Madani

Tentang Kami

Perlu Transformasi Besar Untuk Mencapai Target NDC dan Net Zero Emisi

Perlu Transformasi Besar Untuk Mencapai Target NDC dan Net Zero Emisi

[MadaniNews, Jakarta, 21/04/2021] Untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) dan net zero emisi Indonesia, maka transformasi besar-besaran merupakan keniscayaan. Pernyataan tersebut disampaikan Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” pada Rabu, 21 April 2021.

Diskusi virtual Earth Day Forum ini diadakan oleh Katadata yang membahas strategi dan upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan terkait program perhutanan sosial untuk mendukung upaya pemerintah dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk ide pembuatan Kampung Iklim. 

Keberhasilan KKI WARSI dalam menerapkan program Perhutanan Sosial di Jambi untuk penyimpanan karbon bisa menjadi contoh sukses yang diharapkan mampu memberikan semangat bagi banyak daerah dengan luas tutupan hutan alam yang besar untuk lebih menjaga hutan. 

Di kesempatan yang sama, Nadia Hadad juga menyampaikan bahwa Program Kampung Iklim (Proklim) yang dikembangkan saat ini adalah contoh nyata bahwa menjaga hutan bukan hanya dapat melestarikan lingkungan tapi juga mampu meningkatkan perekonomian. “Yayasan Madani Berkelanjutan sangat mendukung kegiatan mitigasi perubahan iklim ini melalui Proklim, saat ini kami telah mendukung kegiatan ini di Desa Lampo, Donggala, Sulawesi Tengah dan juga di Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang bekerjasama dengan Komunitas Warsi”, ujar Nadia.

Diskusi yang membahas upaya mitigasi perubahan iklim ini juga dihadiri oleh Djoko Hendratto selaku Direktur Utama BPDLH Kementerian Keuangan, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, dan Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf. 

Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf menyebut bahwa perhutanan sosial benar-benar merupakan program yang mampu menjaga hutan. Rudy menegaskan bahwa pada saat masyarakat diberikan hak dan akses untuk mengelola hutan, maka disaat yang bersamaan hutan semakin terlindungi.  “Setelah dapat izin pengelolaan hutan desa, dari 2013 sampai sekarang yang dulunya masih ada deforestasi sekarang zero deforestasi”, ujar Rudy.

Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam mengatakan bahwa pemerintah sudah memiliki fokus terkait masalah lingkungan dan perubahan iklim sebagaimana yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurutnya, pemerintah telah menyusun prioritas nasional terkait perubahan iklim, lingkungan hidup dan ketahanan nasional. 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pemerintah memprioritaskan ketiga persoalan ini yakni perubahan iklim, lingkungan hidup, dan ketahanan nasional”, ujar. Perwujudan dari komitmen pemerintah tersebut menurut Medrizal telah dimanifestasikan melalui pembangunan rendah karbon. 

Di sisi lain, masalah pendanaan menjadi faktor penting untuk melakukan sejumlah upaya mitigasi perubahan iklim. Direktur Utama BPDLH, Kementerian Keuangan, Djoko Hendratto mengatakan dalam mengukur efektivitas penggunaan dana untuk pengendalian perubahan iklim, BPDLH memiliki beberapa poin penting, yakni, jika dana bersumber dari APBN, maka poin ketepatan sasaran adalah hal utama. Sedangkan bila dana bersumber dari pendonor sudah pasti ada kesepakatan-kesepakatan tentang target dan ukurannya menerunkan emisinya seperti apa dan disetujui Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.

