Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Menurut laporan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) atau Biennial Update Report (BUR3) yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada UNFCCC pada 2021, sumber emisi GRK utama di Indonesia berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan lahan (AFOLU) serta sektor energi, masing-masing berkontribusi sebesar 50,13% dan 34,49%. Meski demikian, emisi GRK dari sektor energi diprediksi akan melebihi sektor kehutanan pada 2030.

Penurunan emisi dari kedua sektor ini merupakan kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa rencana aksi mitigasi sektor energi dalam Second NDC tidak mengorbankan upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.

Menilik aksi mitigasi sektor energi pada Enhanced NDC (ENDC), ada beberapa rencana yang perlu ditinjau kembali untuk melihat keterkaitannya dengan sektor hutan dan lahan, yaitu (1) pemanfaatan biofuel, (2) pemanfaatan biomassa untuk co-firing PLTU, serta (3) elektrifikasi.

Tantangan dan Risiko dari Pemanfaatan Biofuel

Target pemanfaatan biofuel dalam ENDC cukup besar, yaitu B40 dengan target pemanfaatan 18 juta kiloliter FAME pada 2030.

Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada minyak sawit sebagai bahan baku utama biofuel karena pengembangan kelapa sawit masih terkait erat dengan deforestasi hutan alam dan kebakaran hutan.

Pada 2023, lebih dari 27 ribu hektar hutan primer hilang di area izin perkebunan sawit (GFW 2023, dianalisis MADANI Berkelanjutan). Selain itu, sejumlah besar lahan (128 ribu ha) juga terindikasi terbakar di area izin sawit (Area Indikatif Terbakar 2023, Madani Berkelanjutan).

Risiko Pemanfaatan Biomassa

Rencana pemanfaatan biomassa juga dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan terhadap hutan alam Indonesia.

Untuk memenuhi kebutuhan biomassa pada 107 unit PLTU dengan tingkat co-firing 10 persen, Trend Asia mengestimasi bahwa diperlukan setidaknya 2,33 juta hektar lahan Hutan Tanaman Energi (HTE). 

Pembangunan HTE secara besar-besaran ini berpotensi menyebabkan deforestasi, mengingat sejarahnya 38 persen dari total tutupan hutan tanaman industri pada 2019 berasal dari pembukaan hutan alam.

Dampak Ekspansi Energi Terbarukan

Pengembangan energi terbarukan yang mendorong ekspansi tambang dan industri nikel juga memiliki potensi untuk menyebabkan deforestasi dan alih fungsi lahan.

Sejak 2001, lebih dari 117 ribu hektar hutan primer hilang di area konsesi nikel (GFW 2023, dianalisis MADANI Berkelanjutan).

Indonesia belum memiliki peta jalan penggunaan lahan terintegrasi dalam kebijakan transisi energi yang mensyaratkan bebas deforestasi dan lahan gambut. Oleh karena itu, pemanfaatan bioenergi dan elektrifikasi masih berisiko menyebabkan alih fungsi hutan dan ekosistem gambut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, ENDC juga belum mencantumkan komitmen untuk mengatasi potensi trade-off antara penggunaan biofuel dan ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, serta upaya menekan deforestasi dan kebakaran hutan.

Rekomendasi untuk Menguatkan Komitmen Iklim Indonesia dalam SNDC

Yayasan MADANI Berkelanjutan mengajukan beberapa rekomendasi untuk memperkuat komitmen iklim Indonesia dalam SNDC:tikan

  1. Jaminan Bebas Deforestasi. SNDC harus memastikan bahwa transisi energi, baik elektrifikasi maupun pemanfaatan biofuel dan biomassa, dilakukan tanpa merusak hutan alam dan ekosistem gambut. Peta jalan SNDC perlu mencakup rencana penggunaan lahan terintegrasi yang mensyaratkan bebas deforestasi hutan alam dan eksploitasi lahan gambut.
  1. Diversifikasi Bahan Baku Biofuel. Pemerintah perlu mengadopsi strategi diversifikasi bahan baku biofuel yang berkelanjutan yang tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan. Bahan baku yang berasal dari limbah dan residu, seperti minyak jelantah (Used Cooking Oil) perlu diutamakan agar tidak menambah tekanan kepada lahan. Hal ini perlu disertai demokratisasi dan desentralisasi pengembangan biofuel berbasis potensi lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal terlebih dahulu. Selain itu, pemerintah perlu menyusun rencana penggunaan lahan terintegrasi berbasis hak untuk mencegah risiko deforestasi, degradasi hutan, berkurangnya lahan pangan, hilangnya ekosistem keanekaragaman hayati, dan perampasan hak masyarakat adat dan lokal.
  1. Keadilan Iklim. Pemerintah perlu meningkatkan sinergi aksi mitigasi dan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan mengadopsi keadilan iklim sebagai strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Ini termasuk penghormatan HAM, pengakuan hak, dan pelibatan bermakna kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat dan lokal, petani dan nelayan tradisional, perempuan marjinal, masyarakat miskin perkotaan, anak-anak, lansia, dan kelompok rentan lainnya.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mencapai target iklimnya tanpa mengorbankan hutan dan lahan yang sangat penting bagi keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat adat dan lokal.

***

Related Article

[related_posts]
[related_posts]