Selama satu dekade memimpin Indonesia, Presiden Jokowi telah memperlihatkan ambisi besar dalam pembangunan infrastruktur. Namun, di tengah gencarnya pembangunan tersebut, aspek keadilan, terutama keadilan iklim, sering kali terabaikan.
Dari segi angka, Jokowi memang berhasil membangun jalan tol sepanjang 1.677 kilometer dan 124 pelabuhan baru. Bahkan, proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) pun telah digagas untuk menggantikan DKI Jakarta. Namun, di balik kisah sukses yang dipromosikan dengan apik, kenyataan seringkali berbeda. Slogan “Membangun Indonesia dari Pinggiran” yang sering digaungkan ternyata tidak bebas dari berbagai permasalahan, terutama jika dilihat dari kacamata krisis iklim yang semakin memburuk.
Faktanya, banyak proyek infrastruktur dijalankan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan kemampuan rakyat dalam menghadapi krisis iklim. Alih-alih menciptakan infrastruktur yang tangguh, proyek-proyek ini justru memperburuk kondisi lingkungan dengan memicu deforestasi, pencemaran, hilangnya keanekaragaman hayati, dan peningkatan emisi karbon yang signifikan.
Lebih parahnya lagi, proyek infrastruktur ini sering kali lebih melayani kepentingan oligarki dan dinasti politik, daripada kepentingan rakyat. Kerusakan lingkungan dan konflik agraria yang dihasilkan oleh proyek-proyek strategis nasional menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang terlihat megah ini justru meninggalkan dampak negatif yang besar dan beban berat bagi generasi mendatang. Contoh saja proyek Jalan Tol Jakarta-Bawen yang menggunakan tanah uruk illegal yang menggundulkan kawasan hijau. Atau proyek Bandara Kertajati yang menggusur lahan pertanian di 5 desa. Juga Rempang-City yang jelas-jelas merampas tanah warga.
Keadilan yang Terlupakan
Di tengah upaya pembangunan yang begitu gencar, isu keadilan iklim tampak terlupakan. Dalam konteks ini, dampak krisis iklim tidak dirasakan secara merata oleh semua lapisan masyarakat. Justru, kelompok masyarakat yang paling rentan, seperti masyarakat miskin, petani kecil, nelayan tradisional, penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, lansia, masyarakat adat, buruh, dan pekerja informal, adalah yang paling terdampak.
Permasalahan mendasar yang dihadapi kelompok-kelompok rentan ini adalah tidak adanya pengakuan hak atas ruang kehidupan mereka, seperti wilayah adat, lahan pertanian, dan wilayah tangkap nelayan tradisional. Kebutuhan spesifik mereka sering kali diabaikan, dan ketimpangan akses terhadap sumber daya ekonomi, sosial, dan politik semakin memperburuk keadaan mereka. Selain itu, tidak ada upaya pemulihan hak-hak mereka yang telah rusak akibat pembangunan di masa lalu. Mereka yang tidak berdaya ini makin tersisih karena tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan dan penanganan krisis iklim. Ini adalah salah satu aspek utama dari ketidakadilan iklim yang masih menjadi masalah besar di Indonesia, dan menjadi catatan kelam dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi.
Meskipun Jokowi secara gamblang menyatakan komitmen Indonesia untuk mengatasi krisis iklim global—melalui kebijakan seperti target Net Zero Emission, NDC, dan Nilai Ekonomi Karbon—semua itu belum mampu menjawab tantangan mendasar keadilan iklim yang dihadapi negara ini.
Selama sepuluh tahun terakhir, Jokowi telah membentangkan karpet merah untuk berbagai proyek ekspansi sumber daya alam yang ekstraktif, termasuk atas nama aksi menangani krisis iklim seperti transisi energi. Salah satu contohnya adalah pemberian konsesi tambang nikel yang meningkat tajam hingga 680 ribu hektare dari tahun 2014 hingga 2024. Jumlah ini setara dengan 70% dari izin nikel yang tercatat, yang mengakibatkan berkurangnya hutan terutama di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua—benteng terakhir hutan Indonesia.
Proyek industri nikel yang masif tanpa memperhatikan dampaknya pada masyarakat adat, seperti Suku Tobelo Dalam di Halmahera, hanya memperburuk kondisi mereka. Aktivitas tambang nikel mengancam ruang hidup masyarakat adat, menghancurkan hutan dan laut yang menjadi sumber penghidupan utama mereka.
Atas nama mengatasi kerawanan pangan dan energi akibat krisis iklim, alih-alih memperkuat ketahanan petani kecil dan nelayan tradisional, pemerintah malah menggulirkan proyek Food and Energy Estate skala besar. Pemerintah berencana menambah areal perkebunan tebu untuk swasembada gula dan bioetanol di Merauke seluas 700 ribu hingga dua juta hektare, yang justru rawan memicu deforestasi dan konflik baru dengan masyarakat adat di Papua. Belum lagi proyek-proyek perdagangan karbon yang semakin didorong di tengah masih minimnya pengakuan hak-hak dan wilayah masyarakat adat.
Meruntuhkan Ketidakadilan
Sosiolog dan aktivis lingkungan Amerika, Robert D. Bullard, yang dikenal sebagai bapak keadilan lingkungan, dalam bukunya *Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality* menjelaskan bahwa dalam pembangunan yang tidak adil, akan selalu ada masyarakat yang menderita karena dampak lingkungan.
Ketidakadilan ini, menurut Bullard, harus dituntaskan melalui reformasi kebijakan dan advokasi yang lebih kuat untuk melindungi komunitas-komunitas yang paling rentan terhadap ketidakadilan lingkungan. Dalam konteks ini, ruang politis harus menjadi garda terdepan untuk menegakkan keadilan melalui serangkaian kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan yang nyatanya menjadi pihak tertindas saat kerusakan lingkungan terjadi.
Meski Presiden Jokowi mengklaim banyak keberhasilan dalam era kepemimpinannya, kenyataannya adalah bahwa keadilan iklim masih terabaikan. Tantangan ini akan menjadi beban berat bagi pemerintahan mendatang di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Jika suara masyarakat sipil yang menuntut keadilan iklim terus diabaikan, ketimpangan sosial akan semakin melebar dan krisis iklim akan makin sulit dikendalikan. Akibatnya, biaya sosial dan ekonomi untuk pembangunan akan semakin mahal dan tidak berkelanjutan.
Pemerintahan yang baru harus berani mengambil langkah progresif dalam menghadapi isu-isu ini. Keadilan iklim harus diintegrasikan ke dalam setiap kebijakan pembangunan, dengan pengakuan hak-hak masyarakat rentan dan pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, keadilan iklim tidak lagi menjadi sekadar wacana, tetapi terwujud dalam kebijakan dan tindakan nyata, sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan dampaknya secara adil dan setara.
photo : Sekertariat Negara