Dapatkan materi narasumber dari diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

[Jakarta, 30 Agustus 2020] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi disetujuinya proposal pendanaan yang diajukan pemerintah Indonesia ke Green Climate Fund (GCF) dalam rangka pembayaran kinerja penurunan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi (REDD+). Dana GCF ini dapat menjadi peluang untuk mendorong pengakuan dan penguatan hak Masyarakat Adat dan lokal dalam mencapai komitmen iklim Indonesia. Dana GCF ini hendaknya betul-betul diprioritaskan untuk menurunkan deforestasi dan degradasi di tingkat tapak lewat penguatan Perhutanan Sosial dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kedua inisiatif ini dapat memperkuat hak tenurial masyarakat adat dan lokal serta berkontribusi pada pengurangan deforestasi dan degradasi hutan apabila dijalankan dengan baik berdasarkan pelibatan aktif para pemangku kepentingan.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan berkaitan Sidang Dewan Green Climate Fund (GCF) yang menyetujui proposal pembayaran berbasis hasil REDD+ Indonesia sebesar USD 103,8 juta. Proposal yang diajukan pemerintah Indonesia menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016 dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Kami menyambut baik bahwa dana yang diterima oleh Pemerintah Indonesia akan digunakan sesuai arahan Presiden untuk pemulihan lingkungan berbasis masyarakat. Untuk itu, implementasi program dan penyaluran dana ini harus benar-benar transparan dan program-program prioritas yang akan dijalankan harus dikonsultasikan secara luas dengan elemen organisasi masyarakat adat dan lokal serta masyarakat sipil,” kata Teguh.

Agar penyaluran dana betul-betul tepat sasaran, perlu dibentuk segera organ multi pemangku kepentingan dalam kelembagaan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan perwakilan organisasi masyarakat adat dan lokal serta organisasi masyarakat sipil. Selain itu, perlu ada kejelasan soal peran dan tanggung jawab kelembagaan program yang akan mengelola dana yang diterima, terutama untuk memberdayakan BPDLH yang akan beroperasi tahun ini,” tambah Teguh.

Program prioritas yang didanai harus betul-betul untuk memulihkan lingkungan berbasis masyarakat, termasuk untuk percepatan dan penguatan perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat. Program perhutanan sosial dan penguatan KPH juga harus disinergikan dengan program adaptasi-mitigasi perubahan iklim, restorasi gambut, rehabilitasi lahan kritis, dan pengurangan deforestasi serta degradasi yang merupakan aksi utama mitigasi NDC di sektor kehutanan,” kata Anggalia Putri Permatasari, Manager Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat peran KPH di tingkat tapak dengan mandat dan sumber daya untuk menyelesaikan konflik tenurial dan memfasilitasi upaya pencegahan dan penyelesaian pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal, juga untuk menegakkan aturan terhadap perizinan kehutanan.

Ada keprihatinan mendalam bahwa kemajuan pengakuan hutan dan wilayat adat sangat jauh dibandingkan dengan skema-skema perhutanan sosial lainnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi segera antara Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Peta Wilayah Masyarakat Adat serta dengan berbagai izin penggunaan atau pemanfaatan lahan lain terkait pembangunan,” tambah Anggalia Putri.

Pemerintah juga harus lebih aktif mendorong disahkannya RUU Masyarakat Adat yang akan memberikan pengakuan formal terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya, termasuk hak atas sumber daya hutan. Karena selain merupakan kewajiban konstitusi, memperkuat hak atas tanah dan ketahanan tenurial masyarakat adat dan lokal adalah kondisi pemungkin yang harus diwujudkan agar Indonesia berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mencapai komitmen iklim. [ ]

Kontak Media:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 856-21018-997

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Urgensi BPDLH

Urgensi BPDLH

Niat baik pemerintah untuk lebih serius memperhatikan serta menjaga lingkungari, hutan, dan alam Indonesia, memang layak kita acungkan jempol. Pasalnya, niat baik tersebut telah diakomodasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLIIK), serta Kementerian Keuangan (Kemkeu), yang secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) beberapa waktu lalu.

Peluncuran badan ini tentu sangat ditunggutunggu. Karena dengan kehadiran BPDLH, diharapkan mampu menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang makin masif. Salah satunya, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menahun.

BPDLH sendiri adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan lingkungan. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change), konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal di Indonesia yang harus dilindungi. Untuk pelaksanaannya, BPDLH dijadwalkan akan kick off pada awal tahun mendatang, mulai 1 Januari 2020.

