Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Gelak senyum tampak dari wajah puluhan orang tua yang anaknya mengikuti sunatan massal di Desa Laman Panjang, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Mereka bahagia karena anak laki-lakinya bakal memasuki usia akil balig. Acara yang diadakan pada 16 Juli 2018 diikuti anak-anak dari empat desa tetangga, yaitu Senamat Ulu, Lubuk Beringin, Sangi Letung Dusun Buat dan Sungai Telang. Tiap desa mengirim 15 anak mengikuti khitanan massal dan belasan anak lainnya untuk mendapatkan hadiah tas sekolah.

Biaya hajatan tersebut berasal dari TUI Airways, perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar US$ 36 ribu (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.

Selain sunatan massal, dana itu juga digunakan untuk pengayaan tanaman – membeli bibit durian, duku dan lainnya – juga meningkatkan patroli perlindungan hutan. Sisanya, dibagikan ke setiap desa yang masing-masing mendapat Rp 32 juta. “Di desa kami, uang itu untuk membeli tiga ekor sapi dan membiayai kegiatan ibu-ibu,” kata Fadli, Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Senamat Ulu1 . Dia menjelaskan, kelompok perhutanan sosial di wilayahnya, baru pertama kali memperoleh dana dari perusahaan swasta. 

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yang menjadi pendamping masyarakat, memang mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare. “Perusahaan TUI Airways hanya membeli 6.000 ton di mana satu ton seharga US$ 6 kata Direktur Eksekutif KKI Warsi Rudi Syaf pada 23 April 2019.

Kepada Plan Vivo, Warsi juga melampirkan keberhasilan lima LPHD di Bujang Raba mencegah deforestasi berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat tahun 1993 dan 2013. Laju deforestasi di reference area (wilayah rujukan) mencapai rata-rata 1,6 persen per tahun. Mereka membandingkannya dengan interpretasi citra satelit tahun 2015 di mana LPHD mendapat izin dari pemerintah untuk mengelola hutan desa selama 35 tahun. “Saat diberikan izin hutan desa, kerusakan tutupan hutannya pada 2018 adalah nol persen. Dapat dikatakan, perhutanan sosial mencegah kerusakan hutan,” ujar Rudi Syaf. 

Sejak 2015, ada 20 komunitas yang tergabung dalam The Indonesia Community Payment for Environment Service Consortium (Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia) yang memakai standar Plan Vivo (Dian, 2015). Antara lain Hutan Desa Laman Satong, Ketapang Kalimantan Barat; Hutan Desa Durian Rumbun, Merangin, Jambi; Hutan Kemasyarakatan Aik Bual, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat; dan Hutan Nagari Padang Limau Sundai–Solok Selatan. 

Selain Plan Vivo, skema lain yang mengikuti pasar karbon sukarela adalah Verified Carbon Standard (VCS), Gold Standard (GS), Panda Standard, American Carbon Registry dan sebagainya. Di Indonesia, hanya Plan Vivo (untuk skala kecil) dan VCS yang digunakan oleh lembaga atau perusahaan yang mengelola hutan. Ada dua perusahaan swasta yang mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) selama 60 tahun dari Kementrian Kehutanan, yang mengikuti skema VCS. Yaitu PT Rimba Makmur Utama (RMU) dengan luas 149.800 hektare di Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Timur (Kalimantan Tengah), yaitu PT Rimba Raya Conservation seluas 64 ribu hektare di Kabupaten Seruyan (Kalimantan Tengah). 

Dapatkan buku Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial dalam Menjaga Iklim Bumi dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

[related_posts]
Translate »
×