Madani

Tentang Kami

Hutan dan Milenial

Hutan dan Milenial

Peneliti Muda Yayasan Madani BerkelanjutanTak dapat dimungkiri bahwa narasi tentang hutan beserta segudang permasalahannya yang begitu kompleks, agaknya terpinggirkan dalam dilalog milenial kekinian, baik daring (dalam jaringan/online) maupun offline.

Hal tersebut terjadi lantaran secara konteks maupun konten, persoalan hutan dinilai terlalu ilmiah, advokatif, atau lebih sederhananya, berat untuk dinikmati oleh milenial atau juga lebih tepatnya disebut kurang populis. Oleh karena itu wajar jika persoalan hutan hanya dilirik oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja, seperti halnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti atau akademisi, maupun pihak pemerintah itu sendiri. Padahal seharusnya, persoalan hutan menjadi persoalan sosial yang teramat krusial untuk diperhatikan, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Membicarakan hutan, artinya kita sedang membicarakan “alam”, dan alam menyangkut kehidupan.

Selain karena konteks dan konten yang kurang populis, milenial juga menganggap bahwa permasalahan hutan adalah murni persoalan yang harus dituntaskan oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan.

Anggapan demikianlah yang membuat akhirnya muncul apatisme terhadap hutan dari kalangan milenial. Sungguh sangat disayangkan, jika milenial apatis terhadap hutan, karena pada dasarnya, milenial adalah generasi penerus bangsa yang akan menikmati hutan dan lingkungan di masa yang akan datang.

Dalam konteks tersebut, Madani Berkelanjutan, ingin sekali mengajak milenial untuk aktif memperhatikan hutan dalam konteks apapun sehingga hutan di masa depan yang akan dinikmati oleh milenial itu sendiri, tetap lestari. Madani yakin milenial adalah investasi penyelamat dan perlindung hutan di Tanah Air.

Segudang Permasalahan Hutan

Permasalahan hutan sejatinya erat dengan kehidupan manusia maupun banyak mahkluk hidup lainnya. Jika hutan dibabat tanpa pertimbangan yang matang, risikonya bukan hanya bertampak pada populasi satwa di dalamnya, tapi juga akan bertampak kepada perubahan iklim dunia.

Bukan hanya itu, persoalan yang paling dekat dengan hidup kita saat ini, adalah terkait polusi udara akibat dari hilangnya banyak hutan kita. Terburuk, polusi udara yang rutin hadir menyapa kita dalah polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas karhutla sejak Januari-Juli 2019 mencapai 135.747 hektare. Karhutla itu terdiri dari lahan gambut seluas 31.002 hekatre dan lahan mineral 1047.746 hektare. Mendiang Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho pernah mengungkap fakta, luas area karhutla yang terjadi tahun 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali.

Pernyataan tersebut berdasarkan pada data Terra Modis per 20 Oktober 2015 silam, dengan total hutan dan lahan yang terbakar sebesar 2.089.911 hektare. Terkait Karhutla sendiri, Madani Berkelanjutan pun menghimpun data, sepanjang Januari hingga Juli 2019, tercatat ada 35.945 titik panas di Indonesia. Persoalan ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Ingatkah anda, belum lama ini warga DKI Jakarta dipaksa untuk menikmati udara yang tak layak. Benar jika Gubernur DKI Jakarta menyebut bahwa udara yang tak layak yang kian mengkhawatirkan tersebut disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor di beberapa ruas jalan maupun di tol ketika terjadi kemacetan. Namun, di sisi lain, persoalan minimnya ruang terbuka hijau di ibu kota juga menjadi penyebab utamanya.

Narasi Hutan

Pada kenyataannya, Milenial yang melek teknologi yang artinya juga aktif berselancar di media sosial, lebih melirik isu-isu seputar ekonomi, maupun politik yang tersaji di dalam gawai mereka. Hal itu disebabkan oleh prilaku dan pola pikir milenial yang gemar dengan hal-hal mikro seperti halnya perekonomian yang disajikan melalui isu seperti e-commerse, teknologi finansial, rupiah, dan banyak persoalan finansial lainnya.

