Evaluasi satu tahun Inpres Moratorium Sawit yang dilakukan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil memetakan setidaknya lima persoalan yang harus diselesaikan. Hasil evaluasi tersebut antara lain belum ada peta jalan satu pintu yang menjadi petunjuk pelaksanaan Inpres di daerah.
Kemudian belum ada kasus tumpang tindih lahan yang terselesaikan. Mayoritas provinsi dengan perkebunan sawit belum merespon Inpres ini. Wilayah dengan tutupan hutan terluas tidak menjadi prioritas dan program peremajaan sawit masih di bawah target.
Walau demikian, sejumlah capaian berhasil dilakukan oleh kementerian terkait. Kemenko Bidang Perekonomian telah menyusun Rekonsiliasi Peta Tutupan Sawit Nasional, membentuk tim kerja lintas kementerian, dan menetapkan konsolidasi data dan peta terintegrasi dalam One Map Policy. Kementerian Agraria dan Tata Ruan (ATR) telah merangkum data Hak Guna Usaha (HGU) yang tersedia dalam One Map Policy.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memetakan kebun sawit illegal dan menunda penerbitan izin baru untuk perkebunan sawit. Selain itu, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) penyelesaian perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan juga telah disusun. KLHK juga telah mengidentifikasi perusahaan yang wajib memberi 20 persen lahannya untuk masyarakat. Meski demikian, implementasi Inpres Moratorium Sawit di level daerah belum menunjukkan hasil signifikan.
Dari belasan provinsi dan ratusan kabupaten di Indonesia yang memiliki kebun sawit, baru lima provinsi dan lima kabupaten/kota yang menyatakan komitmen menjalankan moratorium sawit. Sementara itu baru satu provinsi dan tiga kabupaten/kota yang membentuk kebijakan daerah. Sisanya, 19 provinsi dan 239 kabupaten/kota belum memberi respon.
Riset ini adalah hasil kerjasama Madani Berkelanjutan dan Katadata Insight.