Madani

Tentang Kami

PENTINGNYA INTEGRASI KONSEP PEMBANGUNAN HIJAU UNTUK KOMITMEN IKLIM KE DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAERAH PROVINSI MALUKU

PENTINGNYA INTEGRASI KONSEP PEMBANGUNAN HIJAU UNTUK KOMITMEN IKLIM KE DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAERAH PROVINSI MALUKU

Komitmen Indonesia untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan perubahan iklim tergambar jelas dengan diratifikasinya Perjanjian Paris pada tahun 2016 melalui UU Nomor 16 Tahun 2016. Tak hanya itu, Indonesia juga mengembangkan konsep Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim (PRKBI), yang menjadi rujukan rencana kerja pemerintah dan menjadi masukan dalam evaluasi pelaksanaan Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, serta memperkuat strategi peningkatan pembangunan yang berkelanjutan pada penyusunan RPJMN dan RPJPN periode berikutnya. Untuk itu, menjadi penting agar konsep dan isu pembangunan nasional terkait perubahan iklim diinternalisasi ke dalam dokumen   perencanaan daerah seperti Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) hingga ke dokumen turunannya.

Provinsi Maluku telah memiliki RPJPD periode 2005 – 2025 sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 2 Tahun 2009. Arahan-arahan terkait pembangunan berkelanjutan yang inklusif dengan menginternalisasi nilai-nilai budaya lokal telah ada dalam RPJPD periode 2005 – 2025. Salah satunya mendorong perekonomian daerah yang mengedepankan komoditas unggulan kepulauan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan. RPJMD Provinsi Maluku saat ini telah dilakukan perubahan dan disahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 12 Tahun 2022 tentang RPJMD Perubahan Tahun 2019-2024. Dalam salah satu visi RPJMD Maluku saat ini mengangkat  “Maluku yang berdaulat atas gugusan kepulauan” yang menunjukkan komitmen Provinsi Maluku terhadap keberlanjutan dari lingkungan serta sumber dayanya untuk kesejahteraan masyarakat. 

“Ini momentum yang tepat bahwa kita untuk mengevaluasi kembali pembangunan jangka panjang kita maupun pembangunan jangka lima tahun, dan kita merancang ke depan lagi tentang pembangunan kita lima tahun ke depan dan dua puluh tahun ke depan,” kata Dr. Anton A. Lailossa, ST, M.Si., Kepala Bappeda Provinsi Maluku pada saat membuka kegiatan Bimbingan Teknis “Integrasi Konsep Pembangunan Hijau untuk Komitmen Iklim ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah Provinsi Maluku” di kota Ambon, pada 24 – 26 Januari 2023. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Bappeda Provinsi Maluku. Bimbingan Teknis ini menghadirkan Erik Armundito, S.T., M.T., Phd, Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas sebagai narasumber. Serta Tim Ahli Bimbingan Teknis, yaitu Joko Tri Haryanto, Peneliti Senior, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rico Arya Radestya dan Doddy Afianto, Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri.

“Bappenas telah menjadikan Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim sebagai Prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2023. Tema RKP 2023 adalah Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan, dengan Fokus Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim yaitu Ekonomi Rendah Karbon dan Transisi Energi. Sementara itu, ada delapan Arah Kebijakan dimana salah satunya adalah Pembangunan Rendah Karbon, Transisi Energi dan Respon terhadap Perubahan Iklim,” jelas Erik Armundito, S.T., M.T., Phd, Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas yang menjadi narasumber  dalam Bimbingan Teknis ini.

Bimbingan Teknis ini diikuti oleh OPD-OPD terkait di Provinsi Maluku, seperti Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Perhubungan dan Dinas Ketahanan Pangan. 

Kondisi lingkungan Provinsi Maluku masih cukup terjaga, ini dibuktikan dengan Maluku yang masih menjadi daerah dengan tingkat serapan emisi lebih besar daripada emisi yang dikeluarkan. Dengan adanya perkembangan konsep pembangunan di Indonesia, harapannya Provinsi Maluku dapat menyelaraskan konsep hijau berkelanjutan dan berketahanan iklim ke dalam dokumen perencanaan daerahnya, utamanya dengan mempertimbangkan momentum menuju berakhirnya RPJPD yang akan berakhir pada 2025. 

