Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Kota London dibelah oleh sebuah sungai bersejarah,  yang sudah lebih setengah abad menjadi sungai yang sangat layak untuk mendukung kehidupan dan penghidupan masyarakat Kota London, terutama dari perspektif ekonomi berkelanjutan.  Kondisi hari ini tak lahir begitu saja,  tapi buah dari usaha yang panjang dan bauran kebijakan prokonservasi yang konsisten.  Inggris mengeluarkan anggaran yang besar untuk mengembalikan kondisi Sungai Thames sebagaimana kondisi awalnya.  Karena pada era awal revolusi industri, sungai Thames sempat menjadi bulan-bulanan limbah industri.

Lalu  pada perang dunia kedua,  bom-bom Reich Ketiga (Rezim Hitler), berupa roket varian V3 besutan Von Braun,  ikut merusak sebagian Kta London.  Walhasil,  saluran kotoran rumah-rumah dan perkantoran bocor dan mengalir ke Sungai Thames. Sampai-sampai ketika itu,  para peneliti lingkungan menyebutnya dengan sebutan “sungai saluran kotoran”.  Butuh puluhan tahun pascaperang dunia kedua,  bagi sungai ini untuk kembali membaik sebagaimana hari ini,  kembali seperti kejernihan Sungai Thames era Raja Hendry VIII,  yang punya 6 istri dan banyak selir.  Ketika itu,  sekira 500 tahun lalu,  kebijakan prokonservasi pertama untuk Sungai Thames dilahirkan, yakni kebijakan pelarangan penangkapan beberapa jenis ikan dan belut untuk menjaga keberlanjutan beberapa jenis biodata Sungai.

Pun di Wimbeldon,  saat suatu waktu beberapa tahun lalu saya iseng menikmati sungai Wandle (berlabuh di sungai thames) ,  seorang kawan dari salah satu kampus di sana juga bercerita bahwa beberapa dekade sebelum hari ini,  banyak kincir air ukuran sedang dan kecil yang “nyempil” di sungai tersebut, berjejer di sisi sungai yang membuat sesak pemandangan dan menghadiahi Sungai Wandle dengan limbah-limbah home industri saban waktu. Industri sedang dan kecil mengambil energi dari sungai,  sembari membuang limbah ke dalamnya. 

Dan saat  saya di sana, menatap Sungai Wandle sembari menyeruput kopi,  kondisi sudah jauh berbeda. Tak ada kincir air,  sisi-sisi sungai terlihat bersih, pun airnya juga terbilang sangat jernih. Kebijakan penertipan dilakukan secara ketat dan konsisten oleh otoritas lokal atas nama kelestarian sungai dan habitat biota yang ada di dalamnya.  Hari ini,  Sungai Wandle dan Thames sudah menjadi bagian dari destinasi wisata kota London. Bahkan,  tak kurang dari 700-800 singa laut berlabuh di mulut singai Thames,  setiap musim panas,  karena kondisinya yang sudah sangat bersahabat dengan hewan.  Sungai Thames menjadi objek wisata unik tersendiri,  yang membuat orang semakin ramai datang ke London. Begitulah Green dan Eco-Tourism dijalankan secara konsisten di salah satu kota terbesar di dunia tersebut.

Namun berbeda kondisinya dengan di Jakarta,  atau di kota-kota besar lainya di Indonesia.  Sungai-sungai dengan santai mengalirkan sampah,  kotoran,  limbah,  dan rongsokan, ke lautan. Penataan selokan-selokan air diletakan dalam daftar terbawah dalam pebangunan fisik kota.  Lalu saat curah hujan meninggi,  banjir datang,  semua pihak saling adu teori soal siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab. Penguasa terpilih di kota-kota besar selalu sulit tidur saat musim hujan datang,  karena bisa berimbas pada “kenyamanan kursi” mereka di Balai Kota. Saat air mulai kembali ke tarian normalnya,  orang-orang justru mencari konsep-konsep drama politik picisan lainya untuk diributkan, sampai tarian air episode selanjutnya datang. Hasilnya,  bencana banjir tetap memiliki slot tayang di ruang publik kita karena persoalan utamanya tak pernah diselesaikan. Air dan banjir diperlakukan sebagai persoalan politik picisan,   tak pernah diperlakukan sebagaimana semestinya air dalam kadar naturalnya. 

