Madani

Tentang Kami

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 247 miliar atau sekitar Rp 3.461 triliun selama periode 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setiap tahun. Estimasi ini sesuai dengan dokumen Second Biennial Update Report 2018.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengestimasi kebutuhan Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) setiap tahun adalah sebesar Rp 343,32 triliun. Merujuk pada pendanaan APBN yang disediakan untuk perubahan iklim berdasarkan data budget tagging tahun 2019 dan 2020, serta merujuk pada kebutuhan per tahun dan data budget tagging tersebut maka pendanaan masih terdapat gap yang cukup besar, yaitu sekitar 60-70% dari total kebutuhan dananya.

Indonesia sendiri sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement malalui UU 16 tahun 2016 telah menyampaikan komitmentnya melalui NDCs yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan Internasional. Salah satu upaya konkret pemerintah untuk mendukung pendanaan NDC atau pendanaan lingkungan hidup secara umum adalah pembentukan Indonesian Environment Fund (IEF) atau yang disebut Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada tahun 2019.

BPDLH diresmikan pada akhir 2019 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Lembaga ini dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dapatkan pemberitaan media edisi 24-30 Mei 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

Urgensi BPDLH

Urgensi BPDLH

Niat baik pemerintah untuk lebih serius memperhatikan serta menjaga lingkungari, hutan, dan alam Indonesia, memang layak kita acungkan jempol. Pasalnya, niat baik tersebut telah diakomodasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLIIK), serta Kementerian Keuangan (Kemkeu), yang secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) beberapa waktu lalu.

Peluncuran badan ini tentu sangat ditunggutunggu. Karena dengan kehadiran BPDLH, diharapkan mampu menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang makin masif. Salah satunya, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menahun.

BPDLH sendiri adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan lingkungan. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change), konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal di Indonesia yang harus dilindungi. Untuk pelaksanaannya, BPDLH dijadwalkan akan kick off pada awal tahun mendatang, mulai 1 Januari 2020.

Lembaga ini juga dirancang untuk berkolaborasi bersama kementerian dan lembaga lintas sektor. Sehingga, diharapkan mampu mendorong percepatan Indonesia mencapai komitmen penurunan emisi yang termanifestasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Pembentukan BPDLH sesungguhnya merupakan mandat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46. Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dengan keberadaan BPDLH, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, langkah Indonesia dalam implementasi Paris Agreement semakin nyata. Dalam upaya mitigasi serta adaptasi, Indonesia telah menyiapkan berbagai instrumen, seperti Sistem Registry Nasional (SRN), Monitoring Reporting dan Verifikasi (MRV) Protocol, Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+, Sistem Identifikasi Kerentanan (SIDIK), SIGNSMART. Siti Nurbaya juga menegaskan, kehadiran BPDLH melengkapi upaya Indonesia dalam kerja nyata pengendalian dan penanganan dampak perubahan iklim.

Terkait pendanaan, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemkeu Andin Iladiyanto mengatakan, dana awal yang sudah tersedia untuk dikelola BDPLH sebesar Rp 2,1 triliun. Dalam konteks pendanaan ini, BDPLH akan memberikan kemudahan akses dan menjamin keberlanjutan ketersediaan dana untuk berbagai pihak yang berkepentingan dan berkomitmen melestarikan lingkungan.

Dana APBN

Selama ini, dana untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, hutan, dan alam di Indonesia sangat ketergantungan dengan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dalam APBN 2018, belanja anggaran berdasarkan fungsi lingkungan hidup terdiri atas pengaturan (pembuatan regulasi terkait), pembinaan, pengawasan, pelaksanaan pengembangan sanitasi dan persampahan, serta pengelolaan pertanahan provinsi. Beberapa poin tersebut sangat menyangkut dengan kinerja kementerian dalam penanganan urusan lingkungan hidup.

Untuk itu, BPDLH diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pendanaan di luar kinerja kementerian. Misalnya, pendanaan badan usaha yang berkomitmen untuk menjaga lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Tidak hanya sekadar menampung pendanaan terkait isu lingkungan, BPDLH juga harus aktif dan progresif mencari dukungan pendanaan dari berbagai sektor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Berdasarkan perhitungan Kemkeu, BPDLH berpotensi mengelola dana sebesar Rp 800 triliun untuk mengatasi isu permasalahan lingkungan hidup. Bisa jadi, dengan keberadaan BDPLH, komitmen dan target Pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai komitmen penurunan emisi dalam NDC sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau 41% dengan dukungan intemasional, bisa benar-benar terwujud. Terkait dengan komitmen penurunan NDC tersebut, Indonesia memprioritaskan kepada lima sektor yakni energi, kehutanan, pertanian, proses industri, dan pengelolaan sampah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menghadapi perubahan iklim (climate budget tagging) meningkat dari tahun ke tahun. Pada APBN Perubahan 2016, anggaran yang terakumulasi untuk perlidungan lingkungan hidup mencapai Rp 72,4 triliun, lalu Rp 95,6 triliun dalam APBNP 2017, dan Rp 109,7 triliun dalam APBN 2018. Secara persentase, sekitar 3,6% di 2016, 4,7% pada 2017, dan 4,9% di 2018 terhadap total anggaran APBN. Namun pada pelaksanaannya, dengan total anggaran yang cukup besar tersebut, realisasi untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi di NDC terkesan jauh panggang dari api.

