Madani

Tentang Kami

Konferensi Perubahan Iklim Bonn 2024: Jalan Terjal Menuju COP 29

Konferensi Perubahan Iklim yang berlangsung pada 3-13 Juni 2024 di Bonn, Jerman, merupakan sesi negosiasi antarsesi di bawah SBSTA 60 dan SBI 60, yang bersama-sama disebut sebagai SB60. Pertemuan ini penting untuk mempersiapkan perundingan iklim COP 29 yang akan dilangsungkan di Baku, Azerbaijan, pada 11-22 November 2024.

Isu Kunci yang Dinegosiasikan di SB60

Ada tiga isu utama yang dinegosiasikan di SB60. Yang pertama adalah implementasi hasil penilaian global atau Global Stocktake (GST) untuk menahan laju pemanasan global agar tidak melampaui 1,5 derajat Celcius di akhir abad ini. Yang kedua adalah target pendanaan iklim pasca-2025 yang lazim disebut sebagai NCQG (New Collective Quantified Goal). Yang ketiga adalah operasionalisasi Loss & Damage Fund untuk mengatasi kerusakan dan kerugian akibat dampak perubahan iklim. 

Jalan Terjal Mengakhiri Bahan Bakar Fosil

Konferensi Perubahan Iklim ke-28 (COP 28) di Dubai tahun lalu menghasilkan keputusan penting mengenai Global Stocktake (GST), yang mencakup seruan bagi semua negara untuk beralih dari bahan bakar fosil dalam dekade ini. Sayangnya, pertemuan di Bonn tidak menghasilkan kemajuan berarti dalam isu ini. Menurut IISD, negara-negara gagal menyepakati modalitas dialog baru untuk mengimplementasikan hasil GST dan tidak mencapai kesepakatan terkait program kerja mitigasi perubahan iklim. Menurut Carbon Brief, negara-negara dalam kelompok Like-Minded Group of Developing Countries (LMDCs), terutama China dan Arab Saudi, memblokir negosiasi terkait transisi dari bahan bakar fosil.

Ketiadaan kemajuan ini sangat disayangkan karena batas aman 1,5°C hampir terlampaui. Dengan kata lain, nasib generasi mendatang berada di ujung tanduk karena perubahan iklim telah berubah menjadi krisis.

Dalam tuntutan bersama di COP 28, masyarakat sipil Indonesia menyerukan diadopsinya target global untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan. Penggunaan semua jenis bahan bakar fosil harus diakhiri secara bertahap tanpa pengecualian, baik on-grid maupun off-grid, termasuk captive. Selain itu, upaya ini harus dilakukan secara berkeadilan dengan melindungi hak-hak masyarakat yang paling terdampak, termasuk nasib buruh, kesetaraan gender, hak atas tanah, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Masyarakat sipil Indonesia juga menyerukan diadopsinya target global untuk menghentikan kerusakan ekosistem dan memulihkan seluruh ekosistem alam termasuk hutan, pesisir, mangrove, dan laut pada 2030. Hal ini sangat penting karena enam dari sembilan ambang batas aman planet bumi (planetary boundaries) yang menyokong kehidupan dan kesejahteraan  manusia sudah terlampaui, termasuk perubahan sistem lahan akibat rusaknya hutan serta perubahan sistem air tawar. 

BACA JUGA: Tuntutan Masyarakat Sipil dalam COP 28

Tingkatkan Ambisi NDC Sesuai Hasil Global Stocktake

Hasil GST mendorong negara-negara untuk menyerahkan komitmen iklim atau Nationally Determined Contributions (NDCs) yang lebih ambisius dan selaras dengan target 1,5°C paling lambat bulan Februari 2025. 

Agar tidak melampaui 1,5°C, emisi global harus turun 43% pada 2030 dan 65% pada 2035 dibandingkan tahun 2019. NDC pada putaran selanjutnya (Second NDC) harus bisa menutup kekurangan ambisi (emissions gap) sebesar 20,3–23,9 Gt CO2e pada tahun 2030 tanpa menurunkan kemampuan adaptasi di negara lain, khususnya di negara-negara berkembang dan miskin, serta dengan tetap melindungi hak asasi manusia. 

Momen pembaruan NDC ini juga perlu diambil untuk menjadikan proses penyusunan Second NDC lebih partisipatif dan inklusif, yakni dengan melibatkan masyarakat sipil, termasuk kelompok rentan, secara bermakna.

Akankah Ada Jalan Keluar untuk Isu Pendanaan?

Negara-negara maju dan berkembang masih berdebat sengit soal pendanaan iklim global pasca-2025. Target ini, yang disebut sebagai NCQG  atau New Collective Quantified Goal, harus disepakati di COP 29 bulan November mendatang. Beberapa isu yang menjadi ganjalan adalah negara-negara maju yang dianggap belum memenuhi komitmen mereka untuk menyalurkan pendanaan sebesar 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang. Meski negara-negara maju mengklaim telah memenuhi target tersebut, negara-negara berkembang mengeluhkan banyaknya pendanaan dalam bentuk pinjaman. Mereka juga mengeluhkan tindakan negara maju yang melabeli ulang bantuan mereka sebagai pendanaan iklim.