Sama halnya dengan isu politik. Dalam kasus ini, apa yang disajikan di depan panggung (front stage) politik seperti halnya kontestasi pemilihan umum atau juga kasus korupsi yang dikemas dengan begitu menarik, membuat timbul keyakinan pada milenial bahwa keterlibatan mereka dalam isu tersebut begitu penting karena efeknya akan berdampak kepada diri mereka sendiri.

Sederhananya, milenial akan mengeluarkan sikapnya maupun mengekpresikan apa yang mereka pikirkan ketika sebuah permasalahan terasa begitu dekat dan akan memengaruhi kehidupan mereka ke depan.

Sedangkan isu hutan itu sendiri, selama ini belum dikemas dengan menarik ketika disajikan di panggung depan. Menjadi wajar jika milenial kurang tertarik pada isu-isu hutan yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Alhasil, milenial terkesan abai saat permasalahan hutan dan lingkungan begitu mengkhawatirkan.

Aksi Milenial

Jika kita berpatokan dalam konteks marketing, maka esensinya, sebuah produk yang akan dipasarkan haruslah sesuai dengan selera dari pasar itu sendiri. Ketika hutan tidak begitu dilirik oleh milenial, artinya produk hutan yang selama ini dipasarkan “kurang milenial”. Oleh karena itu, isu-isu terkait hutan perlu “diekstrak” atau disulap, atau bahkan “direcehkan” sedemikian rupa agar menarik bagi milenial.

Hemat saya, ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk membuat hutan lebih milenial yang artinya hutan yang sesuai dengan target pasar yakni milenial. Pertama, pendidikan kehutanan. Gerakan dasar yakni menyadarkan milenial untuk peduli kepada hutan adalah gerakan prioritas yang harus dilakukan. Oleh karena itu, penting dirancang sebuah Pendidikan kehutanan secara masih, bahkan jika perlu pendidikan tersebut masuk dalam kurikullum pembelajaran.

Kedua, kampanye milenial. Pola komunikasi yang menarik tentu menjadi bagian penting untuk menggaet milenial agar terlibat aktif menjaga dan melestarikan hutan. Pemerintah, LSM, maupun stakeholder yang berkepentingan terkait hutan, wajib melakukan kampanye yang menarik dan tentunya ala milenial khususnya di media sosial. Misalnya saja melalui berbagai konten menarik seperti video singkat (vlog) tentang hutan yang dikemas dengan bahasa yang akrab dengan milenial, kemudian bisa juga melalui iven olahraga seperti iven “run to forest”, atau kampanye nol sampah plastik, dan metode kampanye lainnya.

Madani Berkelanjutan sendiri menyentuh milenial melalui media sosial khususnya Instagram dengan pola komunikasi yang “receh”. Di media sosial, Madani Berkelanjutan tampil dengan design menarik, kegiatan yang interaktif, serta menggunakan bahasa-bahasa yang akrab dengan milenial.

Ketiga, kolaborasi. Permasalahan hutan sejatinya bukan hanya urusan pemerintah saja, tapi urusan semua orang yang hidup sampai saat ini. Oleh karena itu, setiap persolan hutan yang terjadi, harus dituntaskan dengan kolaborasi. Pemerintah dapat melakukan tugasnya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kelestarian hutan. Sedangkan, private sector harus selalu berpedoman kepada analisis dampak lingkungan (amdal) ketika melakukan ekspansi bisnis yang bersangkut paut dengan hutan dan alam.

Dalam hal ini, tugas milenial adalah berkolaborasi dengan membawa ide-ide kreatif tentang penyelamatan hutan dan alam. Ide-ide segar ala milenial, diharapkan mampu mendobrak bahkan meruntuhkan stigma tentang hutan yang kurang dilirik milenial.

Kini, sudah saatnyalah, milenial berwawasan hutan dan lingkungan. Pasalnya, milenial dan hutan adalah investasi bagi kehidupan bangsa ke depan. Inilah momentum, hutan menjadi milenial yang artinya segala sesuatu tentang hutan menarik bagi milenial. Isu-isu tentang hutan sudah seharusnya diangkat dengan mengikuti tren yang berkembang, hal dilakukan tersebut agar hutan lebih diperhatikan.

Oleh Delly Ferdian

Artikel ini telah dimuat di Harian Haluan edisi 10 September 2019.

Related Article

id_IDID