Madani

Tentang Kami

Isi Revisi PP Tak Lindungi Penuh

Isi Revisi PP Tak Lindungi Penuh

JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 dinilai belum melindungi penuh ekosistem gambut yang rentan rusak itu. Sebagai satu kesatuan lanskap hidrologis, celah peruntukan zona budidaya di area gambut akan merusak keseluruhan ekosistem jika tak dilakukan dengan hati-hati.

Penerbitan PP Nomor 57 Tahun 2016 merevisi PP No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. “Substansi PP Gambut versi revisi memupus harapan perlindungan total dan permanen, karena masih mengizinkan eksploitasi lahan gambut setelah penetapan zona lindung dan budidaya,” kata Muhammad Teguh Surya, pegiat Yayasan Madani, organisasi lingkungan dan kehutanan, Selasa (13/12), di Jakarta.

Zonasi itu ada di PP sebelumnya. Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang No 4252/2016 (28 September 2016) malah bersubstansi lebih kuat.

Surat edaran itu melarang pembukaan atau eksploitasi lahan gambut untuk usaha perhutanan atau perkebunan tanpa memandang zonasi atau batas waktu.

“Semangatnya seperti diinginkan Presiden Jokowi dan Menteri (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Siti Nurbaya, perlindungan total lahan gambut tanpa memandang kedalaman dan status zonasi tanpa ada batasan waktu (permanen),” ujarnya.

Kritik itu mengemuka pada diskusi Yayasan Madani, Epistema Institute, dan Huma, pekan lalu. Tiga organisasi sipil itu khawatir zona budidaya dieksploitasi sehingga merusak keseimbangan kesatuan hidrologis gambut.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK MR Karliansyah mengatakan, pemanfaatan zona budidaya tak boleh dengan cara pengeringan gambut. “Mari kita awasi pelaksanaannya bersama,” ujarnya.

Sanksi

Teguh Surya, aktivis Yayasan Madani, mengatakan, PP no 57 masih memberi kelonggaran sanksi bagi perusak ekosistem gambut. Pada pasal 31 dan 32, pertanggungjawaban perusak bisa mengalihkannya ke pemerintah jika dalam 30 hari tak memulihkan konsesi yang terbakar.

Dalam PP juga disebutkan, pemerintah bisa mengambil alih tanggung jawab pemulihan dengan membebankan biayanya pada perusak. Biaya pemulihan bisa dinegosiasikan dengan perusahaan yang arealnya terbakar.

“Sanksi seharusnya adalah tak kompromi pada perusak area gambut,” ucapnya. Sanksi administratif yakni pembekuan izin perusahaan dan biaya pemulihan langsung diberlakukan. (ICH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Desember 2016, di halaman 14 dengan judul “Isi Revisi PP Tak Lindungi Penuh”.

Related Article

Indonesia Beberkan Penurunan Emisi

Indonesia Beberkan Penurunan Emisi

MARRAKESH, KOMPAS — Indonesia membeberkan langkah-langkahnya saat diberi kesempatan berbicara dalam pertemuan tingkat tinggi Konferensi Perubahan Iklim Ke-22 di Marrakesh, Maroko. Jakarta pun berpandangan agar Perjanjian Paris dijalankan serius dan mencegah negosiasi ulang. Di sisi lain, Indonesia perlu lebih berani memimpin dalam menghimpun negara-negara dalam penerapan Persetujuan Paris.

“Indonesia menyiapkan pedoman untuk implementasi Perjanjian Paris. Penting bagi semua pihak untuk menjaga pemahaman keseimbangan demi mencegah dari renegosiasi perjanjian,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Rabu (16/11). Hal itu dipaparkan saat mewakili Indonesia memberikan pernyataan pada pertemuan tingkat tinggi Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) Ke-22, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Ichwan Susanto, di Marrakesh. Ia menunjukkan Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada 31 Oktober 2016 dan mendaftarkan komitmen penurunan emisi nasional pertama pada 6 November 2016. Hal itu dilakukan sebagai mandat konstitusi Indonesia terhadap perlindungan hak warga negara mendapat lingkungan sehat. “Kami berkomitmen meningkatkan aksi menuju 2020 dan mengimplementasikan komitmen pasca-2020,” ujarnya.

