Madani

Tentang Kami

Evaluasi 6 Tahun Moratorium Hutan: Jutaan Hektar Hutan Raib, Tidak Transparan, Perhutanan Sosial Terancam, Hak Masyarakat Adat Tak Terlindungi

Evaluasi 6 Tahun Moratorium Hutan: Jutaan Hektar Hutan Raib, Tidak Transparan, Perhutanan Sosial Terancam, Hak Masyarakat Adat Tak Terlindungi

Jakarta, 4 Mei 2017 – Sedikitnya 2,7 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut atau setara dengan 5 kali luas Pulau Bali raib selama enam tahun pelaksanaan kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Pada periode yang sama, setiap tahunnya 28 % titik api telah menghancurkan kawasan hutan yang dilindungi dalam peta Moratorium.

Demikian temuan yang mengkhawatirkan dari pelaksanaan kebijakan Moratorium yang diungkap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global hari ini di Jakarta. Temuan itu menunjukkan selama enam tahun kebijakan berjalan, telah terjadi pengurangan luasan wilayah penundaan izin baru seluas 2,701,938 hektar. Ironinya, luasan wilayah itu tidak diketahui kemana dialihfungsikan.

“Logika kebijakan perlindungan hutan dan gambut dalam Moratorium ini seharusnya luasan hutan dan gambut yang diselamatkan bertambah, namun sebaliknya justru berkurang dengan alasan dan proses yang tidak jelas. Tidak adanya transparansi menjadi faktor utama kebijakan ini tidak efektif,” ungkap Linda Rosalina dari Forest Watch Indonesia.

Lebih dari dua dekade, bencana lingkungan akibat hancurnya hutan telah berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan gambut pada triwulan terakhir tahun 2015 adalah yang terparah sepanjang sejarah. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut dengan mengeluarkan INPRES Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku selama 2 tahun. Kebijakan ini diperpanjang dengan terbitnya INPRES Nomor 6 tahun 2013 dan kemudian diperpanjang lagi oleh INPRES Nomor 8 tahun 2015 tanpa ada penguatan substansi perlindungan.

“Praktiknya, meskipun telah diterapkan selama 6 tahun, kebijakan tersebut belum mampu mengatasi permasalahan terkait tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan diberlakukan secara parsial dan belum berdampak signifikan terhadap upaya penyelamatan hutan alam dan gambut yang tersisa,” kata Yustina Murdiningrum dari Epistema Institute.

Zainuri Hasyim dari Kaoem Telapak turut menegaskan, selama tahun 2015 terdapat 69.044 titik api secara nasional. Sekitar 31 persen atau 21.552 titik api justru terdapat di wilayah yang dinyatakan dilindungi dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin Baru (PIPPIB). Sementara rata-rata sebaran titik api di wilayah PIPPIB dari tahun 2011 sampai dengan 2016 adalah sekitar 28,5% dari sebaran titik api nasional. Bahkan trend titik api cenderung meningkat.

Sementara itu dari PIPPIB Revisi I sampai dengan Revisi XI, tutupan hutan dalam PIPPIB mengalami pengurangan seluas 831.053 hektare. Hal ini berarti kebijakan tersebut belum mampu menghentikan deforestasi bahkan di dalam wilayah moratorium (PIPPIB) itu sendiri. Hal lain adalah masih adanya wilayah kelola rakyat dalam skema perhutanan sosial yang masuk ke dalam wilayah PIPPIB. Hal ini berpotensi mengganggu izin kelola yang masih berlaku dan yang akan diajukan sehingga akan menghambat tercapainya target perhutanan sosial. “Masih terjadi alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan megaproyek. Ini akan mengancam bukan saja hutan dan gambut itu sendiri namun juga hak-hak masyarakat adat dan lokal,” kata Yoseph Watopa dari Yali Papua.

Kebijakan ini belum mampu mengatasi deforestasi dan berbagai permasalahan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Kenapa?

