Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (8 Juni- 14 Juni 2021), berikut cuplikannya:
1. Pemerintah Bakal Membuat Omnibus Law Bidang Digital
Pemerintah berencana membuat omnibus law yang mengatur dunia digital dalam negeri. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, rencana pembuatan omnibus law bidang digital ini merupakan tindak lanjut setelah menerima laporan dari Badan Intelijen Negara (BIN) merujuk studi kasus yang terjadi di sejumlah negara.
BIN sendiri menyatakan, banyak serangan intelijen terhadap pertahanan negara.Selain itu, BIN menemukan sejumlah klaster yang memproduksi hoaks secara sistematis yang bisa membahayakan masyarakat dan negara.
UU ini akan mengatur perlindungan data konsumen, perlindungan data pribadi, transaksi elektronik dalam bentuk uang, hingga transaksi berita. Selain itu, omnibus law bidang digital juga dapat memperkuat pertahanan negara di bidang siber, termasuk mengantisipasi serangan intelijen. Adapun UU yang akan diintegrasikan adalah UU Perlindungan Data Pribadi, Rancangan UU Keamanan dan Ketahanan Siber, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan peraturan sektoral lainnya.
Nantinya, aturan omnibus law itu juga mengacu pada Rancangan Kitab Undang-Uundang Hukum Pidana (RKUHP). Ia pun memastikan, rancangan UU omnibus law ini akan dilakukan dalam jangka panjang.
2. Draf RUU KUHP
Setelah pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda akibat demonstrasi penolakan besar-besaran pada 2019, pemerintah dan DPR kembali berusaha meloloskan RUU ini. Sejumlah pasal bermasalah tetap dipertahankan, termasuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden.
Ketentuan bermasalah itu terletak di Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tepatnya Pasal 218 ayat 1 dan berbunyi: “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Ancaman penjara tersebut meningkat menjadi empat (4) tahun enam (6) bulan jika penghinaan itu dilakukan melalui media elektronik.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan menghidupkan kembali ketentuan itu tidak akan mengakibatkan kriminalisasi terhadap kritik warga. Menurut dia, pasal itu diatur untuk melindungi presiden dan wakil presiden dari penghinaan yang sifatnya personal, bukan kritik. Selain itu, kata Yasonna, pasal itu akan dijadikan delik aduan. Artinya presiden atau wakil presiden sendiri harus mengadu lebih dulu ke kepolisian sehingga pemidanaan soal penghinaan bisa dilakukan.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho menilai pemberlakuan pasal penghinaan presiden adalah kemunduran. Sebab Indonesia telah memilih sistem demokrasi sehingga kebebasan berpendapat dan berekspresi mestinya dilindungi. Menurut dia, penggunaan delik aduan tidak mengobati buruknya pasal ini. Sebab, masih tidak ada batasan yang jelas soal frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri. Hibnu pun menilai rumusan pasal tersebut ganjil, sebab “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” hanya bisa dilakukan terhadap personal, sementara presiden dan wakil presiden adalah institusi negara.
Selain Pasal penghinaan Presiden, dalam Pasal 353 ayat (1) di draf RKUHP juga disebutkan bahwa setiap orang yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara secara tulisan maupun lisan, dapat dipidanakan hukuman penjara satu tahun enam bulan. Dalam pasal yang sama ayat (3), aduan hanya bisa dilakukan oleh pihak yang dihina. Begitu juga dengan bunyi pasal 354 dengan masa hukuman penjara 2 tahun.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pasal penghinaan DPR dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terlalu berlebihan. Hal tersebut justru akan mendegradasi KUHP. Menurut Fickar, mestinya KUHP berlaku secara umum. Bukan untuk mengakomodir kepentingan perorangan atau lembaga-lembaga tertentu.
