Dalam pusaran transisi energi dan ambisi bauran biodiesel nasional, Indonesia dihadapkan pada pilihan strategis yang menentukan arah masa depan ekologi dan keadilan sosial. Kebijakan peningkatan bauran BBN dari B40 ke B50 hingga B100 memang terdengar menjanjikan secara ekonomi dan geopolitik. Namun di balik ambisi itu, mengintai risiko besar: ekspansi lahan sawit hingga jutaan hektar, peningkatan konflik agraria, dan ancaman pada keberlanjutan pangan dan ekosistem hutan.
Ketergantungan hampir mutlak pada kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel menciptakan dilema struktural. Di satu sisi, pemerintah menargetkan kemandirian energi. Di sisi lain, strategi yang diambil justru memperbesar ketimpangan tata niaga, memperlemah peran komunitas lokal, dan mempercepat deforestasi. Dalam situasi ini, perlu adanya rasionalisasi dengan meninjau kembali pendekatan lama dan membuka ruang bagi jalan baru yang lebih adil dan berkelanjutan.
Melalui policy brief ini, Madani Berkelanjutan mengusulkan arah baru: intervensi berbasis komunitas, pembatasan ekspansi sawit lewat kebijakan cap, dan integrasi bahan baku alternatif seperti minyak jelantah, biji karet, nyamplung, dan jarak pagar. Pendekatan ini bukan hanya menekan biaya sosial dan ekologis, tapi juga membuka peluang ekonomi desa hingga USD 2 miliar.
Kami mengajak publik, pembuat kebijakan, dan pelaku industri untuk bersama membaca ulang strategi transisi energi Indonesia. Rasionalisasi bauran energi bukan berarti mengerem kemajuan, tapi memastikan bahwa kemajuan itu tidak dibayar mahal oleh lingkungan dan generasi mendatang.
Policy Brief MADANI – Rasionalisasi Bauran Energi dan Transformasi Tata Kelola Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia dapat diunduh di sini