  1. Sebagai dokumen non-legislatif, INPRES tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan;
  2. Tidak dilibatkannya Kementerian Pertanian dan Kementerian ESDM dalam INPRES No. 10 Tahun 2011, INPRES No.6 Tahun 2013 dan INPRES No. 8 Tahun 2015. Ekspansi perkebunan dan tambang yang menggerogoti kawasan hutan seharusnya menjadi alasan untuk memasukkan kedua kementerian tersebut sebagai pihak yang mendapat instruksi ini;
  3. Kebijakan ini masih mengecualikan hutan sekunder dengan tutupan yang masih bagus dari perlindungan sehingga sebagian besar cakupannya adalah hutan lindung dan konservasi yang sebenarnya sudah dilindungi undang-undang;
  4. Membuat berbagai pengecualian yang melemahkan tujuan penundaan pemberian izin baru. Seperti contoh, mengecualikan hutan yang telah memperoleh ‘izin prinsip’, pengecualian lahan yang dibutuhkan untuk proyek vital pembangunan, tidak melarang perpanjangan izin untuk eksploitasi hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan selama izin usaha tersebut masih berlaku;
  5. Belum adanya transparansi dan keterbukaan informasi publik tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, misalnya belum ada keterbukaan peta hutan dan masih belum terbukanya proses revisi PIPPIB;
  6. Perbedaan tafsir mengenai kategori lahan gambut antara pemerintah daerah dan unit pelaksana teknis KLHK sehingga lahan gambut yang seharusnya dimasukkan ke dalam PIPPIB justru dikeluarkan pada revisi PIPPIB berikutnya.



Keberadaan hutan sangat penting bagi keberlangsungan ekonomi Indonesia dan menjadi benteng terakhir untuk memitigasi bencana lingkungan dan iklim global. Menyadari hal tersebut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global memberikan dukungan penuh kepada Presiden Indonesia untuk melanjutkan komitmen perlindungan hutan dan ekosistem gambut dengan basis hukum yang lebih kuat (Peraturan Presiden).

Untuk itu pula Presiden didesak untuk dapat bersama-sama pemangku kepentingan lainnya mengambil tindakan strategis, berupa:

  • Menyusun Peta Jalan Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020;
  • Membuat Rencana Aksi Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020;
  • Memantau jalannya implementasi dari Rencana Aksi Menuju Indonesia Bebas Deforestasi Tahun 2020;
  • Mempercepat terbitnya Kebijakan Satu Peta;
  • Melakukan evaluasi perizinan terintegrasi;
  • Melakukan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa alternatif.



“Enam langkah strategis tersebut merupakan indikator positif dan kuat yang dapat terukur dari Pemerintah Indonesia kepada dunia sebagai wujud komitmen menghentikan laju pengrusakan hutan hujan tropis seperti janji Presiden Jokowi di Paris 2015 lalu,” kata Teguh Surya dari Yayasan Madani Berkelanjutan.

***Selesai***

Narahubung:
Linda Rosalina (FWI), +6285710886024
Yustina Murdiningrum (Epistema Institute), +6282226540885
Zainuri Hasyim (Kaoem Telapak), +62 811-754-409
Yoseph Watopa (Yali Papua), +6281344835232
Teguh Surya (Yayasan Madani Berkelaniutan), +6281915191979

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global

Madani I Kaoem Telapak I FWI I Epistema I JKPP I Pusaka I WRI Indonesia
Greenpeace Indonesia I JPIK I Sawit Watch I Kemitraan
Aksi! for Gender I Walhi Kalteng I Paradisea I YCMM I HuMA I DebtWatch I
Yayasan Merah Putih I WARSI I Silva Papua I YALI Papua I PTPPMA Papua
I KpSHK I Lembang Nusa Kalimantan Barat I ELSAM

Related Article

Skema Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Harus Dirancang Ulang

Skema Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Harus Dirancang Ulang

Selasa, 21 Maret 2017,
Bersamaan dengan Hari Hutan Sedunia, kami kelompok perwakilan masyarakat sipil menyatakan sikap bersama terkait industri kelapa sawit yang berkelanjutan Indonesia melalui sebuah kertas posisi sebagai bentuk partisipasi aktif dan transparan dalam proses ‘penguatan’ yaitu pembenahan mendasar terhadap sistem sertifikasi industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang saat ini sedang diupayakan oleh Pemerintah.

