Madani

Tentang Kami

Alam dalam Perencanaan Pembangunan Indonesia

Alam selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konteks pembangunan. Hal ini tak mengherankan karena alam dapat menjadi pendukung sekaligus penghambat bagi pembangunan itu sendiri.

Oleh karenanya, pembangunan yang tetap memperhatikan kaidah pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang wajib diperhatikan bagi seluruh negara, termasuk Indonesia yang telah berkomitmen melalui ratifikasi Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.

Berbicara tentang pembangunan, maka tak afdol rasanya jika kita tidak membicarakan perihal perencanaan pembangunan. Dalam konteks Indonesia, kita mengenal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai bentuk dari perencanaan pembangunan Indonesia dalam lima tahun ke depan. RPJMN ini merumuskan peta potensi permasalahan yang akan terjadi serta merumuskan bagaimana solusi untuk permasalahannya.

Pada akhir tahun 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) berencana untuk menerbitkan RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahapan terakhir dari pencapaian visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005- 2025. Sembari menunggu Presiden terpilih dilantik, Kementerian PPN/Bappenas menerbitkan Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 yang nantinya rancangan ini akan disinkronisasikan dengan visi-misi dari Presiden terpilih.

Akan tetapi, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 ini, khususnya dalam konteks kehutanan dan masyarakat adat yang menjadi bagian integral dari alam. Apakah rancangan tersebut sudah cukup inklusif terhadap masyarakat dan perlindungan hutan?

Catatan Penting Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024

Pertama, pemerintah belum secara serius akan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat adat. Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, pemerintah tidak secara eksplisit menargetkan penyelesaian permasalahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat.

Berbeda dengan permasalahan lingkungan hidup – di mana terdapat profil lingkungan yang hendak dicapai, untuk penyelesaian permasalahan masyarakat adat tidak ada angka yang pasti ditargetkan. Hal ini berbeda dengan RPJMN 2015-2019 di mana ada angka yang pasti ditargetkan – semisal pemerintah berkomitmen mengalokasikan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk sejumlah skema perhutanan sosial termasuk hutan adat.

Selain itu, pemerintah tidak menjadikan pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai agenda prioritas dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024. Padahal, RUU Masyarakat Adat merupakan payung hukum bagi masyarakat adat untuk mendapatkan hak-haknya yang belum dijamin oleh pemerintah.

Kedua, pemerintah belum secara konkret mengatur bagaimana langkah untuk menanggulangi permasalahan tiadanya kebijakan atau regulasi yang efektif dalam konteks kehutanan. Berdasarkan analisis tutupan lahan yang tercantum dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, selama tujuh tahun penerapan Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut, sedikitnya tiga juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut atau – kira-kira setara dengan lima kali luas pulau Bali – telah habis dikonversi untuk penggunaan lain.

Dengan melihat fakta tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kebijakan Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut tidak berjalan efektif dikarenakan kebijakan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta adanya pengecualian lahan yang tidak dilindungi oleh kebijakan moratorium. Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 baru sebatas akan melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas regulasi secara umum sehingga hal ini belum secara spesifik menyasar peningkatan kualitas regulasi dan kebijakan terhadap konteks kehutanan yang selama ini kerap menjadi permasalahan.

Ketiga, tidak adanya agenda peninjauan kembali izin-izin lahan yang berpotensi menimbulkan adanya kehilangan hutan primer dan lahan gambut. Dalam temuan Chain Reaction Research, disebutkan bahwa 6,1 juta hektar (ha) hutan primer dan lahan gambut masih tersisa di areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Lahan tersebut dapat dianggap sebagai stranded assets atau aset terlantar lantaran perusahaan yang memiliki izin hak guna usaha (HGU) mematuhi kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE).

Dalam hal ini, perusahaan diperkenankan untuk memanfaatkan lahan tersebut secara legal lantaran sudah mendapatkan izin HGU apabila perusahaan ingin meningkatkan produktivitasnya walaupun melanggar kebijakan NDPE. Jumlah total lahan tersebut tidak dilindungi oleh kebijakan Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut lantaran dalam kebijakan ini disebutkan bahwa lahan pengecualian yang dilindungi oleh Inpres, salah satunya yaitu lahan yang telah mendapatkan izin persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan sebelum Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Terakhir, pemerintah tidak memasukkan bagaimana strategi yang akan ditempuh dalam penyelesaian konflik tenurial. Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan adanya penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan. Namun, dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, tidak dijelaskan bagaimana strategi atau upaya untuk menyelesaikan konflik tenurial dalam kawasan hutan.

Penyelesaian konflik tenurial sendiri memerlukan adanya peran aktif antar stakeholder guna membangun koordinasi, komunikasi, hingga kesetaraan berbagai pihak baik yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam konflik.

Hal yang Perlu Dilakukan

Dari beberapa catatan tersebut, ada beberapa hal perlu diperbaiki oleh pemerintah sebelum menerbitkan RPJMN 2020-2024 pada akhir tahun nanti. Pertama, pemerintah perlu menjadikan pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai agenda prioritas dalam RPJMN 2020-2024 versi final.

Hal ini dapat menjadi langkah konkret dari pemerintah dalam menanggulangi permasalahan masyarakat adat yang selama ini kerap ditemui. Selain itu, pemerintah perlu memiliki angka target secara pasti perihal penyelesaian permasalahan yang menimpa masyarakat adat sehingga pemerintah memiliki benchmark dalam upayanya dalam menanggulangi permasalahan masyarakat adat.

Kedua, untuk mencapai target luas minimal hutan primer dan target luas minimal lahan gambut yang dipertahankan pada RPJMN 2020-2024, serta untuk menanggulangi permasalahan yang selalu ditemukan dalam bidang lingkungan hidup yaitu menyangkut kualitas regulasi dan kebijakan, maka dalam RPJMN 2020-2024 perlu dimasukkan adanya agenda penguatan regulasi dan kebijakan dalam bidang lingkungan hidup secara spesifik – semisal peningkatan status kebijakan dari hanya berbentuk Inpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut menjadi Regulasi Perpres Moratorium Hutan dan Lahan Gambut.

Ketiga, RPJMN 2020-2024 perlu menetapkan agenda adanya peninjauan kembali izin-izin persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan sebelum Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Hal ini dilakukan guna mencegah hilangnya potensi konversi penggunaan hutan primer dan lahan gambut bagi pembangunan.

Terakhir, RPJMN 2020-2024 perlu mencantumkan agenda strategi kolaborasi antar-stakeholder untuk penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan. Hal ini dilakukan agar mendapatkan suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu konflik tenurial.

Suatu kesepakatan dalam konflik tenurial tidak bisa diintepretasikan atau dirumuskan hanya oleh salah satu pihak. Dengan demikian, kolaborasi menjadi hal yang penting mengingat hukum nasional yang bersifat positivistik sehingga berdampak pada seringnya masyarakat adat sebagai pihak yang paling dirugikan dalam konflik tenurial.

Penulis : Muhammad Arief Virgy
Insight Analyst di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah diangkat Pinter Politik pada 22 November 2019.

Related Article

id_IDID