Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Indonesia sesumbar bahwa pengembangan sektor energinya lebih ambisius ketimbang negara lain di dunia. Pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT Perubahan Iklim COP26 Glasgow mengklaim Indonesia sudah jauh melangkah dalam memanfaatkan energi baru terbarukan.

Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean energy termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, di Kalimantan Utara,” mengutip isi pidato Presiden Joko Widodo dalam KTT COP26 Glasgow Senin, 1 November 2021. 

Indonesia mendapatkan sumber biofuel dari minyak kelapa sawit. Kebijakan mandatori  biodiesel misalnya, berlangsung progresif di mana sejak 2008 Indonesia menargetkan 20% bauran energi di tahun 2025. Realisasi bauran  minyak sawit 20% (B20) pada 2018 dan B30 di tahun 2020. Melansir siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI dalam “Refleksi Industri Sawit 2020 dan Prospek 2021” menyebut tahun 2020 konsumsi biodiesel naik dari tahun 2019 seiring dengan perubahan kebijakan dari B20 menjadi B30. Total konsumsi tahun 2020 sebesar 17,35 juta ton (merupakan konsumsi domestik) naik 3,6% dari tahun 2019 (16,75 juta ton). 

Bahan bakar nabati ini digadang-gadang mampu memenuhi ambisi target iklim Indonesia.  Dominasi feedstock minyak sawit dianggap bernilai lebih ketimbang sumber feedstock lain. “Ketika kita punya kebijakan biodiesel yang progresif itu akan menekan risiko kebutuhan lahan lebih banyak,” ungkap Kepala kajian ekonomi lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia Dr. Alin Halimatussadiah dalam Workshop Menelaah Potensi Bahan Bakar Nabati Indonesia, Selasa, 16 November 2021. 

Laporan Studi: Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan, LPEM FEB UI 2020 (asumsi tidak ada peremajaan/replanting) menemukan risiko ekspansi lahan dari kebijakan biodiesel (B20, B30, B50) membutuhkan 3% lahan (skenario 1/B20), 39% lahan (skenario 2/B30), dan 70% (skenario 3/B50).  Skenario 3/B50 misalnya, butuh ekspansi lahan seluas 5,19 juta ha (2019); 1,69 juta ha (2020); 1,30 juta ha (2021) dan 1,11 juta ha (2022). 

Proyeksi ekspansi lahan sawit demi realisasi ambisi iklim Indonesia juga disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM Arifin Tasrif. “1 juta barel per hari minyak itu kalau mau ganti ke CPO, kita butuh 15 juta ha kebun CPO baru. Itu hasil kajian dari kita,” ucap Arifin  dalam rapat dengan Komisi VII DPR (bidang energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup), Senin, 23 November 2020.  15 juta ha, fantastis bukan? Seluas tiga pulau di Indonesia (Jawa, Bali, dan Lampung) atau setara dengan 227 luas wilayah ibukota negara!

Indonesia memiliki target sektor energi biofuel 46% di tahun 2050. Kebijakan yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/ LTS LCCR  2050 ini mengutamakan sektor transportasi. 

Karena memang pilihannya itu sulit. Kita mau ga mau pakai biofuel untuk mencapai NZE. Karena electric vehicle/EV tidak bisa digunakan untuk semua jenis transportasi. Risikonya di sektor kehutanan,” ungkap Alin, perempuan penerima gelar doktoral UI bidang ekonomi sumber daya alam dan lingkungan pada 2013 ini. 

Pasok Feedstock Alternatif dari Lahan Tersisa

Sawit bukan satu-satunya sumber bahan bakar nabati/BBN nasional. Yayasan Madani Berkelanjutan misalnya menawarkan untuk mencari bahan baku energi yang tidak hanya rendah karbon tapi juga ramah lingkungan. GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal mengatakan terdapat dua potensi lahan untuk pengembangan feedstock BBN berkelanjutan. Pertama, potensi ketersediaan lahan. Terdapat 2,27 juta ha lahan di luar hutan dan di kawasan hutan (hutan produksi tetap dan hutan produksi yang bisa dikonversi).  

Sederhananya kawasan itu coba kita pilah berdasarkan aspek ekologis (hutan alamnya, gambut, habitat lebih dari 15 flora dan fauna), kita keluarkan juga izin yang konsisting. Coba kita keluarkan dari aspek perlindungan hutan dan lahan yang diusung pemerintah. Terakhir fokus pada tutupan lahan yang memang mungkin diusahakan (pemukiman misalnya). Kami keluarkan dari analisis ini sehingga meliputi tutupan lahan yang mungkin seperti semak, semak belukar, savana, tanah terbuka,” papar Fadli dalam Workshop “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati,” Rabu, 17 November 2021. 

Fadli mengatakan dari pemilahan tersebut tersisa 2.269.318 ha dari luasan yang ada yaitu 138.396.905 ha. Luasan ini tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Papua. Dari akumulasi lahan tersedia di tiap provinsi Jambi memiliki lahan terluas yaitu 371 ribu ha lahan tersedia/tersisa. Ini menjadi acuan Madani untuk menggali komoditas lokal yang ada di wilayah terpantau. 