Kertas posisi tersebut disusun untuk mendukung agenda Indonesia dalam (i) menjawab tantangan mitigasi perubahan iklim dan perbaikan tata kelola sumber daya alam melalui kerangka kebijakan dan implementasinya, (ii) meningkatkan keberterimaan pasar dari kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis serta (iii) menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM.

Bahwa transformasi kelapa sawit bekelanjutan Indonesia harus berlandaskan visi bersama untuk: Menghentikan laju deforestasi pada tutupan hutan yang tersisa dan degradasi terhadap fungsi lingkungan serta keanekaragaman hayati di dalamnya; Menghentikan alih fungsi dan meningkatkan perlindungan hutan serta perlindungan total ekosistem lahan gambut; dan Memberikan jaminan hukum atas terjaganya hak masyarakat terdampak, termasuk namun tidak terbatas pada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, pekebun rakyat dan pekerja, secara nyata dan konsisten.

Buruknya kredibilitas dan akuntabilitas dalam implementasi sertifikasi ISPO saat ini, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran telah merugikan lingkungan dan menimbulkan konflik antara masyarakat dan perkebunan kelapa sawit, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya keberterimaan pasar atas ISPO.

Pada bulan April 2016, Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk melakukan moratorium sawiti yang seharusnya dapat menghentikan alokasi ekspansi lahan sawit, baik untuk perusahaan maupun dengan dalih keperluan ‘pekebun rakyat’. Saat ini, kelompok bisnis dan pendukungnya terus berupaya dengan keras agar prinsip-prinsip yang akan diterapkan nantinya, tidak mempersulit rencana perluasan kebun sawit dan selalu menggunakan dalih ‘pekebun rakyat’ dan isu-isu nasionalisme yang tidak kuat dasarnya sebagai pelindung ketika terjadi kritik bagi perbaikan industri sawit di Indonesia. Sangat disayangkan bahwa dalam proses perjalanan penguatan ISPO tersebut, juga terjadi pengabaian kesepakatan dan masukan kelompok masyarakat sipil terkait substansi prinsip dan standar ISPO, termasuk penghilangan 2 (dua) prinsip, yaitu; keterlusuran dan transparansi serta menghargai Hak Azasi Manusia. Situasi tersebut telah mencederai proses multi-pihak yang tengah berlangsung.

Perbaikan sistem sertifikasi ISPO harus dilakukan menyeluruh melalui proses rancang ulang yang partisipatif, inklusif, transparan dan akuntabel. Sistem sertifikasi ISPO yang baru harus mencakup standard keberlanjutan yang kuat (robust) dan tata laksana yang menjamin kredibilitas dan akuntabilitas. Sistem sertifikasi ISPO harus diikuti dengan penegakan hukum yang efektif serta kerangka kebijakan komprehensif untuk memastikan tercapainya perbaikan tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.

Untuk itu kami menyatakan sikap sebagai masukan secara terbuka kepada Pemerintah, agar bisa diketahui oleh publik dan keperluan pemantauan oleh masyarakat.

### Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) – Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)-
Forest Watch Indonesia (FWI) – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan
(JPIK) – Kaoem Telapak – Yayasan Sumberdaya Dunia Indonesia –
Greenpeace Indonesia – Yayasan Madani Berkelanjutan – Institute for Ecosoc
Rights -GAIA – Tropical Forest Foundation (TFF) -Padi Indonesia, Kalimantan
Timur – Jasoil, Papua Barat – Uno Itam, Aceh – Lembaga Tiga Beradik (LTB)
Jambi – Evergreen, Sulawesi Tengah – Yayasan Pusaka – Sayogyo Institute –
Indonesia Center for Environmental Law – Kemitraan – GeRak Aceh – Stabil
Kalimantan Timur – MATA Aceh – Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan –
PPLH Mangkubumi – JAPESDA Gorontalo – GRID Kalimantan Barat – LPMA
Borneo, Kalimantan Selatan – Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh (PeNA), Aceh –
Jikalahari, Riau

Narahubung: Soelthon G. Nanggara, sulton@fwi.or.id, 0856 4963 8037
Marcel Andry, andry.spks@gmail.com, 0813 1460 5024
Herryadi, herryadi@lei.or.id, 0813 87059920
Mardi Minangsari, minangsari@gmail.com, 0818 100 930
Isna Fatimah, fatimahisna.r@gmail.com, 0813 1923 0279

