Madani

Tentang Kami

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

[Jakarta, 24 November 2020] Beberapa saat lalu, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2020, Green Climate Fund (GCF) atau dikenal juga sebagai Dana Iklim Hijau menyetujui proposal pemerintah Indonesia untuk mengakses dana pembayaran berbasis hasil untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) sebesar 103,8 juta dollar AS atau setara dengan 1,54 triliun rupiah. 

Dana ini diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta tCO2e. Keberhasilan Indonesia dalam mengakses dana ini adalah indikator awal kepercayaan dunia terhadap Indonesia saat ini. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, ikut memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia atas pencapain Indonesia dalam menurunkan angka deforestasi telepas dari perdebatan banyak pihak terkait angkat tersebut. Apresiasi ini disampaikan Teguh Surya dalam diskusi virtual talkshop “Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Selasa, 24 November 2020. 

Harapan kita pada pendanaan dari Green Climate Fund ini tentu sangat besar, dana yang besar ini harus kita manfaatkan sebesar mungkin, kita juga berharap masyarakat dapat mengakses dan akhirnya dana yang besar dapat efektif”, ujar Teguh. 

Dalam diskusi terbatas ini, Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Dewa Ekayana menjadi pemateri kunci yang menjelaskan tentang Green Climate Fund sampai dengan berbagai cara untuk mengakses pendanaan ini. 

Dewa Ekayana menjelaskan bahwa GCF adalah amanat dari The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk membantu negara-negara berkembang mencapai komitmen iklimnya dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “GCF sendiri adalah sumber pendanaan terbesar yang ada saat ini untuk melawan dampak perubahan iklim global”, ujar Dewa Ekayana.

Analis Kebijakan ini juga menyebut bahwa semua pihak dapat mengakses pendanaan ini dengan berkolaborasi bersama lembaga yang sudah terakreditasi. Ia juga mendorong bagi semua pelaku maupun pegiat perlindungan lingkungan, hutan, dan alam, untuk bersama-sama mengajukan proposal demi alam Indonesia yang lebih baik. 

Dapatkan materi diskusi Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia dengan mengunduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Urgensi BPDLH

Urgensi BPDLH

Niat baik pemerintah untuk lebih serius memperhatikan serta menjaga lingkungari, hutan, dan alam Indonesia, memang layak kita acungkan jempol. Pasalnya, niat baik tersebut telah diakomodasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLIIK), serta Kementerian Keuangan (Kemkeu), yang secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) beberapa waktu lalu.

Peluncuran badan ini tentu sangat ditunggutunggu. Karena dengan kehadiran BPDLH, diharapkan mampu menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang makin masif. Salah satunya, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menahun.

BPDLH sendiri adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan lingkungan. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change), konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal di Indonesia yang harus dilindungi. Untuk pelaksanaannya, BPDLH dijadwalkan akan kick off pada awal tahun mendatang, mulai 1 Januari 2020.

Lembaga ini juga dirancang untuk berkolaborasi bersama kementerian dan lembaga lintas sektor. Sehingga, diharapkan mampu mendorong percepatan Indonesia mencapai komitmen penurunan emisi yang termanifestasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Pembentukan BPDLH sesungguhnya merupakan mandat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46. Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dengan keberadaan BPDLH, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, langkah Indonesia dalam implementasi Paris Agreement semakin nyata. Dalam upaya mitigasi serta adaptasi, Indonesia telah menyiapkan berbagai instrumen, seperti Sistem Registry Nasional (SRN), Monitoring Reporting dan Verifikasi (MRV) Protocol, Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+, Sistem Identifikasi Kerentanan (SIDIK), SIGNSMART. Siti Nurbaya juga menegaskan, kehadiran BPDLH melengkapi upaya Indonesia dalam kerja nyata pengendalian dan penanganan dampak perubahan iklim.