“Arah pembangunan Provinsi Maluku ke depan perlu penyelarasan dengan perkembangan konsep pembangunan lingkungan yang bertujuan untuk mencapai target penurunan emisi, mengurangi dampak kerugian akibat perubahan iklim, termasuk beradaptasi dengan adanya pengaruh perubahan kondisi lingkungan. Hal ini mendukung arah pembangunan Indonesia yang ditujukan menjadi Negara dan bangsa yang berkomitmen iklim dan mencapai pembangunan hijau yang berkelanjutan,” pungkas Resni Soviyana, Project Officer Program Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan. [ ] 

Referensi: https://madaniberkelanjutan.id/2021/07/31/mendorong-penerapan-green-budget-tagging-dan-scoring-system-di-provinsi-maluku

Related Article

Pentingnya Sinergi Antarpemangku Kepentingan untuk Mencapai Indonesia FOLU Net Sink 2030 dan Net Zero Emission 2050

Pentingnya Sinergi Antarpemangku Kepentingan untuk Mencapai Indonesia FOLU Net Sink 2030 dan Net Zero Emission 2050

[Madani News] Kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030) merupakan bentuk keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim, khususnya dalam mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat. Laporan IPCC ke-6 menegaskan bahwa tanpa kebijakan dan aksi iklim yang lebih kuat menuju 2030, kenaikan suhu bumi akan melebihi 3 °C, jauh dari ambang batas 1,5 °C sesuai dengan target Persetujuan Paris.

Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menahan laju kenaikan suhu global berwujud Nationally Determined Contribution (NDC) yang turut menarget sektor FOLU (17,2% dari 29% dalam CM1) dan visi pembangunan rendah karbon serta berketahanan iklim yang tertuang dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

Selain menjadi tumpuan pengurangan emisi Indonesia, sektor FOLU juga menjadi penopang utama pembangunan ekonomi sampai saat ini. “Untuk mendorong pencapaian FOLU Net Sink sudah saatnya kita beranjak dari paradigma yang memandang manfaat dan nilai ekonomi hutan hanya dari kayu. Padahal, banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Agar penerapan kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 berjalan efektif, harus ada sinergi antara rencana pengelolaan hutan, dengan memaksimalkan peluang-peluang yang ada, termasuk kontribusi dari para pelaku usaha. Diperlukan kolaborasi antara pihak swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk mencapai komitmen iklim.” Demikian pesan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, pada 16 Juni 2022, saat membuka Serial Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia pertama bertajuk “Peran Bisnis Kehutanan dalam Mencapai FOLU Net Sink 2030” yang diselenggarakan Forest Digest bersama Yayasan Madani Berkelanjutan.

Serial Diskusi Publik I ini dihadiri oleh empat narasumber, antara lain Ir. Istanto, M.Sc., Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, Ditjen PHL, KLHK; Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University; Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama; dan Purwadi Soeprihanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Diskusi dimoderasi oleh Galuh Sekar Arum dari Forest Digest.

Asep Sugih Suntana menjelaskan bahwa Pengelolaan Hutan Berkelanjutan telah lama digagas dan diusung oleh berbagai lembaga pemerintah dan nonpemerintah, baik pada level internasional maupun nasional. Menurutnya, bisnis kehutanan Indonesia juga telah bertransformasi dari yang awalnya hanya bergantung pada Hasil Hutan Kayu (HHK) ke arah Multi Interests Forestry, yaitu kehutanan multiproduk, multiusaha, dan multijasa. Direktur Utama Forest Digest ini kemudian menyimpulkan bahwa IFNET 2030 adalah kebijakan baru yang perlu ditilik dan didukung dengan baik melalui proses pengayaan pengetahuan dari pihak-pihak yang beragam.

Sementara itu, Ir. Istanto, M.Sc., Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, Ditjen PHL KLHK, menyampaikan bahwa Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) menjadi tulang punggung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030, khususnya SILIN (silvikultur intensif) dan RIL-C (Reduced Impact Logging for Climate). Ia juga menekankan bahwa Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang berorientasi kayu harus beranjak ke agroforestry melalui multiusaha kehutanan.

Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama (RMU), sangat optimis dengan target IFNET, meskipun ia merasa bahwa pencapaiannya masih memerlukan kegiatan dan regulasi yang meyakinkan. Berdasarkan pengalamannya mengelola Mentaya-Katingan Project, ia percaya bahwa kunci untuk mewujudkan perubahan yang benar-benar transformatif adalah menjalin kemitraan erat dengan masyarakat lokal.

Purwadi Soeprihanto, Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menjelaskan bahwa perlu ada insentif yang lebih agar target komitmen iklim bisa tercapai dan leverage untuk mendorong faktor pengungkit dalam peningkatan serapan hutan.

Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menekankan pentingnya semangat kolaborasi dan sinergi antarpihak dalam menyukseskan IFNET 2030 yang merupakan kepentingan bersama. Ia juga mengingatkan bahwa IFNET 2030 membutuhkan pendanaan sekitar Rp200 triliun yang 80% diperkirakan akan berasal dari sektor swasta, sehingga perlu ada daya tarik khusus bagi pihak swasta.

