Jika tak ada aral melintang, pemerintah segera membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Institusi pemerintah ini amanat langsung dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) sekaligus diatur secara khusus di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (PDLH). Di dalam salah satu pasalnya, disebutkan demi pengelolaan dana lingkungan hidup di Indonesia, akan dibentuk unit organisasi non-eselon dengan menggunakan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU). Dalam implementasinya, BLU ini dapat menunjuk dan menetapkan Bank Kustodian sebagai wali amanat (trustee). Kegiatan dari wali amanat ini diantaranya menilai kekayaan emiten, agen pembayaran, mengawasi perkembangan emiten dan juga memberikan nasehat kepada para investor segala sesuatu yang terkait emiten.
BPDLH akan menandai era baru pengelolaan dana lingkungan hidup di Indonesia. Sebagai fund manager, BPDLH akan berfungsi sebagai pool of funds dari berbagai dana lingkungan hidup yang selama ini datang dari banyak sumber baik dana publik, swasta dan internasional. Pemerintah selalu berupaya agar seluruh dana-dana tersebut dicatatkan dan dilaporkan (on budget-on treasury) ke dalam sistem penganggaran pemerintah (APBN). Namun tidak dipungkiri mungkin saja masih terdapat beberapa rembesan dana yang tidak tercatatkan dengan baik. Untuk itu ke depannya rembesan akan diminimalkan via BPDLH.
Era baru juga diwarnai dari sisi fleksibilitas penggunaan dana. Sistem penganggaran APBN terkadang memilki pakem dan birokrasi yang tidak mendukung penganggaran model swasta karena memang rejim yang dianut berbeda. Ambil contoh misalnya kesulitan yang dialami oleh skema APBN ketika harus memberikan mekanisme subsidi input bagi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) kepada pengembang swasta. Secara regulasi, definisi subsidi APBN hanya diperbolehkan kepada konsumen akhir bukan kepada pengusaha. Tak heran jika subsidi EBT akhirnya selalu terkendala.
BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau
Berbagai pembaruan ini dimungkinkan sesuai dengan filosofi PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Di dalam PP tersebut disebutkan pola pengelolaan BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Berdasarkan Perpres, BPDLH dapat menghimpun dana yang berasal dari APBN/APBD, sumber lain yang sah secara regulasi, pungutan pajak dan retribusi lingkungan hidup serta hibah maupun donasi internasional. Setelah dana dihimpun dan dipupuk selanjutnya disalurkan melalui skema pinjaman, hibah, subsidi, perdagangan karbon dan sistem lainnya. Semua jenis pengelolaan dana didasarkan atas kontrak/perjanjian yang memuat paling sedikit identitas para pihak, peruntukan penggunaan dana, jenis kegiatan yang akan dilakukan, besaran dana, jangka waktu pelaksanaan kegiatan serta jenis instrumen investasi yang dikehendaki.
BPDLH juga akan membentuk akun tersendiri untuk masing-masing jenis perikatan yang dihasilkan. Nomenklatur akun tersebut disesuaikan dengan window sektoral yang nantinya akan diciptakan. Beberapa window sektoral yang sudah disiapkan diantaranya window mitigasi perubahan iklim (MPI), adaptasi perubahan iklim (API), investasi lingkungan dan juga renewable energy (RE). Masing-masing window akan bertanggung jawab atas pemanfaatan dana mulai dari sisi perencanaan awal hingga penyusunan output/outcome serta monitoring dan evaluasi program.
Ekosistem pasar karbon
Jumlah pengelolaan bisnis model BLU oleh pemerintah saat ini sudah banyak. Meski berstatus BLU dan tidak mementingkan keuntungan, nyatanya pendapatannya justru meroket. Hingga akhir tahun lalu, total pendapatan BLU yang tercatat masuk ke dalam pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sekitar Rp53,4 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 13,35% dibandingkan realisasi yang sama tahun 2017 dengan 74% dari total BLU mampu melampaui pendapatan.