Negara-negara maju dan berkembang masih berdebat soal siapa yang harus membayar, apakah hanya negara maju atau termasuk juga negara-negara berkembang yang mampu. Mereka juga berdebat terkait besaran dana. Kelompok Arab, LMDCs termasuk China, India, dan negara-negara pulau kecil (AOSIS) menuntut pendanaan dari negara-negara maju sebesar 1,1-1,3 triliun dollar AS per tahun. Perdebatan soal penggunaan dana juga tidak kalah sengit, di mana negara-negara maju menolak pendanaan iklim digunakan untuk mendanai Loss and Damage. Menurut Carbon Brief, isu pendanaan ini tampaknya masih akan “menyandera” perundingan iklim ke depan.

Masyarakat sipil Indonesia menuntut pengalihan aliran pendanaan global dari sektor-sektor yang intensif emisi atau “kotor” ke sektor-sektor yang berfokus pada pemulihan dan restorasi lingkungan atau “hijau”. Pendanaan iklim juga harus mudah diakses oleh masyarakat terdampak, termasuk orang muda yang ingin berpartisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Pendanaan iklim tidak boleh menambah beban hutang negara-negara berkembang (“debt trap“).

Menurut Madani, fokus kewajiban membayar pendanaan iklim harus tetap berada pada negara-negara maju, yang dikenal sebagai negara-negara Annex I. Hal ini selaras dengan prinsip keadilan distributif dalam keadilan iklim yang menekankan peran negara-negara maju dalam menyebabkan perubahan iklim (hutang historis). Namun, negara-negara selain Annex I juga dapat didorong untuk berkontribusi berdasarkan indikator seperti tingkat kemampuan membayar dan tanggung jawab historis (emisi).

Besaran pendanaan iklim global harus dihitung berdasarkan kebutuhan dan prioritas negara berkembang untuk mengatasi krisis iklim, terutama dampaknya. Yang perlu ditekankan adalah keseimbangan antara porsi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Saat ini, adaptasi perubahan iklim masih menerima porsi pendanaan jauh lebih sedikit dibandingkan mitigasi. Pendanaan iklim harus dibuka juga untuk mendanai Loss and Damage. Bisa dibuat sub-goals untuk target adaptasi dan Loss and Damage untuk memastikan bahwa keduanya mendapatkan pendanaan yang cukup. Selain itu, harus ada kerangka dan mekanisme yang transparan untuk mengukur kemajuan penyaluran pendanaan iklim global.

Operasionalisasi Pendanaan Loss and Damage

Operasionalisasi pendanaan untuk mengatasi kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim (Loss and Damage) sangat penting bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Ada beberapa isu penting yang masih harus diselesaikan untuk dapat sepenuhnya mengoperasionalkan pendanaan Loss and Damage. Yang utama adalah sumber pendanaan. Negara-negara maju menolak pendanaan iklim global pasca-2025 (NCQG) digunakan untuk mendanai Loss and Damage sementara negara-negara berkembang ingin ada target khusus untuk Loss and Damage. Isu lain adalah siapa yang berhak mengakses pendanaan tersebut dan cara mengaksesnya.

Untuk sementara (selama dua tahun), Bank Dunia akan menjadi wali (trustee) dan tuan rumah sekretariat pendanaan Loss and Damage. Sementara itu, Dewan Independen akan menentukan kriteria kelayakan dan kebijakan manajemen risiko. Langkah selanjutnya untuk operasionalisasi pendanaan Loss and Damage adalah membentuk sekretariat dan memilih Direktur Eksekutif.

Masyarakat sipil Indonesia menekankan pentingnya asistensi bagi negara-negara dan komunitas yang paling terdampak serta memiliki kapasitas terendah dalam menangani perubahan iklim. Enam tuntutan masyarakat sipil terkait Loss and Damage adalah:

 

  1. COP harus menyepakati target besaran dana yang dibutuhkan untuk mengatasi kerusakan dan kerugian akibat krisis iklim.
  2. Negara-negara maju berdasarkan prinsip CBDR (Common But Differentiated Responsibility) harus segera memberikan porsi pendanaan yang adil, memadai, serta baru.
  3. Operasionalisasi mekanisme pendanaan Loss and Damage yang dialokasikan bagi negara dan komunitas yang paling membutuhkan harus didasarkan pada penilaian kerentanan dan kapasitas dengan mempertimbangkan batasan-batasan adaptasi.
  4. Mekanisme pendanaan harus didesain secara sederhana tanpa terjebak dalam proses birokrasi yang rumit dan segera dapat diakses oleh masyarakat terdampak secara efektif dan efisien.
  5. Loss and Damage harus berfokus pada rekonstruksi, restorasi, dan rehabilitasi serta memberikan dukungan finansial bagi komunitas yang kehilangan tempat tinggal baik sementara maupun permanen.
  6. Loss and Damage harus memberikan dukungan finansial bagi kerugian ekonomi maupun non-ekonomi seperti hilangnya warisan budaya dan keanekaragaman hayati.

 

Konferensi Perubahan Iklim Bonn 2024 menunjukkan banyak  tantangan besar yang masih harus diatasi dalam upaya global melawan perubahan iklim. Meskipun kemajuan dalam beberapa isu kunci sangat terbatas, harapan tetap ada seiring dengan semakin kuatnya seruan dari masyarakat sipil dan berbagai negara untuk aksi yang lebih ambisius dan inklusif. Dengan COP 29 yang semakin mendekat, penting bagi semua pihak untuk terus berkomitmen dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan demi masa depan bumi dan generasi mendatang. Kesepakatan yang konkret dan ambisius diharapkan dapat membawa perubahan nyata dalam menjaga batas aman 1,5°C dan memastikan pendanaan iklim yang adil serta efektif, khususnya bagi mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Related Article

en_USEN_US