Begitu pula dengan lautan. Sampah-sampah dari sungai berlabuh ke lautan. Aneka rupa plastik ikut berenang bersama ikan-ikan laut.  Di sisi lain,  reklamasi lebih menarik dibahas sebagai solusi ekonomi atas berbagai persoalan yang muncul akibat masalah ekonomi di daratan. Laut dipermak menjadi pulau-pulau buatan di mana ribuan orang akan berpesta di dalam bangunan-bangunan modern di atasnya. Naasnya,  bersebalahan dengan lokasi tersebut,  nelayan pelan-pelan tapi pasti mulai putus asa dengan profesinya.

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Ikan-ikan mulai menjauhi para nelayan. Salah satu sumber nutrisi dari lautan tersebut semakin sulit didapatkan.  Kehidupan mulai tak berpihak kepada para nelayan, ekonomi makin sulit, dan masa depan anak-anak mereka mulai dipertaruhkan, tapi belum jelas siapa yang siap untuk bertanggung jawab.  Seiring dengan berbagai ketimpangan yang mulai muncul,  kampung-kampung mereka mulai bertekuk lutut kalah. Sejengkal demi sejengkal dijajah oleh modernitas.  Sampai akhirnya tertimpa bangunan berupa apartemen, perumahan tepi pantai mewah,  resort kelas atas,  atau Marina tempat kapal-kapal pesiar berlabuh.

Bandingkan dengan Kota Besar seperti New York di Negeri Paman Sam sana.  Kalau anda pernah jalan-jalan ke pulau-pulau di sekitaran kota tersebut,  anda akan menemukan pemandangan yang sangat berbeda di sana.  Lautanya bersih,  biota lautnya terlihat cukup terjaga,  oleh karena itu,  tak butuh lama kail pancing anda disambar oleh ikan. Mengapa?  Karena pemerintahan negara bagian New York punya kebijakan prokonservasi yang layak diacungi jempol.  Salah satunya dengan menjadikan Governor Island (Pulau Gubernur),  sebagai pusat pembibitan dan pelestarian tiram. Setiap tahun,  jutaan tiram dilepas ke lautan. Hewan ini menjadi hewan pembersih lautan dan instrumen pelestarian biota lautan New York di satu sisi,  tapi juga menjadi awal dari sumbar penghidupan para nelayan di lautan Negara Bagian New York di sisi lain.  Mengapa?  Sederhana saja, di mana ada tiram,  di situlah ikan-ikan nyaman untuk tinggal dan berkembang biak karena ekosistemnya sangat bersahabat.

Selain soal Tiram,  Amerika juga punya kebijakan prokonservasi lain yang juga sangat layak diacungi jempol,  yakni pembatasan penagkapan Ikan Tuna Sirip Biru karena populasinya yang sudah mulai sedikit.  Dengan kebijakan itu,  supply dan demand Tuna disesuaikan,  tidak boleh menangkap lebih dari quota nasional yang ditetapkan setiap tahunnya.  Akibatnya,  secara teknis,  para nelayan tuna hanya boleh menangkap satu ekor ikan tuna (sirip biru ) dalam sehari. Edukasi dan sosialisasi berlangsung secara baik dan konsisten sampai menjadi konsensus publik bahwa populasi Tuna Sirip Biru memang harus dikendalikan secara baik. Bahkan  nelayan pun sangat mendukung karena sekalipun hidup mereka tergantung pada tangkapan Tuna Sirip Biru,  tapi sustainability dan regenerasi ikan tuna sirip biru dianggap jauh lebih signifikan ketimbang pertimbangan teknis ekonomi semata. 