Dari komoditi eksisting daerah yang dihimpun dari BKPM 2012-2017 dengan produksi di atas 20 ton per tahun terdapat Kelapa (969,278 ha), ubi kayu (913,130 ha), Ubi jalar (912,469 ha), Jagung (912,228 ha), Pinang (574,705 ha), Aren (538,819 ha), Tebu (172,880 ha), Jarak (100,745 ha). Meski begitu, Fadli mengatakan butuh penelitian lebih lanjut terkait dengan kecocokan lahan dengan jenis komoditas eksisting. 

Kedua, optimalisasi lahan di dalam izin sawit. “Melihat izin sawit yang ada saat ini dan bagaimana sisa lahan yang belum menjadi sawit bisa dioptimalkan jika memang pilihannya mengembangkan sawit untuk biodiesel,” kata Fadli. 

Madani mencatat data luas izin/usaha sawit eksisting per 2020 terdapat 22.219.508 ha izin sawit. Dengan menggunakan metodologi serupa maka ditemukan lahan tersisa seluas 1.162.648 ha luas lahan di dalam izin sawit. Temuan ini relatif menyebar. Dari akumulasi lahan tersisa di tiap provinsi, Kalimantan Timur memiliki lahan tersisa paling luas yaitu 470 ribu ha. Dari sisa luasan tersebut terdapat tumpang tindih izin, tertinggi tumpang tindih dengan minerba sebesar 264.591 ha. Dari luasan tumpang tindih perizinan inilah Madani memilah dan menghitung lagi hingga tersisa 613 ribu ha. Angka tersebut meliputi 287,021 ha (belum terdata), 167,434 ha IUP, 85,836 ha HGU, 73,322 ha ILOK, 20 ha hak milik. 

Terdapat potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan feedstock BBN selain sawit. Meskipun memang itu harus kita telaah lebih dalam lagi terkait kecocokan tanah dengan komoditasnya. Pilihan kedua jika memang sawit menjadi pilihan pengembangan feedstock BBN maka tata kelola adalah hal yang paling pertama yang harus kita perhatikan bersama,” pungkas Fadli mengakhiri presentasi.  

Libatkan Pekebun Mandiri, Topang dengan Instruksi Pemerintah

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 menetapkan luas tutupan kelapa sawit Indonesia tahun 2019 adalah 16.381.959 ha. Proporsi kepemilikan tersebut meliputi 41% (6,72 juta ha) perkebunan rakyat, 53% (8,68 juta ha) perusahaan swasta, 6% (0,98 juta ha) milik BUMN/pemerintah. Prosentase tersebut menunjukkan pentingnya peran pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok sawit nasional sebagai penyokong kebijakan biodiesel berkelanjutan. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian juga menunjukkan kontribusi pekebun mandiri kelapa sawit mencapai 2.740.747 KK (2019)

Dalam Working Paper 3-2020 “Rantai Pasok CPO Pekebun Mandiri Dalam Tata Niaga Biodiesel,” Traction Energy Asia mengasumsikan jika setiap rumah tangga pekebun mandiri kelapa sawit mempekerjakan 2 orang, maka kegiatan tersebut berpotensi menyediakan lapangan pekerjaan bagi 5.481.494 orang. Traction Energy Asia juga mendorong transparansi dan keterlacakan  rantai pasok biodiesel yang digunakan dalam bauran energi. Hal ini penting sebagai upaya memastikan bahwa kebijakan biodiesel benar-benar menggunakan feedstock minyak sawit yang rendah emisi. Caranya dengan melibatkan pekebun mandiri kelapa sawit ke dalam rantai pasok biodiesel. 

Studi Traction Asia menemukan karakteristik pekebun mandiri kelapa sawit adalah pekebun yang memiliki lahan kurang atau sama dengan 5 hektare, produktivitas rendah (kurang dari 3 ton per hektare setiap panen), pendidikan maksimal SMA, belum menggunakan bibit bersertifikat, tidak rutin mengelola dan merawat kebun , masih bergantung kepada tengkulak (dalam menjual produk/TDS), memiliki usaha sampingan. 

Langkah kemitraan perusahaan dengan pekebun mandiri kelapa sawit memiliki keuntungan bagi keduanya, termasuk bagi negara. Pekebun mandiri mendapat kepastian pasar, harga jual stabil, dan meningkatkan kesejahteraan. Sebaliknya perusahaan mendapat pasokan bahan baku tanpa harus membuka lahan baru, menjadi portofolio yang menguatkan kredibilitas perusahaan dalam mendukung energi lestari. Selain itu kemitraan ini juga berpeluang menyasar segmen market yang peduli pada isu lingkungan dan kesejahteraan. Apalagi, pasar global saat ini, utamanya Uni Eropa menetapkan batas perdagangan hanya kepada perusahaan yang mendukung kebun sawit berkelanjutan. 

Lantas, apa relevansinya kemitraan tersebut bagi negara? Working paper Traction Energy Asia mengungkap pemerintah bisa menjalankan program sawit dalam kebijakan biodiesel secara inklusif dan rendah emisi. Ini bisa dicapai bila negara berani menerbitkan peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan biodiesel hanya membeli minyak sawitnya dari perusahaan yang bermitra dengan pekebun mandiri kelapa sawit. 

Langkah ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan Pak Jokowi dalam peresmian implementasi program biodiesel 30 persen (B30) di SPBU Pertamina 31 – 128.02 Jalan M.T. Haryono, Jakarta, Senin, 23 Desember 2019, “Penerapan B30 akan menciptakan permintaan domestik CPO yang sangat besar, selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani, pekebun kelapa sawit kita.” 

Related Article

[related_posts]