Mengembalikan stabilitas iklim global di tengah berbagai peluang untuk terus memacu pertumbuhan ekonomi merupakan tantangan besar bagi peradaban saat ini. Tanpa ada perubahan pola konsumsi dan rute dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi, batasan bumi dapat bertahan sebagai tempat yang layak huni bagi manusia semakin dipertanyakan (Steffen et al., 2015).
Telah menjadi berita rutin setiap tahunnya, bahwa suhu rata-rata dunia semakin panas dari tahun ke tahun (IPCC, 2018). Fakta tersebut bukan tidak membawa konsekuensi. Intensitas cuaca ekstrem semakin meningkat, gelombang panas dan kekeringan melanda berbagai belahan dunia dan sebagian lagi harus mulai beradaptasi dengan longsor, banjir dan naiknya muka air laut.
Semakin tertunda upaya mitigasi terhadap penyebab krisis iklim tersebut, integritas biosfer untuk menampung kehidupan manusia semakin diragukan. Perlu ada batasan peningkatan suhu yang disepakati oleh penduduk dunia.
Untuk menangani krisis tersebut, panel antar-pemerintah untuk perubahan iklim (IPCC) yang terdiri dari ilmuwan dan ahli dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia tanpa keberpihakan dan secara transparan menerbitkan hasil penelitian pertama pada tahun 1990.
Di dalamnya dipaparkan informasi teknis, sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim serta strategi yang dapat dilakukan untuk mengubah keadaan tersebut. Hampir 30 tahun yang lalu sains sudah menunjukkan urgensi upaya mitigasi dan adaptasi atas perubahan iklim.
Diperlukan sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim agar tidak perlu mengelola keterlanjuran yang semakin menumpuk. Pembentukan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau dikenal sebagai United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) beserta Protokol Kyoto dijadikan sarana untuk mencapai tujuan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang telah dibuktikan sebagai pemicu utama krisis iklim yang ada saat ini.
Meski konvensi dan penjabaran prosedur yang lebih rinci seperti UNFCCC dan Protokol Kyoto telah disepakati, efektivitas pengurangan emisi GRK masih menjadi pertanyaan besar. Utamanya dikarenakan tidak pernah secara pasti tujuan global dielaborasi dalam target numerik yang dapat dijadikan acuan bagi setiap negara.
Selain itu, kerangka kerja sebelumnya memungkinkan penekanan lebih pada instrumen pasar dengan emisi sebagai komoditasnya di pasar internasional daripada upaya optimal pada upaya penurunan emisi. Untuk itu, pada tahun 2015 lahirlah sebuah kesepakatan baru: Perjanjian Paris. Perjanjian Paris bertujuan menahan peningkatan temperatur rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat masa pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C.
Di samping itu, Perjanjian Paris juga mengarahkan negara-negara untuk meningkatkan ketahanan iklim sehingga tidak ada produksi pangan yang terancam. Di dalam perjanjian tersebut, skema pendanaan, alih teknologi, peningkatan kapasitas bagi implementasi menuju pembangunan rendah emisi yang berketahanan iklim juga dipersiapkan.
Dapatkan buku kajian Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.