Related Article

Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan

Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan

Siaran Pers Bersama

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati HAM dan Lingkungan Hidup

“Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan”

 

(Rabu, 17 Mei 2017) Proses penyusunan RUU Perkelapasawitan kembali bergulir. Pada 4 April 2017 lalu Badan Legislasi DPR-RI menggelar proses pembahasan penyusunan RUU Perkelapasawitan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi RUU tentang Perkelapasawitan. Dalam forum tersebut, dinyatakan bahwa RUU Perkelapasawitan ditujukan sebagai Lex Specialis dari UU Perkebunan yang sudah ada. RUU ini juga bertujuan memberi perlindungan terhadap komoditas kelapa sawit dari negara-negara lain. Hal lain yang juga mengejutkan adalah bahwa DPR mengatakan perlu adanya pemahaman di masyarakat dan juga pecinta lingkungan, bahwa kelapa sawit tidak menimbulkan degradasi lahan dan juga pengkonsumsi air tanah terbanyak.

Dimulainya kembali pembahasan RUU Perkelapasawitan ini menunjukkan ketidakpahaman anggota parlemen atas persoalan perkebunan kelapa sawit selama ini.

Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian 2015-2019 dinyatakan bahwa permasalahan terkait sektor pertanian secara keseluruhan adalah: 1) kerusakan lingkungan dan perubahan iklim; 2) infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; 3) kepemilikan lahan; 4) sistem perbenihan dan perbibitan nasional; 5) akses petani terhadap permodalan kelembagaan petani dan penyuluh; keterpaduan antar sektor, dan kinerja pelayanan birokrasi pertanian. Ini setidaknya mencerminkan kesesuaian dengan isi Resolusi yang dikeluarkan Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, European Parliament, yang melarang biodiesel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, bahkan pelanggaran HAM. Mayoritas anggota Parlemen Eropa pun menyetujuinya.

Alih-alih memperbaiki tata kelola dan mengkaji ulang praktik usaha perkebunan kelapa sawit selama ini, DPR RI justru menggulirkan RUU Perkelapasawitan yang penuh kontroversi di dalamnya. RUU ini disepakati DPR RI pada Januari 2017 sebagai RUU Prioritas 2017.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati HAM dan Lingkungan Hidup menyusun kertas kebijakan khusus untuk menyikapi RUU Perkelapasawitan yang terus bergulir di DPR. Kertas Kebijakan “Mengapa Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan” ini memaparkan tujuh alasan mengapa pemerintah harus menolak dilanjutkannya pembahasan RUU yang digagas oleh DPR ini.

Pertama, alih-alih membela kepentingan nasional, isi RUU ini lebih melindungi kepentingan korporasi penguasa industri kelapa sawit yang sebagian besarnya adalah asing. Saat ini, pemegang saham perkelapasawitan terbesar di Indonesia adalah Malaysia, diikuti oleh Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Bermuda, Brazil, Kanada, Prancis, dan Belanda. Pemegang surat hutang/obligasi terbesar adalah Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Inggris, Prancis, Denmark, Jerman, Jepang, dan Italia. Sementara itu, pemberi pinjaman terbesar di industri ini adalah Malaysia, Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, Jepang, dan Jerman.

Kedua, Undang-Undang khusus untuk mengatur kelapa sawit secara spesifik tidaklah diperlukan karena sebagian besar norma yang terkandung dalam RUU Perkelapasawitan sudah diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dan Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“RUU ini berpotensi menimbulkan konflik norma dalam peraturan pelaksanaannya dan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak hanya bagi masyarakat terdampak, tapi juga bagi pelaku usaha itu sendiri,” ujar Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). ”Daripada menghabiskan uang rakyat untuk membentuk satu undang-undang baru, lebih baik segera selesaikan berbagai peraturan turunan tentang kelapa sawit yang dimandatkan UU Perkebunan.”

Ketiga, RUU Perkelapasawitan berpotensi memporak-porandakan fungsi dan ketetapan yang telah diatur dalam berbagai UU lain. Pasalnya, RUU ini ‘menyunat’ sanksi pidana untuk pelanggaran dan penggunaan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan, keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup, dari penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal 5 miliar menjadi hanya maksimal 1 tahun 4 bulan dan denda maksimal 145 juta.

