Tak dapat dimungkiri bahwa industri sawit memegang peranan strategis dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2020 lalu BPS mencatat volume ekspor produk sawit mencapai 34 juta ton, selain itu industri ini turut berperan sebagai penyedia lapangan kerja, serta tumpuan mata pencaharian jutaan keluarga petani. Meski demikian harus disadari pula, masih banyak persoalan kusut dalam tata kelolanya. Berbagai tantangan yang dihadapi industri ini di antaranya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani; masih banyaknya kondisi desa di sekitar perkebunan yang masih tertinggal; timpangnya pendapatan pusat dan daerah; rendahnya penyerapan pajak hingga permasalahan ekologi dan tingginya konflik sosial, yang lantas menurunkan daya saing produk sawit di pasar global.
Salah satu instrumen yang tersedia saat ini untuk dapat mengurai permasalahan tata kelola sawit adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit). Meski demikian, pada bulan September 2021 mendatang tenggat waktu kebijakan ini akan berakhir. Padahal secara konseptual kebijakan ini sangat strategis, hanya saja belum optimal pada tataran implementasi. Sehingga diperlukan perpanjangan kebijakan untuk menyelesaikan dan mempercepat perbaikan tata kelola sawit Indonesia ke depan.
Merespon kondisi tersebut, koalisi masyarakat sipil menyusun kertas kebijakan ini dalam upaya menjabarkan peluang strategis yang didapatkan Indonesia jika melakukan perpanjangan kebijakan moratorium sawit; menyoroti tantangan yang akan dihadapi jika moratorium sawit tidak diperpanjang dan diimplementasikannya UU Cipta kerja di sektor sawit; serta memberikan rekomendasi taktis bagi pemerintah guna mengoptimalkan kebijakan ini.
Potret 2,5 Tahun Implementasi Moratorium Sawit
Implementasi moratorium sawit hampir tiba di penghujung periode masih jauh panggang dari api. Kebijakan ini telah mencatatkan beberapa capaian yang patut diapresiasi, di antaranya pemerintah pusat yang telah menetapkan konsolidasi data dan menyelesaikan penghitungan luasan perkebunan sawit yang tertuang dalam Kepmentan Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019.
Kemudian di level daerah, meski tidak langsung dihasilkan oleh regu kerja Moratorium sawit salah satu langkah yang perlu diapresiasi dari inisiatif Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi telah kaji ulang terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir. Hasilnya, pencabutan 14 izin perusahaan sawit oleh Bupati dan rencana cabut empat perusahaan di provinsi konservasi itu. Dari luasan itu, ada 267.856,86 hektar izin konsesi sudah dicabut dan 43.689,93 hektar masih proses pencabutan.
Adapun lokasi perusahaan yang dicabut itu berada di Sorong Selatan empat perusahaan, Sorong (4), Teluk Bintuni (2), serta masing-masing satu izin perusahaan di Teluk Wondama dan Fakfak. Keputusan para bupati ini menyusul proses evaluasi izin perkebunan sawit di Papua Barat. Evaluasi ini sudah berlangsung sejak Juli 2018 di bawah koordinasi Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Papua Barat. Berbagai pihak terkait terlibat termasuk pemerintah kabupaten di Papua Barat. Laporan hasil evaluasi terbit pada Februari 2021. Salah satu dasar hukum yang dipakai untuk review dan pencabutan izin konsesi perkebunan sawit di Papua Barat adalah Inpres Moratorium Sawit.
Walaupun belum ada kejelasan tentang kelanjutan paska pencabutan izin tersebut tetapi dari laporan evaluasi izin tersebut menegaskan bahwa tanah ulayat bekas konsesi akan dikelola oleh masyarakat adat. Pembelajaran tersebut perlu dimaknai bahwa Moratorium Sawit semestinya dimaksimalkan untuk mencapai langkah-langkah korektif menjadi aksi nyata yang berdampak bagi masyarakat sekitar kawasan seperti masyarakat adat setempat.
Dapatkan Policy Brief Urgensi Perpanjangan Moratorium Sawit untuk Mempercepat Perbaikan Tata Kelola Sawit Indonesia dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini.