
Meniadakan karhutla di negeri ini, jelas bukan urusan mudah bak membalik telapak tangan. Penangan karhutla mutlak memerlukan reformasi kebijakan lingkungan tegas. Beberapa hal yang dapat didorong seperti, pertama, memperkuat penegakan hukum dan sanksi terhadap oknum yang bertanggung jawab atas karhutla. Penegakan hukum yang kuat menjadi kunci dalam upaya mengurangi karhutla. Setiap kebakaran harus ditindak dengan cepat dan tegas, tanpa pandang bulu. Selain itu, perlu ada regulasi yang lebih ketat terhadap pembukaan lahan, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap karhutla.
Kedua, mewujudkan pilkada hijau. Terlalu dangkal jika pilkada hijau hanya diimplementasikan melalui regulasi tidak memasang atribut politik di pohon atau sebagainya. Pilkada hijau harus dimulai dari gagasan hijau serta para calon pemimpin yang juga punya wawasan dan kapasitas hijau yang memadai.
Calon kepala daerah harus memiliki program yang jelas terkait restorasi lahan, serta menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pembangunan daerah mereka. Calon kepala daerah yang maju dalam pilkada harus menunjukkan komitmen yang nyata dalam melindungi sumber daya alam dan meminimalisir risiko kebakaran hutan. Mereka harus berani mengambil langkah untuk membatasi aktivitas yang merusak lingkungan dan memastikan bahwa setiap pembangunan yang dilakukan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Pembangunan tanpa merusak lingkungan, bukan hal mustahil untuk diwujudkan.
Sepuluh daerah terbakar tertinggi menurut AIT Madani memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Misal, di Nusa Tenggara Timur wilayah terbakar kebanyakan meliputi semak belukar dan padang rumput. Sedangkan di Kalimantan Barat, karhutla terjadi di wilayah tutupan hutan dan tidak sedikit terjadi di daerah bergambut. Begitu juga di Surabaya, di mana karhutla terjadi di tutupan hutan tanaman atau hutan produksi. Seberapapun beda karakteristik dari tiap kasus karhutla, Pemerintah harus mulai melihatnya dari kacamata emisi CO2. Setiap karhutla pasti akan memiliki kontribusi pada peningkatan CO2, dan ini akan mempersulit upaya Pemerintah untuk pencapaian komitmen net sink FOLU 2030.
Sangat penting untuk setiap calon kepala daerah pada daerah yang memiliki kejadian karhutla tinggi untuk menyiapkan skenario perbaikan.
BACA JUGA: Kabut Asap Lahan Gambut, Republik Belum Merdeka dari Api
Ketiga, Masyarakat harus ambil kendali demokrasi. Jangan memilih pemimpin yang tidak memiliki komitmen kuat terhadap isu lingkungan hidup dan perlindungan ekosistem. Karena pada akhirnya, kerugian dan dampak terbesar dari karhutla akan dirasakan pertama kali oleh masyarakat.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai visi dan misi calon pemimpin daerah. Mereka harus berani mempertanyakan rencana konkret para calon dalam mengatasi karhutla dan isu-isu lingkungan lainnya. Masyarakat harus terlibat dalam forum-forum publik, debat kandidat, dan diskusi kebijakan lingkungan harus ditingkatkan. Tanpa keterlibatan aktif masyarakat dalam melihat komitmen calon kepala daerah, demokrasi hanya akan menjadi proses formalitas.
Selain itu, masyarakat juga perlu berperan aktif dalam pengawasan implementasi kebijakan lingkungan pasca pilkada. Pembentukan kelompok-kelompok pemantau lingkungan berbasis masyarakat dapat menjadi salah satu cara efektif untuk memastikan akuntabilitas pemerintah daerah dalam isu karhutla. Membangun sebuah jaringan yang kuat, untuk menjadi kekuatan penyeimbang dalam jalannya pemerintahan.
Memutus rantai karhutla dari siklus politik bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan. Hanya dengan tekad bersama – dari pemimpin yang visioner hingga masyarakat yang kritis – kita dapat memastikan bahwa asap karhutla tidak lagi mengaburkan harapan akan udara bersih dan lingkungan yang lestari bagi generasi mendatang.
https://www.cifor.org/news/media-coverage/373/peneliti-pilkada-pengaruhi-intensitas-kebakaran-hutan-di-indonesia-2
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/perkebunan/article/view/3506
imgae : https://www.antaranews.com/berita/1129791/cifor-waspadai-politik-lahan-picu-karhutla-jelang-pilkada