Lembaga ini juga dirancang untuk berkolaborasi bersama kementerian dan lembaga lintas sektor. Sehingga, diharapkan mampu mendorong percepatan Indonesia mencapai komitmen penurunan emisi yang termanifestasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Pembentukan BPDLH sesungguhnya merupakan mandat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46. Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dengan keberadaan BPDLH, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, langkah Indonesia dalam implementasi Paris Agreement semakin nyata. Dalam upaya mitigasi serta adaptasi, Indonesia telah menyiapkan berbagai instrumen, seperti Sistem Registry Nasional (SRN), Monitoring Reporting dan Verifikasi (MRV) Protocol, Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+, Sistem Identifikasi Kerentanan (SIDIK), SIGNSMART. Siti Nurbaya juga menegaskan, kehadiran BPDLH melengkapi upaya Indonesia dalam kerja nyata pengendalian dan penanganan dampak perubahan iklim.

Terkait pendanaan, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemkeu Andin Iladiyanto mengatakan, dana awal yang sudah tersedia untuk dikelola BDPLH sebesar Rp 2,1 triliun. Dalam konteks pendanaan ini, BDPLH akan memberikan kemudahan akses dan menjamin keberlanjutan ketersediaan dana untuk berbagai pihak yang berkepentingan dan berkomitmen melestarikan lingkungan.

Dana APBN

Selama ini, dana untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, hutan, dan alam di Indonesia sangat ketergantungan dengan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dalam APBN 2018, belanja anggaran berdasarkan fungsi lingkungan hidup terdiri atas pengaturan (pembuatan regulasi terkait), pembinaan, pengawasan, pelaksanaan pengembangan sanitasi dan persampahan, serta pengelolaan pertanahan provinsi. Beberapa poin tersebut sangat menyangkut dengan kinerja kementerian dalam penanganan urusan lingkungan hidup.

Untuk itu, BPDLH diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pendanaan di luar kinerja kementerian. Misalnya, pendanaan badan usaha yang berkomitmen untuk menjaga lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Tidak hanya sekadar menampung pendanaan terkait isu lingkungan, BPDLH juga harus aktif dan progresif mencari dukungan pendanaan dari berbagai sektor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Berdasarkan perhitungan Kemkeu, BPDLH berpotensi mengelola dana sebesar Rp 800 triliun untuk mengatasi isu permasalahan lingkungan hidup. Bisa jadi, dengan keberadaan BDPLH, komitmen dan target Pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai komitmen penurunan emisi dalam NDC sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau 41% dengan dukungan intemasional, bisa benar-benar terwujud. Terkait dengan komitmen penurunan NDC tersebut, Indonesia memprioritaskan kepada lima sektor yakni energi, kehutanan, pertanian, proses industri, dan pengelolaan sampah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menghadapi perubahan iklim (climate budget tagging) meningkat dari tahun ke tahun. Pada APBN Perubahan 2016, anggaran yang terakumulasi untuk perlidungan lingkungan hidup mencapai Rp 72,4 triliun, lalu Rp 95,6 triliun dalam APBNP 2017, dan Rp 109,7 triliun dalam APBN 2018. Secara persentase, sekitar 3,6% di 2016, 4,7% pada 2017, dan 4,9% di 2018 terhadap total anggaran APBN. Namun pada pelaksanaannya, dengan total anggaran yang cukup besar tersebut, realisasi untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi di NDC terkesan jauh panggang dari api.

Banyak hal yang menghambat jalan Indonesia dalam mewryudkan komitmen tersebut. Salah satunya, terkait lemahnya penegakan hukum dan rendahnya komitmen dari berbagai pihak termasuk sektor swasta dalam pelestarian lingkungan. Sebagai lembaga yang baru akan mengepakkan sayapnya, tentu saja tantangan yang akan BPDLH hadapi terbilang cukup berat. Beberapa tantangan tersebut yakni: pertama, transparansi dan akuntabilitas. Terkait dengan hal ini, BPDLH harus menjadi lembaga publik yang transparan serta akuntabel karena menyangkut pendanaan yang cukup besar. Persoalan dana terbilang sangat sensitif, potensi penyelewengan pun cukup besar.

