Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Diperlukan Kebijakan Terintegrasi, Kunci Pembenahan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut


[Jakarta, 10 September 2019]
Dalam kurun waktu setahun terakhir, pemerintah telah menunjukkan langkah positif dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan. Hal ini ditunjukan dengan dikeluarkannya dua kebijakan, yakni kebijakan terkait moratorium sawit dan kebijakan penghentian pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang akan berumur satu tahun pada 19 September 2019 ini. Dan pada 5 Agustus 2019 lalu, Presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dua kebijakan ini merupakan langkah positif dan memiliki benang merah dengan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan gambut. Sehingga pelaksanaannya pun haruslah terintegrasi dengan dasar hukum yang lebih kuat”.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Bincang Media “Menelisik 1 Juta Hektare Kebun Sawit di Hutan Primer dan Lahan Gambut” yang dilaksanakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada 10 September 2019.

Sebelumnya, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyampaikan temuan bahwa terdapat 3,47 juta hektare sawit berada di kawasan hutan. Untuk mendorong optimalisasi Inpres moratorium sawit dan memperkuat temuan GNPSDA, Madani melakukan analisis spasial tumpang susun perizinan di wilayah PIPPIB Revisi XV (lima belas). Hasil analisis menemukan 1.001.474,07 hektare perkebunan sawit, milik 724 perusahaan yang berada di dalam Hutan Primer dan Lahan Gambut yang tersebar di 24 propinsi. Ada 384 perusahaan dengan total luasan 540.822 hektare berada di lahan gambut, 102 perusahaan dengan total luasan 237.928 hektare berada di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan 222.723 hektare berada di kawasan hutan. Dan dari jumlah tersebut, hampir separuhnya (333 Perusahaan) dengan luasan 506.333 hektare berada di 7 provinsi prioritas restorasi gambut.

Peninjauan perizinan terhadap 1 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan primer dan Kawasan gambut tersebut mendesak dilakukan karena merupakan kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia dan sebagai wujud konsistensi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. ” sambung Teguh.

Terhadap keberadaan perkebunan sawit 1 juta hektare di kawasan hutan primer dan kawasan gambut ini adalah tantangan bagi Tim kerja moratorium sawit untuk menyelesaikan dan mencari solusi terbaiknya,” kata sambung Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.

Selama satu tahun ini tim kerja moratorium sawit masih melakukan persiapan baseline data. Padahal sudah banyak data yang dimiliki oleh kementerian/lembaga terkait. Konsolidasi data yang memakan waktu lama menunjukkan bahwa koordinasi antar Kementerian/Lembaga masih kurang baik. Sangat disayangkan waktu satu tahun dihabiskan hanya untuk persiapan data, mengingat Inpres moratorium sawit ini hanya berumur tiga tahun,” tambah Achmad Surambo.

Terkait temuan Madani bahwa ada 1 juta hektare sawit berada di dalam PIPPIB Revisi XV patut diduga ada konflik tenurial di dalamnya. Sawit Watch mencatat, hingga 2019 terdapat 822 komunitas berkonflik dengan perkebunan sawit,” sambung Achmad Surambo.

Dalam analisis Greenpeace masih ada wilayah seluas 33,3 juta hektare tutupan hutan alam primer dan 6,5 juta lahan gambut yang belum terlindungi diluar peta moratorium dan di luar kawasan hutan lindung dan konservasi, sementara wilayah moratorium masih terancam dengan keberadan konsensi perusahaan termasuk ijin perkebunan sawit.

Satu juta hektar konsesi sawit dalam hutan alam primer dan lahan gambut adalah ujian nyata bagaimana moratorium permanen dijalankan, dengan mencabut izin tersebut pemerintah menunjukan keseriusan untuk melindungi hutan dan lahan gambut tersisa dan bukan sekedar propaganda,” kata Arie Rompas, Forest Campaigner Team Leader, Greenpeace Indonesia.

Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan 4,5 juta hektare hutan alam primer dan lahan gambut selama moratorium hutan dimana 1,6 juta hektare telah diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, penebangan hutan dan pertambangan. Jika izin-izin ini tidak dievalusi dan dicabut maka hal yang sama akan terjadi pada 1 juta hektare sawit di hutan alam primer dan lahan gambut tersebut. [ ]



Kontak Narasumber:

● M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0819 1519 1979, email teguh@madaniberkelanjutan.id

● Achmad Surambo, Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch, HP. 0812 8748 726, email rambo@sawitwatch.or.id

● Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, HP. 0811 5200 822, email arie.rompas@greenpeace.org.

● Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

[related_posts]