Sejauh ini, Indonesia menjalankan kebijakan yang memberikan dasar kuat bagi pelaksanaan Persetujuan Paris. Kebijakan itu antara lain penguatan kebijakan Satu Peta, pelaksanaan moratorium izin kehutanan pada hutan primer dan gambut, peninjauan ulang perizinan di rawa gambut, restorasi ekosistem gambut, dan alokasi 12,7 juta hektar perhutanan sosial.

Disusun bersama

Berbagai kebijakan itu disusun bersama para pengampu kepentingan, seperti akademisi dan masyarakat sipil. Itu agar langkah pemerintah seiring peningkatan kesejahteraan warga sekitar hutan di lebih dari 30.000 desa.

Siti menegaskan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan dan konservasi stok karbon REDD+). Di sektor energi, Indonesia membangun sumber energi bersih dan bauran energi 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050, penggunaan batubara 30 persen pada 2025, dan 25 persen pada 2050.

Menanggapi pidato Menteri LHK RI itu, Yayasan Madani berpandangan Indonesia sebagai negara kepulauan besar yang rentan terhadap bencana atau dampak perubahan iklim lupa menegaskan kendala besar dalam negosiasi. “Pemenuhan tanggung jawab historis negara maju menurunkan emisi domestik secara radikal, khususnya Pre 2020, karena fase itu menentukan untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius,” kata Muhammad Teguh Surya, aktivis Yayasan Madani, di Maroko.

Satu hal lagi, katanya, Indonesia seharusnya mendorong komitmen negara maju untuk mendukung adaptasi, terutama dari segi pembiayaan. Sebab, orientasi negara maju saat ini hanya pada keluaran mitigasi dalam Persetujuan Paris.

Kompas cetak, 17 November 2016

Related Article

Trump Bayangi Negosiasi Global

Trump Bayangi Negosiasi Global

Terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, dalam beberapa hal adalah mimpi buruk bagi gerakan lingkungan dan perubahan iklim. Melalui berbagai medium, para penggiat dan organisasi masyarakat mengingatkan agar dunia bersiap kembali dalam ketidakjelasan. Sementara dampak perubahan iklim terus menggerus.

Mimpi buruk itu dipicu pernyataan-pernyataan Trump saat berkampanye ataupun rencana program 100 harinya. Dalam kampanyenya, ia menyebut perubahan iklim adalah berita bohong (hoax) yang disebarkan Tiongkok.

Secara terbuka, ia menegaskan akan membatalkan semua executive order (semacam keputusan presiden) yang dikeluarkan Presiden Barack Obama, termasuk di antaranya langkah AS yang telah meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement), 3 September 2016.

Persetujuan Paris yang dihasilkan dari COP-21 di Paris, Perancis, 30 November – 12 Desember 2015, disebut-sebut terobosan baru dunia untuk bergotong royong menekan laju kenaikan suhu global tetap di bawah 2 derajat celsius atau bila memungkinkan 1,5 derajat celsius pada abad ini. Itu dibanding suhu era Revolusi Industri tahun 1850-an.

Tanggal 4 November 2016 atau empat hari sebelum pergelaran COP-22 Konferensi Perubahan Iklim di Marrakesh, Maroko, Persetujuan Paris dinyatakan berlaku. Lebih cepat lima tahun dari perkiraan.

Cepatnya proses ratifikasi itu tak lepas dari langkah AS yang mengemisi 17,56 juta giga ton (2010) setara CO2 turut bergabung dan berkomitmen menurunkan emisi hampir sepertiganya (26-28 persen) dibanding emisi 2005 pada tahun 2025. Selain itu, Tiongkok pun tak terduga meratifikasi dan berkomitmen meratifikasi dan berkomitmen menurunkan emisinya.