Diskusi kali ini adalah diskusi pertama dari serangkai Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia yang akan diselenggarakan Forest Digest bersama Yayasan Madani Berkelanjutan sampai Agustus 2022. Semua paparan narasumber dari sesi diskusi pertama dapat Anda unduh di bawah ini

Related Article

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Juli 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam memperbarui komitmen iklim Indonesia melalui Updated Nationally Determined Contribution (Updated NDC). Dalam dokumen Updated NDC yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC 21 Juli 2021 lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, termasuk adaptasi di sektor kelautan, pengurangan deforestasi dan degradasi, perhutanan sosial, serta integrasi dengan isu-isu penting lainnya seperti keanekaragaman hayati.

Beyond 2030, Updated NDC Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut. Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Updated NDC Indonesia yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC.

Selain itu, pemenuhan target NDC membutuhkan kolaborasi semua pihak. Oleh karenanya, keterbukaan data dan informasi, serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat penting agar semua pihak termasuk masyarakat, masyarakat sipil dan sektor swasta dalam berpartisipasi dalam pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim,” tambah Nadia Hadad. “Bayangan emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2060 juga merupakan langkah lebih maju dari rencana sebelumnya di tahun 2070. Namun akan lebih ideal jika Indonesia berkomitmen pada target yang lebih ambisius untuk emisi nol karbon (net zero emission) agar lebih cepat terjadi transformasi ke energi terbarukan dan perbaikan tata kelola penggunaan lahan di Indonesia.” 

Nadia Hadad menambahkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam mencapai Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. 

Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut. “Sekitar 1,5 juta hektare hutan alam tercakup dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi dengan estimasi nilai kayu lebih dari 200 triliun rupiah. Jika hutan alam dibuka, kebijakan ini akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim dan ketahanan pangan di masa depan. Penting juga untuk memperluas dan mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran hutan dan lahan, tidak hanya yang berada di bawah wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM (di luar konsesi), tapi juga restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan. Sangat penting untuk memastikan tidak ada lagi pembukaan dan pengeringan gambut oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energi,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan selaras NDC lain yang penting adalah mempercepat realisasi perhutanan sosial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak. Pendanaan lingkungan hidup dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk Oktober 2019 lalu seyogyanya difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat. 

Tidak kalah penting adalah memastikan kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bagian dari bauran energi (energy mix) termasuk biodiesel, agar tidak meningkatkan deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, memasang safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, dan yang  terpenting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, misalnya dari sampah/limbah,” kata M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan.

Transformasi sistem energi dan penggunaan lahan harus dimulai dari sekarang untuk mencapai visi Net Zero Emission lebih cepat, tidak bisa menunggu setelah 2030 untuk mengurangi emisi secara drastis. Hal ini harus dimulai dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pemerintah dengan komitmen iklim yang telah ditetapkan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 26 Juli 2021] Perpanjangan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Langkah ini dapat memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan, serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim (NDC). Demikian disampaikan oleh Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi tersebut masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% pada tahun 2030 mendatang. Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli 2021 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda “Indonesia FOLU 2030” dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030. Perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit. Perpanjangan ini akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan.

Masih ada sekitar 5,7 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia dapat terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” ujar Trias Fetra. Pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektare.

Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektare hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektare-nya tercatat sebagai hutan primer. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,43 juta hektare tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. Implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan. Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektare ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektare. Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering. Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektare luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias Fetra.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Inpres. “Perlu dicatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Semestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi. Bentuk transparansi seperti ini tentunya akan semakin membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres. Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang.”

Dari pengalaman selama 3 tahun ini, Pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit.  Pemerintah dan para pihak mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujar Agung Ady, Juru Kampanye FWI.  

Terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan. Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit.  Sehingga perpanjangan dan penguatan Moratorium kelapa sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” tutup Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak. [ ]

 

Kontak Media:

  1. Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan (fetra@madaniberkelanjutan.id / 0877-4403-0366)
  2. Agung Ady Setiyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia  (agung_ady@fwi.or.id / 085334510487)
  3. Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak (rahmadha.syah@kaoemtelapak.org / 081288135152)
  4. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL (adri@icel.or.id / 081386299786)

Related Article

Sektor Energi dan Kehutanan Kunci Mencapai Target NDC

Sektor Energi dan Kehutanan Kunci Mencapai Target NDC

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen melalui kerjasama internasional pada tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11 persen merupakan sektor utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17 persen.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, menyampaikan bahwa sinergi energi dan perubahan iklim merupakan kata kunci yang harus dimaknai sebagai upaya bersama dalam membentuk transisi energi secara inklusif.  “Kita semua dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam transisi tersebut. Kesadaran untuk meminimalkan penggunaan sumber energi fosil dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan kontribusi positif dalam menekan perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya” .

