Kebijakan moratorium hutan dianggap penting oleh banyak pihak dalam melindungi hutan Indonesia yang tersisa dan menanggulangi perubahan iklim global. Berdasarkan data pemerintah RI, luas hutan alam tropis Indonesia pada 2017 mencapai 89,4 juta hektare, terbesar ketiga di dunia dan menutupi hampir setengah atau 47,5 persen dari daratan Indonesia. Namun, hutan Indonesia juga menghilang dengan sangat cepat. Menurut FAO, Indonesia adalah negara dengan laju kehilangan hutan tercepat kedua di dunia pada periode 2010-2015 setelah Brasil dengan deforestasi sebanyak 684 ribu hektare per tahun.
Pemerintah Indonesia menekankan efektivitas kebijakan moratorium hutan dalam menurunkan deforestasi. Menurut pemerintah, deforestasi Indonesia menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB. Meskipun demikian, deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di wilayah Nusantara, termasuk di wilayah moratorium. Analisis Greenpeace menyatakan bahwa deforestasi tahunan rata-rata di wilayah moratorium setelah kebijakan ini diberlakukan (periode 2012-2018) lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum kebijakan ini diberlakukan (periode 2005-2011), yakni 137 ribu hektare per tahun berbanding 97 ribu hektare per tahun meskipun pemerintah telah menampik klaim ini.
Dalam kurun waktu delapan tahun sejak moratorium diberlakukan, luasan hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi oleh kebijakan moratorium berkurang 3 juta hektare dari 69 juta hektare pada 2011 menjadi 66 juta hektare pada 2018. Pada 7 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo akhirnya mempermanenkan kebijakan ini melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, 18 hari setelah Inpres sebelumnya berakhir pada 17 Juli 2019.
Catatan Kritis ini mencoba mencermati ruang lingkup perlindungan hutan alam dan gambut yang diberikan oleh Inpres No. 5 Tahun 2019 dengan berbagai pengecualian yang ada di dalamnya serta melihat pelaksanaan kebijakan moratorium selama ini. Catatan Kritis ini mengakhiri temuan dengan pertanyaan-pertanyaan kunci yang kami harap dapat menjadi pemicu dialog konstruktif di antara para pihak untuk meningkatkan perlindungan hutan alam dan gambut Indonesia ke depan, khususnya pada periode pertama komitmen iklim Indonesia (NDC) yang akan dimulai pada Januari 2020.