Akhirnya,  keputusan teknis nelayan adalah bahwa setiap hari mereka harus mendapatkan satu ikan tuna dengan ukuran yang cukup besar,  kisaran 200-500 pon (1 pon harganya kisaran 10-20 USD,  tergantung kondisi daging dan lemak,  di uji langsung di pelabuhan),  agar tetap bisa bertahan di lautan untuk hari-hari selanjutnya  di satu sisi dan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup di sisi lain. Hasilnya untuk biaya BBM kapal agar tetap bisa melaut lagi dan untuk pendapatan pemilik kapal dan kru,  setiap hari. 

Otomatis,  untuk mendapat tangkapan ukuran kakap,  kapalnya harus kapal modern,  dilengkapi dengan teknologi radar ikan dan alat pancing yang mumpuni.  Artinya,  pemerintah harus mendukung dan mendorong lahirnya inovasi teknologi kelautan yang ramah lingkungan, inovasi pembiayaan untuk nelayan agar bisa mendapatkan kapal-kapal modern tersebut,  dan inovasi supply dan demand agar pembatasan tangkapan Tuna Sirip Biru tetap layak secara ekonomi bagi kehidupan nelayan.  Dengan asumsi sehari dapat satu ekor dengan berat median 250 pon dan harga median 15 USD,  maka hasil yang akan didapat bisa sekitar 3750 USD (dengan rate Rp 13500 /USD,  hasilnya sekitar Rp. 50 juta). Di negara yang taraf hidup dan pendapatan perkapita tinggi seperti Amerika,  angka tersebut terbilang cukup baik, yang berarti kehidupan nelayan di sana juga sangat baik.  Begitulah kompromi antara konservasi dan kepentingan ekonomi terjadi.

Di Indonesia, kontroversi ekspor benih lobster sempat terjadi mengiringi masa awal pemerintahan Jokowi tahap kedua. Pertimbangan ekonomi untuk menyelamatkan mata pencarian nelayan lobster menjadi dalih utama pembukaan wacana ekspor tersebut. Tak butuh waktu lama bagi ruang publik kita untuk mentransformasi kontroversi tersebut menjadi perseteruan dua kubu antara mantan Menteri KKP dan Menteri KKP yang baru. Keduanya sama-sama punya dalih masing-masing. Sang Mantan Menteri yang kadung tenar di mata awak media, cukup dengan sekali dua kali cuitan di media sosial, untuk menentang rencana kebijakan ekspor benih lobster, yang sebelumnya sempat beliau larang.

Namun kebijakan lama tersebut bukanlah kebijakan sempurna. Nelayan memang tercekik karenanya, lobster di bawah 200 gram bukan saja dilarang diperdagangkan (diekspor), tapi juga dilarang dibudidayakan. Jelas saja mencekik, karena jelas-jelas tidak mempertimbangkan aspek penghidupan para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada benih lobster. Risikonya, untuk tetap bertahan hidup, mau tak mau, mereka harus menjualnya kepada penyelundup. Benihnya diperdagangkan di Singapura, untuk kemudian sebagian besar dijual kembali ke Vietnam, di mana nilai tambahnya ditancapkan. Syukurlah akhirnya Menteri KKP yang baru cepat mempelajari situasi. Rencana kebijakan budidaya dalam negeri pun disiapkan, agar nelayan benih lobster tetap bisa melanjutkan hidup, keberlanjutan dan regenerasi lobster-lobster bisa pula tetap dijaga, dan pendapatan negara dari komoditas lobster juga tetap bisa didapatkan.

BACA JUGA: Disrupsi Perencanaan Energi Dalam Mendukung Pembangunan Rendah Karbon

Sementara itu dari sektor perkebunan, Indonesia jelas-jelas jauh tertinggal dari negara-negara di Eropa, Australia dan New Zealand. Ketika Orde Baru sempat jaya dengan era booming oil, era SBY pun sempat punya sumber pembiayaan yang tak kalah menjanjikan, yakni booming komoditas, dengan kelapa sawit sebagai salah satu andalannya, selain ekspoitasi besar-besar batu baru di sector pertambangan. Walhasil, banyak lahan baru yang dibuka, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, bahkan dikabarkan sudah mulai menjalar ke Papua. Tak pelak, mendadak CPO menjadi kontributor utama devisa nasional dan Indonesia menjadi produsen tersbesar CPO di dunia.