KLHK menyampaikan bahwa sektor energi dan kehutanan menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, Emma Rachmawati. Sektor energi adalah sektor kedua yang merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Di saat yang bersamaan, sektor energi juga menjadi kontributor kedua dalam menurunkan emisi GRK sehingga perlu melakukan upaya signifikan dalam mengurangi emisi GRK.

Kalau kita bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan maka NDC kita sudah pasti dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditargetkan“, ujar Emma Rachmawati.

Merujuk peta jalan NDC Indonesia, sektor energi ditargetkan menyumbang sebesar 314 juta CO2e (ekuivalen karbon dioksida) untuk penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030.

Target itu kemudian dirinci ke dalam subsektor energi efisiensi. Dari masing-masing subsektor itu di tetapkan juga dalam bentuk CO2e.

Lima Negara Yang Menjadi Ancaman Gagalnya Paris Agreement

Laporan terbaru Think Tank Carbon Tracker Initiative dalam judul laporan Do Not Revive Coal menyebutkan bahwa ada 5 negara yang menjadi ancaman gagalnya Paris Agreement. Ancaman tidak tercapainya target Perjanjian Paris ini berasal dari lima negara yaitu Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok.  Alasan utama ancaman gagalnya Perjanjian Paris ini karena persoalan rancangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Kelima negara ini berencana membangun 600 PLTU batu bara baru yang mencakup sekitar 80 persen dari porsi batu bara baru global. Kapasitas dari seluruh PLTU itu melebihi 300 gigawatt (GW). Hal ini dianggap mengkhawatirkan, karena tak menghiraukan seruan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres untuk membatalkan PLTU batu bara baru.

Pasalnya, negara Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok mengoperasikan 3/4 PLTU yang ada di seluruh dunia. Sebanyak 55 persen adalah negara Tiongkok dan 12 persen adalah India. Sekitar 27 persen kapasistas PLTU batu bara global tidak dapat menghasilkan keuntungan, dan 30 persen hampir mencapai titik breakeven. Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini.Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW pembakit baru sudah direncanakan untuk dibangun.

Energi terbarukan ditargetkan akan mengalahkan seluruh tambang baru yang ada pada tahun 2024. PT Pembangkit Listrik Negara (PLN Persero) sendiri masuk ke dalam daftar perusahaan dengan aset yang terancam menjadi aset terlantar dalam skema B2DS (Below 2 Degrees). Dari 22,529 MW kapasitas, PLN berisiko kehilangan 15,41 miliar USD miliar dari asset terbengkalai dengan patokan B2DS.

Inggris Akan Mempercepat Target Penghentian Penggunaan Batu Bara

Mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batubara untuk menghasilkan listriknya. Ini satu tahun lebih cepat dari rencana awal. Hal ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Anne-Marie Trevelyan, pada Rabu, 30 Juni.

Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Inggris untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dalam rangka menghapus peran serta Inggris terhadap perubahan iklim pada 2050. Pengumuman ini menegaskan niatan yang disampaikan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tahun lalu untuk mempercepat tenggat waktu mengakhiri penggunaan batu bara dalam sistem produksi listrik.

Hal Ini juga berarti bahwa Pemerintah Inggris mempercepat batas waktu penghapusan batu bara dari sistem energi Inggris satu tahun lebih cepat. Tekad ini menegaskan kepemimpinan Inggris untuk bergerak lebih jauh dan lebih cepat dalam menurunkan emisi serta memimpin dengan memberikan keteladanan dalam memerangi perubahan iklim jelang perannya menjadi tuan rumah COP26 di Glasgow pada November mendatang. Inggris mengajak negara-negara di dunia untuk turut mempercepat penghapusan batubara dari sistem ketenagalistrikan.

Rencana Penerapan Pajak Karbon Pada 2022

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2022. Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.

Tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional. Sri Mulyani bersama koalisi Menteri Keuangan dari berbagai negara masih mendiskusikan praktek penerapan harga yang lebih seragam. “Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktek dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian“, tegas Sri Mulyani.

Memang, tarif pajak karbon di dunia saat ini sangat tidak seragam karena berada pada rentang yang lebih luas.

Indonesia dan Perancis Sepakat Memperkuat Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia dan Perancis sepakat untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon, green and blue economy, hingga kerja sama pembiayaan pembangunan proyek-proyek pemerintah. Disampaikan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menerima kunjungan pejabat senior dari The Agence Française de Développement (AFD) dan pejabat senior dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan (French Treasury) di KBRI Paris, Prancis.

Kementerian PPN/Bappenas telah menyiapkan strategi transformasi ekonomi. Kerja sama AFD dengan Kementerian PPN/Bappenas adalah salah satunya bentuk usaha untuk pelaksanaan strategi transformasi ekonomi Indonesia, khususnya green economy.