Keempat, RUU ini berpotensi kuat mengangkangi berbagai kebijakan pemerintah untuk melindungi lingkungan dan hak-hak masyarakat. RUU ini berorientasi kuat untuk memfasilitasi kepentingan asing dan mempertahankan status quo atas dominasi penguasaan lahan di Indonesia, juga pada pembukaan lahan baru dan mengizinkan pengelolaan sawit di lahan gambut yang dilindungi. Dengan begitu, RUU ini jelas bertentangan dengan komitmen Jokowi untuk menjalankan reforma agraria, rencana kebijakan moratorium sawit, dan kebijakan perlindungan total lahan gambut yang dicanangkan Presiden.

Kelima, RUU ini lebih memberikan hak istimewa bagi para pengusaha besar dibandingkan pada kesejahteraan petani kecil dan buruh kelapa sawit.

“Kepentingan Indonesia saat ini adalah jaminan hukum bagi buruh, pekerja, dan petani kecil yang bekerja dan terlibat dalam bisnis kelapa sawit, bukan justifikasi kepada korporasi- korporasi besar untuk merampas tanah rakyat dan masyarakat adat,” tegas Wiko Saputra (AURIGA). Ia mengingatkan bahwa RUU ini tidak memuat ketentuan yang mengatur secara tegas bahwa masyarakat hukum adat dapat menolak lahannya untuk dialihkan menjadi areal kelapa sawit.

Keenam, RUU ini berpotensi memperburuk konflik lahan dan sosial di sektor perkebunan. Data Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha dan konflik perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25%); sengketa non lahan sebanyak 185 kasus (25,05%); dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2%). Di tengah keadaan maraknya konflik lahan tersebut, kehadiran RUU Perkelapasawitan yang akan melegalkan perkebunan ilegal skala besar sungguh tak masuk di nalar.

“RUU ini mengabaikan prinsip-prinsip penghormatan HAM di sektor perkebunan. Peraturan terkait sawit yang ada saat ini seharusnya mengadopsi ketentuan uji tuntas hak asasi manusia sebagai satu bentuk implementasi dari pilar “penghormatan” dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights,” ujar Andi Muttaqien dari ELSAM.

Terakhir, RUU ini akan mengancam hutan dan gambut Indonesia yang tersisa dengan cara memutihkan dan melindungi aktivitas ilegal di kawasan hutan. RUU ini berpotensi menegasikan Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP Perlindungan gambut menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu. Namun, hal ini takkan berlaku manakala RUU Perkelapasawitan disahkan menjadi Undang-undang.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati HAM dan Lingkungan Hidup mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan tata kelola sawit dengan cara yang tidak menimbulkan permasalahan baru.

“Kami meminta kepada pemerintah dan DPR, yang mendesak untuk dilakukan saat ini adalah penghentian izin baru di kawasan hutan, kaji ulang legalitas lahan perkebunan yang sudah ada, audit HAM, dan penguatan masyarakat terdampak, termasuk pekebun rakyat, buruh, masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal,” tutup Teguh Surya dari Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Narahubung:

  1. Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi ELSAM) – 08121996984, andi@elsam.or.id
  2. Mansuetus Darto    (Ketua   Serikat   Petani    Kelapa   Sawit    –    SPKS),   082110277700, darto.spks@gmail.com
  3. Wiko Saputra (Peneliti Kebijakan Ekonomi AURIGA Nusantara), 082124666788
  4. Henri Subagiyo (Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law – ICEL), 1. 081585741001, henrisubagiyo@gmail.com
  5. Nurhanuddin Ahmad        (Deputy        Direktur        Sawit        Watch),        08128748726, rambo@sawitwatch.or.id
  6. Teguh Surya,    Direktur    Eksekutif    Yayasan    Madani    Berkelanjutan,    081915191979, teguh.surya@madaniberkelanjutan.id

 

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati Lingkungan Hidup dan HAM :

Madani | ICEL | Epistema Institute | AMAN | ELSAM | Pusaka | Kaoem Telapak | FWI | HuMA | Greenpeace | Auriga | JPIK

Related Article

id_IDID