Banyak hal yang menghambat jalan Indonesia dalam mewryudkan komitmen tersebut. Salah satunya, terkait lemahnya penegakan hukum dan rendahnya komitmen dari berbagai pihak termasuk sektor swasta dalam pelestarian lingkungan. Sebagai lembaga yang baru akan mengepakkan sayapnya, tentu saja tantangan yang akan BPDLH hadapi terbilang cukup berat. Beberapa tantangan tersebut yakni: pertama, transparansi dan akuntabilitas. Terkait dengan hal ini, BPDLH harus menjadi lembaga publik yang transparan serta akuntabel karena menyangkut pendanaan yang cukup besar. Persoalan dana terbilang sangat sensitif, potensi penyelewengan pun cukup besar.

Kedua, regulasi yang efektif dan efisien. Aturan penyaluran pendanaan dan penerimaan dana lingkungan harus jelas, dengan persyaratan administrasi yang singkat sehingga lebih efektif dan efisien. Ketiga, penyaluran dana prioritas. Sebagai lembaga yang memegang peran penting dalam pendanaan kepentingan lingkungan, maka BPDLH harus mengetahui sektor-sektor prioritas pendanaan dan diharapkan tidak ada cerita salah sasaran dalam penyaluran dana tersebut. Oleh karena itu, dengan kinerja dan dukungan yang maksimal, kita berharap, BPDLH mampu menjadi salah satu solusi untuk menghadapi krisis iklim global yang telah mengadang di depan mata.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Kontan edisi 26 Oktober 2019 .

Related Article

Pesan Jusuf Kalla di Climate Action Summit

Pesan Jusuf Kalla di Climate Action Summit

Hallo Sobat Luluk’s Update, sudah pada tahu apa yang disampaikan Wakil Presiden kita Jusuf Kalla pada Climate Action Summit 23 September ini?

Nah, pada pertemuan bergengsi dan sangat penting perihal perubahan iklim, Jusuf Kalla menyampaikan pidato singkat di Climate Action Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Aksi Iklim di General Assembly Hall, Gedung PBB, New York, pada 23 September 2019

Jusuf Kalla menyampaikan bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) memperparah dampak perubahan iklim. Terkait dengan hal ini Indonesia telah mengambil langkah tegas dalam menanganinya.

Jusuf Kalla juga menegaskan bahwa Indonesia telah siap menjawab tantangan dari Perubahan Iklim global. “Kita tidak lagi memiliki keleluasaan maupun pilihan selain meningkatkan ambisi pengendalian perubahan iklim. Dalam menghadapi kenyataan ini, aksi iklim harus konkret dan realistis” ujar Jusuf Kalla.

Selain itu, strategi Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca juga disampaikan pada kesempatan tersebut. Pertama, Indonesia sendiri akan meluncurkan Low Carbon Development Initiative (LCDI), sebuah inisiatif yang berjalan seiring keuntungan ekonomi dan sosial.

Kedua, mengintensifkan aksi iklim, melalui Solusi Berbasis Alam, dengan merestorasi 2 juta ha lahan gambut dan merehabilitasi 12 juta ha lahan kritis pada tahun 2030 dan melestarikan secara intensif daerah bakau dan daerah pesisir.

Ketiga, program transisi energi dengan menghapus subsidi bahan bakar fosil, menetapkan kebijakan biodiesel wajib dan membangun kilang bahan bakar hijau. Keempat, membentuk fasilitas khusus pendanaan lingkungan untuk memfasilitasi pendanaan iklim dan mendukung program lingkungan lainnya.

Kami mendorong peningkatan dukungan pendanaan dan transfer teknologi serta energi terbarukan yang terjangkau dan dapat diakses”, tambah Jusuf Kalla.

Mau tahu pemberitaan pekan ini lebih mendalam? Sobat Luluk’s Update dapat unduh bahan yang telah disediakan ya, monggo.

Related Article

id_IDID