Indonesia darurat keadilan iklim. Pernyataan ini sangat relevan jika dihadapkan dengan kondisi negeri ini yang dihantam berbagai kepentingan politik transaksional dari oligarki yang begitu akut sehingga mengabaikan ancaman krisis iklim yang makin menjadi-jadi.

Di tengah kondisi bumi yang makin tidak baik-baik saja, masyarakat yang tergolong masuk dalam kelompok rentan (masyarakat miskin, petani gurem kecil, nelayan tradisional, penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, hingga lansia) makin tertindas karena suara mereka tenggelam oleh kepentingan yang tidak berpihak.

Mereka yang telah menjaga hutan, air, dan tanah selama berabad-abad, kini terdesak oleh kebijakan yang lebih berpihak pada keuntungan korporasi ketimbang kelestarian alam. Padahal, pengetahuan tradisional mereka adalah kunci yang dapat membantu Indonesia menghadapi perubahan iklim.

Ketika dunia berbicara tentang teknologi canggih untuk mitigasi perubahan iklim, kita melupakan bahwa masyarakat adat telah mempraktekkan solusi adaptif selama berabad-abad. Lantas mengapa suara mereka tidak didengar? Hal inilah yang menjadi fakta jika keadilan iklim di Indonesia masih jauh panggang dari api.

Untuk menjawab ini, MADANI Berkelanjutan bersama 37 kolaborator menggelar Ruang Dialog “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan” pada 3-4 Juli 2024 di Jakarta.

Kegiatan ini diselenggarakan untuk mengkonsolidasikan masukan kunci (high call) kelompok rentan dan masyarakat sipil mengenai penanganan krisis iklim yang ambisius, adil, dan inklusif. Dan agar aspirasi dari kelompok rentan serta masyarakat sipil dapat disampaikan kepada pembuat kebijakan untuk memperkuat ambisi dan dimensi keadilan iklim dalam dokumen kebijakan yang relevan (Second NDC, RPJMN 2025-2029).

Dari kegiatan ini, masyarakat sipil dan kelompok rentan menyuarakan tujuh (7) sektor penting yang harus menjadi perhatian pemerintah:

1. Ketahanan Sosial dan Penghidupan

Ketahanan sosial dan penghidupan menghadapi tantangan dari dampak perubahan iklim, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada pertanian dan perikanan. Ketidakstabilan iklim memperburuk kondisi kehidupan, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Alih fungsi lahan serta ketergantungan pada pangan impor turut memperparah situasi, mendorong marginalisasi kelompok masyarakat adat dan lokal. Diperlukan peningkatan akses terhadap sumber daya, perlindungan hak atas tanah, serta pengembangan kapasitas masyarakat untuk adaptasi terhadap perubahan iklim.

2. Sistem Tata Air dan Sanitasi

Perubahan iklim mempengaruhi sistem tata air dan sanitasi, menyebabkan krisis air bersih dan meningkatnya risiko penyakit. Di wilayah urban dan sub urban, hilangnya kawasan resapan air memperburuk kondisi ini. Selain itu, penurunan kualitas air dan ketidakmerataan akses sanitasi menyebabkan peningkatan masalah kesehatan. Diperlukan kebijakan yang memperkuat infrastruktur air dan sanitasi, termasuk perlindungan terhadap sumber air bersih dan peningkatan layanan sanitasi yang inklusif.

3. Sistem Pangan dan Nutrisi

Sistem pangan dan nutrisi menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim dan kebijakan neoliberalisasi. Alih fungsi lahan dan degradasi ekosistem mengurangi akses masyarakat terhadap pangan yang sehat dan berkelanjutan, khususnya di wilayah pedesaan dan pesisir. Ketergantungan pada pangan impor serta hilangnya keanekaragaman hayati lokal mengancam ketahanan pangan. Diperlukan reformasi sistem pangan yang berorientasi pada kearifan lokal dan komunitas, serta perlindungan terhadap hak petani dan nelayan tradisional.

4. Energi

Sektor energi dihadapkan pada kebutuhan untuk bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ketergantungan pada bahan bakar fosil memperburuk emisi gas rumah kaca dan merusak lingkungan. Pengembangan energi terbarukan harus diutamakan, dengan memastikan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber energi. Perubahan kebijakan energi juga harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan, serta mendorong penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.

5. Infrastruktur

Pembangunan infrastruktur sering kali tidak memperhatikan dampak lingkungan dan sosial, menyebabkan kerentanan yang lebih besar terhadap perubahan iklim. Desain infrastruktur harus inklusif dan berkelanjutan, memperhatikan kebutuhan kelompok rentan dan mengurangi emisi. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan infrastruktur sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan. Selain itu, infrastruktur yang sudah ada perlu ditingkatkan ketahanannya terhadap bencana iklim.

6. Ketahanan Ekosistem

Ketahanan ekosistem terancam oleh eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Degradasi hutan, perusakan mangrove, dan pencemaran air laut merupakan beberapa masalah utama yang dihadapi. Kerusakan ini tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati tetapi juga mengganggu mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut. Perlindungan dan pemulihan ekosistem harus menjadi prioritas, termasuk melalui rekognisi hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

7. Pengelolaan Sampah dan Produksi-Konsumsi

Pengelolaan sampah dan pola produksi-konsumsi yang tidak berkelanjutan memperburuk masalah lingkungan dan iklim. Tingginya tingkat produksi sampah plastik, penggunaan bahan kimia berbahaya, serta pola konsumsi yang boros energi dan sumber daya alam membutuhkan pendekatan baru yang lebih ramah lingkungan. Edukasi masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan konsumsi yang bertanggung jawab sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan. 

Dapatkan Proceeding Workshop Ruang Dialog “Bersuara untuk Iklim: Mewujudkan Keadilan Iklim untuk yang Terpinggirkan” dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini: