Tidak bisa tidak, Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang saat ini sedang digarap Pemerintah Indonesia harus lebih ambisius. Bukan hanya sekadar menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca, SNDC juga harus mampu menjadi kebijakan yang mengakui, melindungi, dan memberdayakan kelompok rentan seperti petani kecil, masyarakat adat, perempuan, nelayan tradisional, penyandang disabilitas, pekerja informal, anak-anak dan lanjut usia.
Tidak dapat dimungkiri, mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim, malah menanggung beban terbesar. Itulah ironisnya kebijakan iklim di negeri ini yang masih saja mengabaikan keadilan di dalamnya.
Sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia punya peran strategis dalam upaya global untuk mengatasi krisis iklim. Namun, hingga saat ini, keadilan iklim belum secara lugas menjadi pilar utama dalam kebijakan iklim nasional. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, implementasi keadilan iklim masih jauh panggang dari api.
BACA JUGA: Pembangunan Tanpa Keadilan (Sebuah Rekomendasi dari Refleksi 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi)
Berdasarkan hal tersebut, MADANI Berkelanjutan, Yayasan PIKUL, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Working Group ICCAs Indonesia, Yayasan Humanis, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Climate Rangers Jakarta, bersama 65 kolaborator, menyusun rekomendasi untuk SNDC agar lebih bermuatan keadilan iklim.
Dalam hal ini, ada empat dimensi keadilan iklim yang harus diadopsi dalam SNDC, yaitu keadilan rekognitif, prosedural, distributif, dan restoratif. Keempat dimensi ini memastikan bahwa seluruh kelompok masyarakat, terutama subyek rentan, menjadi penerima manfaat utama dalam setiap kebijakan iklim yang diambil.
Dalam dimensi keadilan rekognitif, SNDC harus mengakui hak dan keberadaan subyek rentan. Petani kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat adat memiliki keterkaitan yang kuat dengan alam, namun, seringkali tersingkir dalam proses pembangunan. Padahal, mereka adalah penjaga sesungguhnya dari ekosistem. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dan ruang hidup mereka adalah langkah awal menuju keadilan iklim yang lebih inklusif.
Salah satu rekomendasi utama dalam dokumen ini adalah transisi energi yang berkeadilan. Indonesia harus segera menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru dan mulai beralih ke energi terbarukan yang terdesentralisasi dan demokratis. Transisi ini tidak hanya berarti pergantian sumber energi, tetapi juga mencakup keadilan bagi para pekerja yang terdampak.
Para pekerja di sektor energi fosil, seperti batu bara, harus mendapatkan pelatihan ulang dan jaring pengaman sosial yang memadai. Selain itu, masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU juga harus mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi atas dampak negatif yang mereka alami selama bertahun-tahun. Keadilan gender juga harus menjadi perhatian, di mana perempuan sering kali tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait transisi energi.
Masyarakat adat adalah salah satu kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Mereka yang selama ini hidup bergantung pada alam, kini menghadapi ancaman hilangnya hak atas tanah dan sumber daya alam akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan ekosistem yang berkeadilan harus menjadi prioritas.
SNDC harus mendorong moratorium terhadap konversi lahan dan hutan alam untuk proyek-proyek seperti pertambangan dan perkebunan skala besar. Pengakuan hukum terhadap wilayah adat dan perlindungan hak-hak masyarakat adat harus segera diwujudkan. Proses pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat adat harus dilakukan secara partisipatif melalui mekanisme yang adil seperti PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).
Kedaulatan pangan adalah aspek penting lain dalam keadilan iklim. Petani kecil dan nelayan tradisional harus menjadi subjek utama dalam sistem pangan yang berkelanjutan. SNDC harus mendukung praktik pertanian dan perikanan berkelanjutan yang adaptif terhadap perubahan iklim, seperti agroekologi dan perikanan berbasis masyarakat. Selain itu, akses terhadap teknologi dan pasar yang adil harus diperluas agar kelompok-kelompok ini dapat bertahan dan beradaptasi.
Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi pelopor dalam penerapan keadilan iklim di tingkat global. Namun, hal ini hanya bisa tercapai jika SNDC yang diajukan tidak hanya ambisius dalam target penurunan emisi, tetapi juga adil dalam implementasinya. Kelompok rentan harus menjadi pusat perhatian dalam setiap kebijakan iklim. Tanpa keadilan iklim, upaya mitigasi dan adaptasi hanya akan memperdalam ketimpangan yang sudah ada.
Pemerintah, masyarakat sipil, dan semua pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk mewujudkan keadilan iklim yang inklusif. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat memastikan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh warganya.
*Dapatkan dokumen rekomendasi Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini:
Centering People in Indonesia's Climate Action Plan: Recommendations for A Just Ambitious Second NDC