Kedua, regulasi yang efektif dan efisien. Aturan penyaluran pendanaan dan penerimaan dana lingkungan harus jelas, dengan persyaratan administrasi yang singkat sehingga lebih efektif dan efisien. Ketiga, penyaluran dana prioritas. Sebagai lembaga yang memegang peran penting dalam pendanaan kepentingan lingkungan, maka BPDLH harus mengetahui sektor-sektor prioritas pendanaan dan diharapkan tidak ada cerita salah sasaran dalam penyaluran dana tersebut. Oleh karena itu, dengan kinerja dan dukungan yang maksimal, kita berharap, BPDLH mampu menjadi salah satu solusi untuk menghadapi krisis iklim global yang telah mengadang di depan mata.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Kontan edisi 26 Oktober 2019 .

Related Article

LH-Fund Harapan Baru Hadapi Krisis Iklim

LH-Fund Harapan Baru Hadapi Krisis Iklim

Jakarta, 9 Oktober 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi peluncuran LH-Fund oleh pemerintah Indonesia, untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, konservasi, dan peningkatan stok karbon atau REDD+.

Peluncuran LH-Fund ini sangat ditunggu-tunggu karena diharapkan dapat menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup agar Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang semakin masif, salah satunya adalah bencana kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap yang telah banyak menelan korban dan menimbulkan kerugian ekonomi, kesehatan, dan reputasional yang sangat besar.

Hari ini, Indonesia berjalan selangkah lebih maju untuk mengimplementasikan Paris Agreement secara konkret untuk mencapai komitmen iklim saat ini dan meningkatkan ambisi iklim di masa depan,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Senjata baru di tangan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, yakni dengan difokuskan pada program-program prioritas yang betul-betul berdampak luas pada iklim dan kesejahteraan masyarakat, seperti percepatan restorasi ekosistem gambut dan pendampingan perhutanan sosial pasca-izin agar dapat berkontribusi pada pencapaian target NDC.”

Percepatan dan perluasan restorasi gambut, termasuk di wilayah konsesi yang terbakar, adalah kunci untuk mencegah terulangnya Karhutla yang menyengsarakan rakyat. Sementara itu, perhutanan sosial selain menjadi strategi pemerataan ekonomi juga berpotensi berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia apabila ada pendampingan yang kuat dari pemerintah dan pihak-pihak lain.

Madani juga mengapresiasi penekanan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kekuatan dan kearifan lokal masyarakat adat dan lokal yang perlu difasilitasi dan dipermudah aksesnya terhadap pendanaan lingkungan hidup ini.

Selain akses yang mudah terhadap pendanaan, kami juga berharap akan ada mekanisme partisipasi masyarakat yang terlembaga dalam operasionalisasi LH-Fund ini, sehingga masyarakat dan masyarakat sipil memiliki ruang untuk ikut menentukan prioritas penggunaan dana dan ruang untuk mengajukan keluhan apabila hak-hak mereka terlanggar dalam implementasi berbagai aksi mitigasi yang didanai LH-Fund,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani.

Partisipasi yang terlembaga menjadi penting karena sebagai salah satu instrumen pengendalian perubahan iklim, pada akhirnya, LH-Fund harus bisa mengoperasionalkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam Pembukaan Paris Agreement, yang turut mencakup penghormatan terhadap HAM, hak-hak masyarakat adat dan lokal, kesetaraan gender, serta ketahanan pangan,” tutupnya.

***

Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, 0819-1519-1979, teguh@madaniberkelanjutan.id
Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, 0856-211-8997, anggi@madaniberkelanjutan.id
Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815-1986-8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

id_IDID