Madani

Tentang Kami

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Reintegrasi antara ekologi dan ekonomi penting untuk dilakukan, karena keduanya saling terkait dan berhubungan. Tujuan dari kebijakan yang tidak lagi terfokus pada model ekonomi konvensional yakni pertumbuhan ekonomi sebagai solusi semua persoalan. Dan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lagi memadai sebab tidak mencerminkan perkembangan yang melibatkan kontinuitas lingkungan hidup, kebahagiaan juga kesejahteraan hidup (wellbeing). Dan mengubah pola pikir ini membutuhkan banyak kerjasama dari berbagai lini, baik itu dari kebijakan publik, komunitas, sektor swasta, akademia, riset hingga pengabdian masyarakat.

 

Ini disampaikan oleh Dr. Luh Gede Saraswati Putri, M.Hum., atau biasa dikenal dengan Saras Dewi, Dosen Filsafat di Universitas Indonesia dalam Seri Dialog MADANI #1000GagasanEkonomi Pembangunan Tanpa Merusak Lingkungan dalam rangkaian acara EU Climate Diplomacy Week 2020, “Act Today for Our Tomorrow”, 2 November 2020. Diskusi Madani kali ini mengangkat tema “Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia”.

Selain Saras Dewi, turut menjadi narasumber adalah Aleta Baun, seorang perempuan adat dari Molo, Nusa Tenggara Timur yang gigih memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran industri ekstraktif pertambangan. Rafa Jafar, seorang anak muda yang menginisiasi Komunitas eWasteRJ, yaitu komunitas yang peduli terhadap pengelolaan sampah elektronik. Serta Delly Ferdian, Specialist Digital Media di Yayasan Madani Berkelanjutan. Dialog ini dipandu oleh Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Saras Dewi menambahkan bahwa ekonomi yang mengarah pada kesejahteraan sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh para ahli, seperti E.F Schumacher, Manfred Max-Neef, Amartya Sen, Elinor Ostrom, Kate Raworth, Robert Costanza hingga ekonom Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Mubyarto. Di dalamnya juga berbicara terkait pangan dan partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dengan lingkungannya. Inilah yang disebut dengan ekonomi kehidupan. Ekonomi kehidupan ini mengarah pada keberlanjutan.

 

Sementara itu, Aleta Baun menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Mollo memiliki prinsip bahwa, “Kami hanya akan jual yang kami buat dan kami tidak akan menjual apa yang kami tidak bisa buat.” Sehingga Masyarakat Adat di Tiga Batu Tungku sampai saat ini gigih untuk mempertahankan wilayah adatnya. “Yang kami jual adalah apa yang kami buat, seperti kain tenun, hasil pertanian, obat herbal, kerajinan tangan dan pangan lokal. Perempuan Adat juga memiliki peranan penting karena perempuan adat adalah penjaga alam juga sebagai ibu bumi. Filosofi Masyarakat Molo adalah Oel Fani On Na’, Na’a Fani On Nafus, Afu Fani On Nesa, Fatu Fani On Nuif. Yang artinya, air adalah darah, pepohonan adalah rambut, tanah adalah daging dan batu adalah tulang. “Untuk itu, bagaimana agar pembangunan bisa dilakukan tanpa harus menghancurkan lingkungan, karena lingkungan adalah modal masyarakat untuk sejahtera yang telah disediakan oleh alam,” ujar Aleta Baun.

Di sisi lain, Rafa Jafar, anak muda penggagas Komunitas eWasteRJ mengajak anak muda semuanya untuk menjadi konsumen elektronik yang bijak, dengan melakukan recycle terlebih dahulu terhadap barang elektronik yang telah digunakan. Karena banyak sekali sampah elektronik yang belum didaur ulang secara benar. “Dari 53,6 juta metric ton sampah elektronik yang dihasilkan di tahun 2019, hanya 17,4 persen yang telah didaur ulang secara benar,” paparnya.

 

Delly Ferdian, Specialist Digital Media Yayasan Madani Berkelanjutan mengajak anak-anak muda untuk menuangkan gagasannya terkait Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di platform yang disediakan di www.madaniberkelanjutan.id Gagasan dapat berupa tulisan, video, dan infografis. Tulisan-tulisan tersebut akan bersanding dengan tulisan-tulisan para ekonom seperti Prof Emil Salim, Prof Hariadi Kartodihardjo, Rimawan Pradiptyo, Ismid Hadad dan yang lainnya.

Materi selengkapnya dari para narasumber dapat diunduh di bawah ini.

Related Article

en_USEN_US