BPDLH nantinya menawarkan keunikan tersendiri terkait dengan fasilitas perdagangan karbon jika dibandingkan BLU sebelumnya. Meski masih awam, pemerintah sudah memilki sejumlah infrastruktur dalam membangun pasar karbon nusantara. Kelengkapan regulasi dan komitmen politik sangat mendukung pembentukan ekosistem pasar karbon itu sendiri. Secara nasional, pemerintah memiliki janji penurunan emisi melalui Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Target tersebut kemudian dilengkapi dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan pendanaan APBN/APBD dan 41% di tahun 2030 jika mendapatkan tambahan alokasi dana internasional.
Beberapa pengamat juga meyakinkan bahwa ekosistem pasar karbon ke depannya akan memegang peran yang vital dalam mendukung upaya pencapaian target NDC pemerintah. Perlu diingat bahwa kapasitas pendanaan publik melalui APBN/APBD memiliki banyak keterbatasan. Permasalahan prioritas anggaran sektoral memaksa kemampuan pendanaan publik tak lebih dari 20% dari total kebutuhan. Karenanya diperlukan adanya terobosan mekanisme pendanaan inovatif. Dan pasar karbon dapat menjadi solusi terdepan menjawab kebutuhan ini.
BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa Musti Menang ?
Dalam pembukaan EBTKE Connect tahun 2019 kemarin, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) pun menyampaikan hal yang sama bahwa salah satu cita-cita utama Beliau adalah menjadikan pasar karbon sebagai bisnis lingkungan hidup masa depan yang memberikan banyak manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana cara menciptakan harapan tersebut ? Pertama, BPDLH harus mampu menjadi stand by buyer bagi perdagangan karbon nusantara. Idealnya, seluruh pengembang pasar karbon secara voluntary diperbolehkan menjual karbon ke pasar domestik maupun internasional. Pemerintah tidak perlu mewajibkan untuk menjual ke pasar domestik saja karena dikhawatirkan justru akan meimbulkan distorsi market.
Tugas dan kewajiban negara adalah menciptakan pasar yang kompetitif dan memberikan kepastian regulasi bagi para pelaku pasar nantinya. Ketika harga yang diperoleh tidak kompetitif dibandingkan biaya administrasi, pihak tersebut dapat menjual karbonnya ke BPDLH yang kemudian akan membeli dikisaran harga dasar (floor price). Ketika konsep ini dilakukan berulang-ulang, penulis yakin bahwa pasar karbon nusantara akan terbentuk dengan sendirinya via pembentukan demand di pasar domestik.
Ketika stok karbon yang dicatatkan BPDLH sudah memenuhi target pemenuhan NDC, maka BPDLH kemudian layak memperdagangkan karbon di pasar internasional maupun domestik dengan tetap mengedepankan aspek yuridiksi. Pendekatan yang digunakan adalah yurisdiction approach dengan meneguhkan batas-batas wilayah administrasi sektoral. Ketika mencapai tahapan ini, BPDLH mulai memperhitungkan selisih harga beli dan harga jual (trading) demi memupuk laba yang dikembalikan sebagai operasional membesarkan bisnis BPDLH sekaligus memperbaiki harga dasar pembelian karbon. Manajemen BPDLH juga wajib mengupdate harga rujukan harga karbon ini setiap periode tertentu.
Alternatif metode lainnya adalah mekanisme cap and trade yang akan dilakukan BPDLH dengan melihat potensi berbagai sektor yang sekiranya siap menjalankan perdagangan ini. Sektor industri baja dan semen, sektor penerbangan, food and beverage dan fast moving goods dipercaya sebagai sektor-sektor unggulan yang siap menjadi pionir implementasi. Seluruh sektor tersebut akan difasilitasi oleh BPDLH yang sudah memiliki etalase karbon.
Sebagai penguatan, pemerintah juga dapat menciptakan demand karbon melalui konektivitas skema pembayaran pinjaman usaha yang dipakai untuk bisnis yang bersifat green. Dapat pula dimunculkan ide menjadikan karbon sebagai pengurang kewajiban pajak ke depannya. Jika semua hal tersebut dapat diwujudkan, secara perlahan namun pasti ekosistem pasar karbon nusantara akan segera terbangun dan Indonesia dapat memainkan peran terdepan dalam perdagangan karbon global.
Oleh: Joko Tri Haryanto
Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.