Terkait pendanaan, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemkeu Andin Iladiyanto mengatakan, dana awal yang sudah tersedia untuk dikelola BDPLH sebesar Rp 2,1 triliun. Dalam konteks pendanaan ini, BDPLH akan memberikan kemudahan akses dan menjamin keberlanjutan ketersediaan dana untuk berbagai pihak yang berkepentingan dan berkomitmen melestarikan lingkungan.

Dana APBN

Selama ini, dana untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, hutan, dan alam di Indonesia sangat ketergantungan dengan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dalam APBN 2018, belanja anggaran berdasarkan fungsi lingkungan hidup terdiri atas pengaturan (pembuatan regulasi terkait), pembinaan, pengawasan, pelaksanaan pengembangan sanitasi dan persampahan, serta pengelolaan pertanahan provinsi. Beberapa poin tersebut sangat menyangkut dengan kinerja kementerian dalam penanganan urusan lingkungan hidup.

Untuk itu, BPDLH diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pendanaan di luar kinerja kementerian. Misalnya, pendanaan badan usaha yang berkomitmen untuk menjaga lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Tidak hanya sekadar menampung pendanaan terkait isu lingkungan, BPDLH juga harus aktif dan progresif mencari dukungan pendanaan dari berbagai sektor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Berdasarkan perhitungan Kemkeu, BPDLH berpotensi mengelola dana sebesar Rp 800 triliun untuk mengatasi isu permasalahan lingkungan hidup. Bisa jadi, dengan keberadaan BDPLH, komitmen dan target Pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai komitmen penurunan emisi dalam NDC sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau 41% dengan dukungan intemasional, bisa benar-benar terwujud. Terkait dengan komitmen penurunan NDC tersebut, Indonesia memprioritaskan kepada lima sektor yakni energi, kehutanan, pertanian, proses industri, dan pengelolaan sampah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menghadapi perubahan iklim (climate budget tagging) meningkat dari tahun ke tahun. Pada APBN Perubahan 2016, anggaran yang terakumulasi untuk perlidungan lingkungan hidup mencapai Rp 72,4 triliun, lalu Rp 95,6 triliun dalam APBNP 2017, dan Rp 109,7 triliun dalam APBN 2018. Secara persentase, sekitar 3,6% di 2016, 4,7% pada 2017, dan 4,9% di 2018 terhadap total anggaran APBN. Namun pada pelaksanaannya, dengan total anggaran yang cukup besar tersebut, realisasi untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi di NDC terkesan jauh panggang dari api.

Banyak hal yang menghambat jalan Indonesia dalam mewryudkan komitmen tersebut. Salah satunya, terkait lemahnya penegakan hukum dan rendahnya komitmen dari berbagai pihak termasuk sektor swasta dalam pelestarian lingkungan. Sebagai lembaga yang baru akan mengepakkan sayapnya, tentu saja tantangan yang akan BPDLH hadapi terbilang cukup berat. Beberapa tantangan tersebut yakni: pertama, transparansi dan akuntabilitas. Terkait dengan hal ini, BPDLH harus menjadi lembaga publik yang transparan serta akuntabel karena menyangkut pendanaan yang cukup besar. Persoalan dana terbilang sangat sensitif, potensi penyelewengan pun cukup besar.

Kedua, regulasi yang efektif dan efisien. Aturan penyaluran pendanaan dan penerimaan dana lingkungan harus jelas, dengan persyaratan administrasi yang singkat sehingga lebih efektif dan efisien. Ketiga, penyaluran dana prioritas. Sebagai lembaga yang memegang peran penting dalam pendanaan kepentingan lingkungan, maka BPDLH harus mengetahui sektor-sektor prioritas pendanaan dan diharapkan tidak ada cerita salah sasaran dalam penyaluran dana tersebut. Oleh karena itu, dengan kinerja dan dukungan yang maksimal, kita berharap, BPDLH mampu menjadi salah satu solusi untuk menghadapi krisis iklim global yang telah mengadang di depan mata.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Kontan edisi 26 Oktober 2019 .

Related Article

id_IDID