Namun nasibnya tentu sudah bisa ditebak, seperti era minyak Orde Baru. Harga komoditas dunia mulai melandai, oversupply, tak terkecuali CPO. Pendapatan negara dari komoditas ini ikut tergerus. Seiring dengan itu, kebakaran hutan mulai sering menyambangi daerah-daerah penghasil kepala sawit. Pembukaan lahan yang jauh dari standar pelestarian lingkungan semakin marak. Demi keuntungan besar dan sesaat, lahan hutan dibakar begitu saja,agar harganya melambung tinggi untuk investor-investor perkebunan, karena lahannya sudah siap tanam. Tak terelakan, asap-asap pembakaran lahan berubah menjadi bercana kebakaran hutan. Asap menyesaki udara, bahkan sampai ke negara tetangga. Asap berubah menjadi bencana nasional, sekolah diliburkan, transportasi udara dihentikan sementara, barang-barang kebutuhan tertunda berpindah, kelangkaan terjadi, dan harga-harga merayap naik.

Setali tiga uang dengan itu, sector pertambangan juga merana. Batu bara dieksploitasi untuk kebutuhan ekspor dan sumber energi listrik dalam negeri. Sayangnya, energi dari batu bara adalah energi kotor dengan tingkat emisi yang jauh di luar batas toleransi. Sampai hari ini, pembangkit listrik kita masih tetap didominasi oleh energi buruk, yakni energi primer fosil. Pada 2017, tercatat  kapasitas pembangkit tenaga listrik  yang menggunakan energi fosil sebesar 85%, utamanya batu bara. Beberapa pembangkit baru yang dalam tahap pembangunan adalah seperti proyek PLTU Batubara Indramayu #2, mendapatkan dukungan dana dari ODA (Official Development Assistance) Jepang. Pada 2025 energi primer kelistrikan diproyeksikan sebesar 102,6 MTOE, porsi terbesar batu bara 59%, disusul EBT 27% dan gas 14,1%. Porsi batu bara pada tahun 2050 diproyeksikan berkurang menjadi 52%.

Tak bisa dipungkiri, kebutuhan kilang minyak domestik (termasuk perluasan dan pembangunan kilang baru), masih memerlukan pasokan minyak mentah, baik melalui produksi domestik ataupun impor, yang harus digerakan dengan energi buruk tadi. Demikian juga roda perekonomian dan keuangan negara, termasuk kestabilan fiskal dari dana bagi hasil yang menopang anggaran daerah, masih signifikan bertumpu pada energi fosil. Jadi memang tidak mudah melakukan penyesuaian secara radikal, namun tetap diperlukan upaya ke arah sana, agar di masa depan kita tidak tertinggal dari negara-negara lain dan tidak terjebak di dalam kondisi kelangkaan energi di saat semua yang telah kita kuras dari alam menipis, bahkan habis.

Sehubungan dengan konstelasi di atas, beberapa strategi perlu dilakukan pemerintah. Misalnya, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan pemerintah negara lain yang memiliki persoalan yang sama, melakukan instrumen diplomasi bersama yang efektif kepada negara-negara maju OECD agar objektif mempertimbangkan kondisi di masing-masing negara. Kemudain, bekerja sama secara sistematis dan berkelanjutan dengan negara-negara maju untuk meningkatkan teknologi penggunaan dan pemanfaatan energi primer yang efisien, bersih, dan harganya terjangkau.

Lalu secara terstruktur, terpola dan terpadu mentransformasi paradigma energi primer sebagai sumber pendapatan. Energi harus digunakan sebagai modal pembangunan, meningkatkan nilai tambah energi fosil dengan mendorong pengolahan lanjutan dan hilirisasi. Hal ini harus menjadi pola pikir dalam kebijakan umum penyusunan anggaran belanja negara. Dengan demikian, Indonesia tetap mengambil peran dan tanggung jawabnya untuk menjaga iklim, seraya memperkuat bangunan struktur perekonomian negara yang berbasis nilai tambah hilirisasi energi primer.