Dalam pertemuan dengan AFD tersebut, terdapat kesepahaman untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon atau green economy dengan fokus pada energy transition, waste management, green industry termasuk green tourism. Beberapa proyek potensial untuk dikembangkan adalah waste to energy project dan AFD juga akan mendukung penuh langkah Indonesia dalam mengusung pilot project pencanangan Bali sebagai blue island.

Dapatkan pemberitaan media edisi 28 Juni – 4 Juli dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 247 miliar atau sekitar Rp 3.461 triliun selama periode 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setiap tahun. Estimasi ini sesuai dengan dokumen Second Biennial Update Report 2018.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengestimasi kebutuhan Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) setiap tahun adalah sebesar Rp 343,32 triliun. Merujuk pada pendanaan APBN yang disediakan untuk perubahan iklim berdasarkan data budget tagging tahun 2019 dan 2020, serta merujuk pada kebutuhan per tahun dan data budget tagging tersebut maka pendanaan masih terdapat gap yang cukup besar, yaitu sekitar 60-70% dari total kebutuhan dananya.

Indonesia sendiri sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement malalui UU 16 tahun 2016 telah menyampaikan komitmentnya melalui NDCs yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan Internasional. Salah satu upaya konkret pemerintah untuk mendukung pendanaan NDC atau pendanaan lingkungan hidup secara umum adalah pembentukan Indonesian Environment Fund (IEF) atau yang disebut Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada tahun 2019.

BPDLH diresmikan pada akhir 2019 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Lembaga ini dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dapatkan pemberitaan media edisi 24-30 Mei 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global

Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global

[Jakarta, 23 April 2021] Indonesia sangat berpotensi memimpin negara-negara di dunia dalam menangani krisis iklim. Selain merupakan negara ketiga terbesar pemilik hutan hujan tropis di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia juga berhasil dalam menurunkan deforestasi hingga 75 persen di periode 2019-2020. “Capaian tersebut adalah wujud komitmen dan aksi nyata  bagi Indonesia dalam menangani krisis iklim dunia. Apalagi Pemerintah Indonesia juga telah menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut”. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate tanggal 22 April 2021. 

Namun sangat disayangkan, Pidato Presiden Joko Widodo pada forum Leaders Summit on Climate yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden tak menyiratkan hal tersebut. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektare yang mana lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia. Namun, hanya dengan pencapaian itu saja belum cukup. Masih diperlukan upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan Kehutanan (LULUCF) tersebut. “Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru dengan menambahkan 9,4 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi dalam PIPPIB, PIAPS, serta di luar izin dan konsesi akan membantu Indonesia menekan kembali angka deforestasinya. Serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang terdepan dalam menangani krisis iklim dunia,” ungkap Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia telah menargetkan di sektor kehutanan skenario paling ambisius (LCCP) terhadap laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan di periode tahun 2031-2050 sebesar 99 ribu hektare per tahun. “Dengan skenario ini, Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2070, dengan syarat Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC,” tambah Yosi Amelia.

Presiden Joko Widodo pada pidatonya juga menyebutkan mengenai target pemulihan mangrove seluas 620 ribu hektare yang memang patut diapresiasi. “Namun perlu adanya peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres BRGM, target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020. Sayangnya, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara itu di sisi lain 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak,” ujar Yosi Amelia.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera merealisasikan target restorasi gambut yang telah ada dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 lalu tidak hanya pada ekosistem gambut yang berada di luar area izin/konsesi namun juga ekosistem gambut yang berada di dalam area izin/konsesi,” tambah Yosi Amelia. 

Presiden Joko Widodo juga menyampaikan terkait peluang dan rencana pengembangan biofuel di Indonesia. “Upaya penurunan emisi karbon sektor energi dengan menggunakan energi terbarukan biofuel harus dilakukan dengan hati-hati, karena jangan sampai upaya pengembangan biofuel ini mengorbankan hutan alam Indonesia dengan menggantikan hutan alam menjadi hutan tanaman energi atau memperluas perkebunan sawit guna memenuhi bahan baku biofuel. Pembukaan hutan dan lahan untuk biofuel akan berisiko meningkatkan deforestasi sehingga Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya serta mencapai net zero emission di tahun 2050,” ungkap Yosi Amelia.

Negara-negara peserta KTT telah menyampaikan komitmen yang lebih ambisius mengurangi emisi dalam upaya memerangi krisis iklim, termasuk negara Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Namun, Indonesia sendiri belum berani menunjukkan komitmen yang ambisius untuk mencapai net zero emission sebelum tahun 2050. “Seharusnya Pertemuan Leaders Summit on Climate ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim, serta menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyampaikan pencapaian netral karbon (net zero emission) di tahun 2050 sebagaimana ditargetkan di dalam Persetujuan Paris,” tutup Nadia Hadad.[ ] 

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Banyak Kajian Tunjukkan Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070

Banyak Kajian Tunjukkan Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070

Jakarta, 9 April 2021- Institute for Essential Services Reform (IESR), Madani Berkelanjutan, ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), WALHI, dan Thamrin School mendesak pemerintah untuk lebih ambisius memenuhi amanat Persetujuan Paris dalam diskusi daring dengan tema “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070”.

Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris. 

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, menegaskan bahwa keterlambatan ini akan merugikan banyak negara berkembang, utamanya bila perdagangan karbon dan carbon capture yang dipilih menjadi salah satu cara untuk mencapai “net zero”.  

Selain itu banyak celah untuk mengelak pengurangan emisi yang ambisius seperti offset perdagangan karbon ke negara berkembang, bukan transformasi secara struktural model bisnis. Jika ini dipilih maka negara berkembang akan nantinya mendapat beban ganda yaitu beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi di negara masing-masing,” jelas Yuyun.

Lebih lanjut, LTS-LCCR 2050 memaparkan bahwa dari 5 sektor penyumbang emisi yang menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NCD), hanya sektor kehutanan dan lahan lainnya (FOLU) yang akan mencapai net sink pada tahun 2030. Sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi (peaking) pada tahun 2030. 

Pemerintah Indonesia Perlu Tetapkan Target Lebih Ambisius di Sektor Energi dan Kehutanan 

Hasil analisa IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050, di antaranya dengan menekan emisi GRK di sektor pembangkit listrik, transportasi dan industri yang berkontribusi total 406.8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi GRK sektor energi di tahun 2015.

Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal,” tandas Deon Arinaldo , Manager Program Transformasi Energi, IESR. 

Deon juga memaparkan bahwa berbagai pemodelan global untuk mencapai target Persetujuan Paris menunjukkan upaya lebih ambisius akan bisa membuat setidaknya bauran batubara pada pembangkit berada di sekitar 5-10% pada tahun 2030. Hasil lainnya menyatakan setidaknya bauran bahan bakar bersih pada transportasi mencapai 20-25% pada tahun 2030 dari total permintaan energi sektor transportasi. Namun dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan bahwa dengan skenario ambisius berdasarkan Persetujuan Paris (LCCP), bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, dan energi terbarukan hanya 33% di tahun 2050. Jika dibandingkan dengan target NDC saat ini, kenaikan target energi terbarukan hanya sebanyak 10% dalam 25 tahun. 

Sementara itu, dalam dokumen yang sama, di sektor kehutanan, skenario paling ambisius (LCCP) menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu ha per tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. Hal ini berarti Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha atau lebih dari 12x Pulau Bali pada periode 2010-2050. Karena Indonesia telah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-2020 1 , kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta ha atau 71 ribu ha per tahun. 

Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut, namun ini belum cukup.

Agar Indonesia dapat mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC, bahkan hingga nol karena sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah kita habiskan di dekade lalu,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru hingga meliputi hutan alam tersisa akan membantu Indonesia menekan deforestasinya.

Perhitungan awal Madani, ada sekitar 9,4 juta ha hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi perhutanan sosial (PIAPS), dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tidak terdeforestasi,” tambah Anggalia Putri. Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. 

Melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut yang telah ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 juga dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Hampir setengah juta hektare (498.500 ha) ekosistem gambut yang terbakar pada 2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020. Oleh karena itu, seluruh ekosistem gambut yang terbakar pada 2019, baik di dalam maupun di luar konsesi, harus masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area tersebut tidak berulang.  

Pemerintah Daerah Berpeluang Besar Implementasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 

Upaya yang lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus tergambar dalam LTC-LCCR 2050, sehingga, terutama tingkat daerah, semakin banyak pemerintah daerah yang berkomitmen kuat mengimplementasi pembangunan daerah yang memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. 

ICLEI Indonesia meyakini bahwa Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari 34 pemerintah provinsi dan 514 pemerintah kota/kabupaten mampu mencapai karbon netral sebelum 2070 dengan memperkuat tata kelola multi level, khususnya pelibatan dewan perwakilan rakyat di tingkat nasional maupun daerah serta pelaku bisnis atau pihak swasta untuk menetapkan target yang optimis dan lebih ambisius. 

Beberapa pemerintah daerah yang ICLEI Indonesia dampingi, kepala daerahnya telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim, baik itu dari aksi adaptasi maupun mitigasi. Mereka yakin bahwa isu dan agenda perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan yang harus direspon secara positif,” ujar Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia.

Berdasarkan laporan dari UN-Habitat, 70% emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari aktivitas perkotaan (pemerintah daerah). Data ini menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot dari perubahan iklim. Meskipun demikian, pemerintah daerah berpeluang besar menjadi pemimpin (leader) dalam membatasi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang baik ini dengan menempatkan pemerintah daerah sebagai “Jantung Strategi Nasional” dalam rangka mendukung komitmen nasional yang tertuang dalam NDC dan menuju netral karbon di masa depan. 

Dalam tataran implementasi, pemerintah nasional perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan perangkat pendukung (enabling environment) dan kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan iklim. ICLEI Indonesia merekomendasikan penyusunan perangkat pendukung secara sistematis, terstruktur, selalu diperbaharui dan mudah dimengerti oleh pembaca dan/atau pengguna (utamanya staf pemerintah daerah) dari ragam latar belakang pendidikan. 

Dukungan ini akan menjawab beberapa tantangan yang pemerintah daerah hadapi seperti, pertama, lemahnya kapasitas sumber daya manusia dalam melakukan perhitungan pengurangan emisi GRK dan/atau pemantauan terhadap tingkat adaptasi dan kerentanan serta kelembagaan yang menangani perubahan iklim secara umum masih bersifat ad-hoc. Kedua, ketersediaan panduan dalam menerjemahkan strategi, rencana, program dan kegiatan yang bersifat transformatif serta pemilihan teknologi hijau yang tepat guna masih terbatas. Ketiga, belum adanya indikator yang seragam untuk melacak anggaran untuk program dan kegiatan yang sedang dijalankan serta kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan (hibah atau pinjaman) dari pihak ketiga.  

Narahubung Media: 

Lisa Wijayani, Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828 

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan, Yayasan Madani Berkelanjutan, anggi@madaniberkelanjutan.id, 08562118997 

Ari Mochamad, Country Manager, ICLEI Indonesia, ari.mochamad@iclei.org 

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, harmono@gmail.com

Related Article

Yuk Asuh Pohon Untuk Selamatkan Hutan

Yuk Asuh Pohon Untuk Selamatkan Hutan

Tentu kita semua sudah tahu mengapa hutan harus terus kita jaga. Iya, benar, karena hutan adalah paru-paru dunia, pusat bernafas dari semua yang ada di bumi ini. Dapat kita bayangkan jika hutan rusak. Maka sumber udara bersih akan hilang. Itu mengapa kita harus selalu menjaga hutan agar tetap lestari.

Lantas, apakah kita yang tinggal jauh dari hutan masih bisa ikut serta dalam menjaga hutan? Jawabannya tentu saja bisa. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk ikut menjaga hutan, meskipun kita tinggal jauh dari hutan. Salah satunya adalah dengan menjadi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh.

Apa itu Pohon Asuh?

Pohon Asuh adalah sebuah program penyelamatan hutan dengan metode Crowdfunding. Yakni sebuah bentuk pendanaan yang dikumpulkan dari banyak pihak secara kolektif. Lewat program pohon asuh inilah kemudian dananya digunakan untuk  memelihara dan melindungi hutan agar tetap lestari.

Program Pohon Asuh ini dipelopori oleh KKI Warsi, dan saat ini sudah dikembangkan di banyak wilayah dampingan Warsi. Seperti di Hutan Adat Rantau Kermas, di Kabupaten Merangin, Jambi. Juga di empat hutan nagari yang ada di Sumatera Barat, seperti hutan nagari di Simancuang, Kabupaten Solok Selatan, hutan nagari Sungai Buluh di Kabupaten Padang Pariaman serta Hutan Nagari Sirukam dan Simanau di Kabupaten Solok.

Pohon yang akan diasuh ini sebelumnya ditentukan terlebih dahulu, yaitu dipilih pohon yang memiliki diameter minimal 60 cm. Setelah ditentukan dengan GPS, kemudian datanya dimasukkan ke dalam website pohon asuh www.pohonasuh.org . Data pohon asuh di website inilah yang dapat diketahui oleh masyarakat luas. Kemudian masyarakat bisa memilih pohon asuhnya lewat website.

Di dalam website, pengasuh bisa memilih jenis pohon, letaknya dan juga jangka waktu berdonasinya. Bisa setahun atau lebih. Biayanya cukup murah. Hanya 200 ribu untuk satu pohon selama satu tahun. Dan jika sudah lewat waktunya, bisa diperpanjang lagi.

Pengasuh pohon akan dikabarkan letak pohon asuhnya, dan perkembangan pohon tersebut lewat email setiap enam bulan sekali. Jika telah lewat masa waktunya, pengasuh pohon akan diberikan kabar lewat email apakah akan memperpanjang lagi atau tidak. Pengelola akan mencantumkan nama pengasuh dan keterangan pohon yang telah diasuh dalam bentuk papan nama yang dipasang pada pohon yang diasuh.