3. Para Pemimpin G7 Berkomitmen Tingkatkan Kontribusi Pendanaan Iklim
Para pemimpin G7 akan berkomitmen pada Minggu (13/6/2021) untuk meningkatkan kontribusi pendanaan iklim. Seperti dilaporkan Reuters, komitmen ini untuk memenuhi janji pengeluaran yang terlambat sebesar US$100 miliar (Rp 1.424 triliun) per tahun dalam membantu negara-negara miskin mengurangi emisi karbon dan mengatasi pemanasan global.
Sebagai bagian dari rencana yang disebut membantu mempercepat pembiayaan proyek infrastruktur di negara-negara berkembang dan pergeseran ke teknologi terbarukan dan berkelanjutan, tujuh negara paling maju di dunia akan kembali berjanji untuk memenuhi target tersebut.
4. Atasi Perubahan Iklim, RI Butuh Rp 3.461 Triliun
Indonesia memiliki komitmen dalam menurunkan emisi karbon sebesar 29% hingga 2030 dengan kemampuan pendanaan mandiri atau melalui APBN. Untuk memenuhi komitmen tersebut, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp 3.461 triliun.
Artinya, negara perlu menyiapkan dana untuk menangani perubahan iklim paling tidak Rp 266,6 triliun per tahun hingga tahun 2030. Sementara, kata Sri Mulyani, realisasi belanja pemerintah untuk perubahan iklim hanya sebesar Rp 86,7 triliun per tahun atau hanya setara 4,1% dari APBN.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu juga menuturkan kebutuhan pendanaan tersebut meningkat setelah ditetapkan peta jalan NDCs. Angkanya bertambah mencapai setara Rp3.779 triliun hingga 2030. Itu berarti, dibutuhkan rata-rata pendanaan setiap tahun sebesar Rp 343,7 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, pihaknya telah mengatasi masalah perubahan iklim dengan berbagai instrumen pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penerbitan green bond atau green sukuk bond. Terbaru, kata dia, pemerintah berhasil menerbitkan sukuk hijau global senilai US$ 750 juta atau Rp 10,5 triliun (kurs Rp 14 ribu per US$) untuk tenor selama 30 tahun.
Selain instrumen surat utang, upaya Kementerian Keuangan untuk membantu menangani masalah perubahan iklim adalah dengan instrumen perpajakan. Upaya ini dilakukan agar mendorong perusahaan agar menghasilkan produk ramah lingkungan. Terbaru, pemerintah juga akan mengenakan pajak karbon atas emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Rencananya tarif pajak yang ditetapkan, minimal Rp 75 per kilogram (Kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Hal tersebut sudah tertuang di dalam draf revisi RUU KUP yang beredar.
5. Wacana Kenaikan PPN 12%
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari saat ini tarif PPN sebesar 10%. Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan tersebut digunakan agar penerimaan pajak bisa mencapai target. Sebab tahun depan penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun atau tumbuh 8,37% hingga 8,42% dari proyeksi akhir tahun 2021. Alasan lain yaitu menurut pertimbangan pemerintah saat ini tren dunia adalah mengoptimalkan pemungutan PPN ketimbang PPh, karena ada kecenderungan PPh terus menurun.
Berdasarkan draf RUU KUP, tarif dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Pemerintah juga akan mengenakan tarif berbeda pada setiap barang/jasa. Tarif berbeda sebagaimana dimaksud dikenakan paling rendah 5% dan paling tinggi 25%. Selain itu, sembako akan dihapus dari jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP), ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN sembako. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen. Kebijakan tersebut tentulah memicu kenaikan harga sembako di pasar dan menuai kecaman dari berbagai pihak.
Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah jasa. Hal itu tertuang dalam RUU KUP yang diajukan pemerintah dan akan segera dibahas dengan DPR. Berdasarkan RUU KUP baru, beberapa sektor yang menurut UU sebelumnya tidak dikenakan pajak, kini dikenakan pajak. Jasa yang dikenai pajak sangat beragam mulai dari jasa pelayanan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, hingga pengiriman uang dengan wesel.