Bila dijumlahkan, emisi kedua negara ditambah negara lain itu setara 55 persen emisi gas rumah kaca global. Itu memenuhi syarat memencet tombol berlakunya Persetujuan Paris.

Menurut Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, sangat memungkinkan Trump benar-benar menjalankan kebijakan menarik diri dari ratifikasi Persetujuan Paris. Bila itu terjadi, meski tak sama persis, itu mengingatkan langkah Presiden AS George W Bush yang menolak bergabung dalam Protokol Kyoto 1997.

Dalam janjinya, Trump pun menyatakan akan menghapus pajak-pajak untuk program perubahan iklim. Dana-dana itu yang juga banyak masuk ke Indonesia melalui berbagai lembaga donor.

Trump juga akan menghidupkan lagi industri pembangkit listrik batubara yang oleh Presiden Obama mulai ditinggalkan secara bertahap menuju pembangkit listrik bersih. Ia juga akan meningkatkan produksi minyak dan gas.

Di sela-sela COP-22 di Maroko, negosiator AS menolak memberikan keterangan kepada pers terkait kekhawatiran itu. Namun, dua pekan sebelumnya, pihak AS berharap konferensi tetap berjalan sesuai jadwal tanpa terpengaruh keputusan Washington.

Masa sulit

Greenpeace Internasional secara resmi menyatakan, AS sedang menghadapi masa sulit. “Greenpeace dan jutaan orang di dunia memiliki kekuatan memerangi perubahan iklim. Mari gunakan momen ini untuk mengumpulkan energi perlawanan terhadap perubahan iklim dan demi hak asasi manusia di seluruh dunia.” tulis Annie Leonard, Direktur Eksekutif Greenpeace AS.

Fabby Tumiwa, anggota Delegasi Republik Indonesia, dihubungi Kamis (10/11), di Marrakesh, mengatakan, Trump punya waktu tiga tahun bila memutuskan keluar dari Persetujuan Paris. “Sepertinya akan ada perubahan posisi negosiasi AS dalam perundingan iklim tahun depan (COP-23), setelah Trump efektif dilantik jadi presiden bulan Januari 2017,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform itu.

Ia menduga AS akan sulit menjalankan dukungan pendanaan, pengembangan kapasitas, dan transfer teknologi seperti tercantum dalam Persetujuan Paris. Bila itu terjadi, dikhawatirkan pelaksanaan Persetujuan Paris akan terhambat.

“Jika AS menarik diri dari kesepakatan itu, akan sulit bagi dunia mencapai target di bawah dua derajat celsius mengingat emisi AS signifikan,” katanya. Berita baiknya, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara bagian di AS punya kebijakan progresif dalam perubahan iklim dan penggunaan energi bersih. Jika pemerintah negara bagian konsisten, kemungkinan bisa mengurangi “efek Trump” pada emisi global.

Pandangan sisi optimistis disampaikan Giorgio Budi Indrarto, aktivis Yaysan Madani. Ia melihat gaya penolakan terhadap perubahan iklim yang diserukan Trump saat berkampanye merupakan upaya mendulang suara. Antara janji kampanye dan implementasi saat terpilih bisa berbeda.

Dicontohkan, saat berkampanye 2008, saat periode kedua, Obama menyerukan penutupan kamp Guantanamo. Hingga kini, kamp iu masih beroperasi.

“Trump akan tetap jadi climate denial sejati, tapi bobotnya akan sangat berbeda dengan saat kampanye. Sekarang dia akan menggunakan diplomasi etis, artinya program iklim pasti akan berdampak. Tapi, bukan berarti hangus rata tanah,” ujarnya.

Sebagai pengusaha yang kini menjadi presiden, Trump diperkirakan melihat peluang bisnis global dalam upaya pembangunan ramah iklim. Apalagi, AS selama ini telah menjadikan iklim sebagai bisnis.

Perundingan global terus berlanjut. Presiden baru negara adidaya pun telah terpilih. Sedikit banyak, negosiasi iklim global akan terpengaruh.

Kompas cetak, 11 November 2016

Related Article

id_IDID