Foto Pohon Asuh Nagari Sirukam. (Kiki Andianto @Yayasan Madani Berkelanjutan)

Kontribusi dari program pohon asuh ini selain digunakan untuk melakukan kegiatan penyelamatan hutan dengan mengembangkan perhutanan sosial hingga kegiatan patroli jaga hutan, juga digunakan untuk menunjang kerja masyarakat.

Program pohon asuh ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat Sumatera Barat dan Jambi saja, tetapi juga diikuti oleh masyarakat dari beragam kalangan. Daniel Mananta dan Dian Sastro juga menjadi contoh warga dan artis ibukota ikut serta dalam program pohon asuh. Pohon asuhnya terletak di Hutan Nagari Sirukam, Kabupaten Solok.

Bagi kamu yang tertarik lebih lanjut dengan program ini, kamu juga bisa menelisik lebih lanjut program pohon asuh ini di www.pohonasuh.org. Ayo Sobat Madani, pohon-pohon di sana telah memanggilmu untuk mengasuh mereka. Yuk, asuh pohon di pohon asuh!

Related Article

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

[Jakarta, 30 Agustus 2020] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi disetujuinya proposal pendanaan yang diajukan pemerintah Indonesia ke Green Climate Fund (GCF) dalam rangka pembayaran kinerja penurunan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi (REDD+). Dana GCF ini dapat menjadi peluang untuk mendorong pengakuan dan penguatan hak Masyarakat Adat dan lokal dalam mencapai komitmen iklim Indonesia. Dana GCF ini hendaknya betul-betul diprioritaskan untuk menurunkan deforestasi dan degradasi di tingkat tapak lewat penguatan Perhutanan Sosial dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kedua inisiatif ini dapat memperkuat hak tenurial masyarakat adat dan lokal serta berkontribusi pada pengurangan deforestasi dan degradasi hutan apabila dijalankan dengan baik berdasarkan pelibatan aktif para pemangku kepentingan.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan berkaitan Sidang Dewan Green Climate Fund (GCF) yang menyetujui proposal pembayaran berbasis hasil REDD+ Indonesia sebesar USD 103,8 juta. Proposal yang diajukan pemerintah Indonesia menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016 dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Kami menyambut baik bahwa dana yang diterima oleh Pemerintah Indonesia akan digunakan sesuai arahan Presiden untuk pemulihan lingkungan berbasis masyarakat. Untuk itu, implementasi program dan penyaluran dana ini harus benar-benar transparan dan program-program prioritas yang akan dijalankan harus dikonsultasikan secara luas dengan elemen organisasi masyarakat adat dan lokal serta masyarakat sipil,” kata Teguh.

Agar penyaluran dana betul-betul tepat sasaran, perlu dibentuk segera organ multi pemangku kepentingan dalam kelembagaan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan perwakilan organisasi masyarakat adat dan lokal serta organisasi masyarakat sipil. Selain itu, perlu ada kejelasan soal peran dan tanggung jawab kelembagaan program yang akan mengelola dana yang diterima, terutama untuk memberdayakan BPDLH yang akan beroperasi tahun ini,” tambah Teguh.

Program prioritas yang didanai harus betul-betul untuk memulihkan lingkungan berbasis masyarakat, termasuk untuk percepatan dan penguatan perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat. Program perhutanan sosial dan penguatan KPH juga harus disinergikan dengan program adaptasi-mitigasi perubahan iklim, restorasi gambut, rehabilitasi lahan kritis, dan pengurangan deforestasi serta degradasi yang merupakan aksi utama mitigasi NDC di sektor kehutanan,” kata Anggalia Putri Permatasari, Manager Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat peran KPH di tingkat tapak dengan mandat dan sumber daya untuk menyelesaikan konflik tenurial dan memfasilitasi upaya pencegahan dan penyelesaian pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal, juga untuk menegakkan aturan terhadap perizinan kehutanan.

Ada keprihatinan mendalam bahwa kemajuan pengakuan hutan dan wilayat adat sangat jauh dibandingkan dengan skema-skema perhutanan sosial lainnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi segera antara Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Peta Wilayah Masyarakat Adat serta dengan berbagai izin penggunaan atau pemanfaatan lahan lain terkait pembangunan,” tambah Anggalia Putri.

Pemerintah juga harus lebih aktif mendorong disahkannya RUU Masyarakat Adat yang akan memberikan pengakuan formal terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya, termasuk hak atas sumber daya hutan. Karena selain merupakan kewajiban konstitusi, memperkuat hak atas tanah dan ketahanan tenurial masyarakat adat dan lokal adalah kondisi pemungkin yang harus diwujudkan agar Indonesia berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mencapai komitmen iklim. [ ]

Kontak Media:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 856-21018-997

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

id_IDID