Madani

Tentang Kami

Indikator Capaian Kembali Didorong

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN – Hamparan perkebunan kelapa sawit di kawasan Sei Kijang, Kabupaten Palalawan, Riau.

JAKARTA, KOMPAS —Sejumlah lembaga masyarakat sipil memberikan catatan pada isi draf instruksi presiden moratorium sawit. Mereka mendorong agar moratorium dilakukan berdasarkan indikator capaian, bukan waktu.

Hal itu agar tujuan instruksi presiden (inpres) untuk menertibkan kebun sawit di areal hutan dan membenahi tata kelola perkebunan serta produktivitasnya tercapai. Jika mengandalkan batasan waktu, itu tak tuntas menyelesaikan soal sawit di kawasan hutan yang berlangsung lama.

”Kami mendesak pelaksanaan inpres ini berbasis kriteria dan indikator capaian tertentu, bukan batas waktu,” kata Mardi Minangsari, aktivis Kaoem Telapak, Selasa (23/1), di Jakarta.

Dalam draf Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang disetujui Menteri Koordinator Perekonomian, penerapan moratorium tiga tahun. Jeda waktu itu tak cukup menuntaskan tata kelola kebun sawit yang semrawut.

Apalagi, inpres diharapkan meningkatkan produktivitas kebun sawit. Di sisi lain, indikator capaian bisa memakai peningkatan produktivitas sawit.

Indikator selanjutnya adalah tak ada lagi tumpang tindih lahan sawit di areal hutan dan peruntukan lain. Itu termasuk kewajiban perkebunan sawit untuk membagi 20 persen dari hak guna usaha-nya bagi perkebunan masyarakat.

Franky Yafet Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, mengingatkan agar inpres menyentuh masalah sosial di masyarakat. ”Harus bisa mengungkap apakah pembangunan kebun itu ada konsultasi publik ataukah ada penolakan warga,” ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, inpres ini memberikan tugas kepadanya untuk mengevaluasi izin pelepasan areal hutan yang diterbitkan KLHK. Tujuannya agar pelepasan sesuai peruntukan. ”Evaluasi, misalnya, sudah ada izin, tapi belum ada kegiatan, berubah penggunaan tanahnya, dan perubahan komoditas dari pengajuan,” katanya.

Evaluasi ini juga membuka potensi izin pelepasan itu dikoreksi karena hutan terbukti produktif. Contohnya, hasil evaluasi KLHK di Papua dan Papua Barat, ada izin pelepasan sejak 5-10 tahun lalu, tapi penanamannya rendah (15-20 persen) dan kondisi tutupan hutan lebat. ”Hal ini akan kita koreksi dan hutan lebatnya harus jadi hutan produksi. Hutan ini bisa jadi area perhutanan sosial,” ujarnya. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

en_USEN_US