Sementara itu, dari sisi kelistrikan dan penggunaan batu bara, dibutuhkan beberapa program dan regulasi yang mengarah kepada rencana strategis di atas. Pertama, sinkronisasi dan reorientasi target bauran energi kelistrikan di Indonesia. Ini terkait rencana bauran energi kelistrikan Indonesia pada rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) dan target dinamis bauran listrik rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL). Kedua, kepastian peraturan terkait energi terbarukan. Di Indonesia, peraturan terkait energi terbarukan berubah dua kali pada 2017 dengan Permen No 12/2017 dan Permen 50/2017.

Regulasi built own operate transfer (BOOT) untuk pembangkit listrik air dan panas bumi menimbulkan risiko baru bagi kelayakan proyek. Perubahan peraturan, konon, akan membuat pelaku industri energi terbarukan kesulitan membuat proyeksi jangka panjang. Terutama terkait masalah harga kepemilikan dan skema penanggungan risiko keadaan luar biasa (force majeure). Oleh karena itu, kepastian regulasi yang jelas tak bisa tidak adalah kebutuhan yang urgen dalam rencana strategis jangka panjang

BACA JUGA: Mendorong Pasar Karbon Nusantara

Ketiga, kesehatan PLN. Kerugian PLN yang besar dan arus kas negatif terus menerus membuat perusahaan negara ini mengalami masalah memenuhi kewajiban operasional. Tarif energi terbarukan dinilai tinggi. Guna mendorong tarif pembangkit listrik berbasis terbarukan kompetitif, mau tak mau, pemerintah perlu membuat harga energi hijau jadi lebih menarik, terutama bagi pelaku investasi di sektor energi. Secara ideal, setidaknya hingga harga keekonomian energi terbarukan turun di bawah harga keekoniman bahan bakar fosil.

Isu keekonomian penting lainya adalah jaminan kepastian harga dalam power purchase agreement (PPA) untuk pembangkit terbarukan. Kalau perubahan tarif cukup signifikan, diperkirakan, dapat mempengaruhi keputusan investasi karena investor perlu waktu cukup panjang dari masa persiapan usaha sampai dapat PPA. Mengingat wilayah yang memerlukan  listrik banyak di daerah berkepadatan penduduk tinggi, sedangkan potensi energi terbarukan berada  di wilayah jarang penduduk, bagaimanapun, diperlukan investasi untuk jaringan interkoneksi sebagai resikonya. Semoga ke depan pemerintah akan lebih sensitive terhadap energi terbarukan ini dan semakin konsisten dalam merealisasikannya di tahun-tahun mendatang.

Dan persoalan-persoalan mematikan di balik kerakusan modernitas, kaganasan kapitalisme, atau imoralitas kekuasan semacam ini, yang menggerogoti masa depan kelestarian alam di negeri ini, adalah persoalan-persoalan yang harus secara terus-menerus diulas secara apik, spesifik, dan analitis di ruang publik. Dengan bauran berbagai keilmuan, baik hukum lingkungan, ilmu lingkungan, tata kota, kependudukan, ekonomi, dan kajian strategis, dan perspektif empiris atau pengalaman lapangan, akan membuat isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan menjadi semakin menarik untuk diperhatikan. 

Pendeknya, jika kita terlalu rakus melahap hari ini sembari mengorupsi masa depan miliaran masa depan generasi yang akan datang tanpa rasa bersalah sedikitpun, jika kita tak pernah ambil pusing dengan segala tetek bengek kelestarian alam dan kelangsungan alamiah dari bumi ini, maka jangan salahkan siapa-siapa jika kemudian sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, semeter demi semester, lalu satu dua tiga mil dan seterusnya, pelan-pelan alam mulai mengusir dan menyingkirkan kita.

Oleh: Ronny P.Sasmita

Direktur Eksekutif Economic Action (EconAct) Indonesia

Related Article

[related_posts]