Sesaat setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan bahwa ada dua orang warga negara Indonesia yang positif mengidap virus Korona (Covid-19), sesaat setelah itu pula masker pelindung wajah dalam hitungan detik ludes diborong warga yang panik.
Saya rasa kita semua merasakan bahwa ada kepanikan dari masyarakat dalam menanggapi informasi dari orang nomor satu di negeri ini. Panic buying atau aksi berbelanja dengan penuh kepanikan yang menimpa masyarakat tentu bukan tak berdasar, karena wajar, ancaman virus korona yang begitu nyata seakan memposisikan masyarakat di titik krusial antara hidup dan mati, masyarakat benar-benar dibuat seolah seekor ikan kecil yang sedang dikejar-kejar predatornya.
Faktanya, jumlah korban meninggal dunia akibat terinfeksi virus korona di seluruh dunia sampai Kamis (5/3), mencapai 3.254 orang dari 95.124 orang yang terinfeksi secara global, (CNN Indonesia, 5/3).
Rasa takut yang timbul dan menghantui membuat alam bawah sadar tergerak untuk langsung berlindung dari ancaman yang ada, hal ini jelas sangat manusiawi. Rasa takut tersebut tentu bukan hanya dapat terjadi karena virus belaka, rasa takut tersebut juga sama halnya ketika manusia dihadapkan dengan ancaman teror seperti peperangan atau juga terorisme yang ancamannya ada di depan mata. Sebagai manusia secara alami seseorang akan segera berlindung dari risiko terburuk yakni kematian.
Ancaman Krisis Iklim
Lain halnya dengan ancaman yang diberikan oleh bencana, salah satunya krisis iklim dunia. Jika dibandingkan antara fenomena ancaman virus korona maupun teror lainnya dengan ancaman krisis iklim yang kini juga sedang terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap krisis iklim jauh lebih kecil.
Sah-sah saja jika banyak pihak menyimpulkan bahwa masyarakat khususnya para pemangku kepentingan telah abai terhadap ancaman nyata krisis iklim karena tidak menanggapinya dengan pro-aktif. Padahal sudah diketahui bahwa krisis iklim memiliki daya ledak yang jauh lebih parah dibandingkan dengan ancaman-ancaman lainnya. Namun perbedaannya, krisis iklim tidak dengan secara langsung atau terlihat secara kasat mata memberikan dampak teror atau membunuh kepada manusia.
Terpikir di benak saya, apakah perlu krisis iklim dibuat layaknya sebuah teror agar masyarakat dan semua pihak sadar bahwa ancaman ini adalah benar-benar nyata dan mengkhawatirkan bagi masa depan.
Krisis Iklim dan Kesehatan
Kabar yang paling mengejutkan lagi, ternyata ada hubungannya antara krisis iklim yang terjadi di dunia dengan perkembangan virus-virus yang selama ini menjadi momok menakutkan. Pakar Virologi yang juga spesialis mikrobiologi RS Universitas Indonesia, Fera Ibrahim mengemukakan bahwa beberapa faktor krisis iklim berperan dalam perkembangan dan penyebaran wabah virus.
Kerusakan ekosistem hewan akibat aktivitas manusia, telah meningkatkan dampak buruk lingkungan sehingga membuat perkembangan virus semakin pesat. Faktanya penyakit yang menular dari hewan ke manusia atau yang dikenal dengan Zoonosis meningkat bersamaan dengan semakin tingginya kontak manusia dengan hewan liar. Dalam kasus korona terbaru ini, faktor lingkungan seperti sinar UV dan sebagainya bisa juga memengaruhi materi genetiknya dan secara spontan bermutasi.
Dalam hal ini, jelas bahwa krisis iklim tidak hanya memicu terjadinya bencana alam, kenaikan suhu yang begitu signifikan, melainkan juga penurunan kesehatan manusia sehingga sangat mudah untuk terserang beragam jenis penyakit.
Terkait dengan hal ini juga, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sempat merilis sebuah laporan yang berjudul “Climate Change and Human Health – Risks and Responses” (2003) yang menyebut bahwa perubahan iklim atau kini paling tepat disebut krisis iklim akan berdampak pada : pertama, mereka yang terpapar langsung dari perubahan cuaca secara ekstrem. Jelas bahwa cuaca yang begitu panas akan memicu munculnya permasalahan yang beragam, tubuh pun harus berusaha untuk beradaptasi dengan cuaca yang berubah begitu signifikan.
Kedua, mereka yang kesehatannya terdampak dari kondisi lingkungan yang secara bertahap memburuk akibat perubahan iklim. Dampak secara bertahap yang paling terlihat secara kasat mata adalah perubahan musim yang tidak teratur, misalnya saja di Indonesia rentan waktu musim hujan yang tidak menentu serta intensitas hujan yang di luar prediksi membuat beberapa titik lokasi yang biasanya tidak terkena banjir jadi ikut tergenang.
Ketiga, konsekuensi gangguan kesehatan yang beragam seperti trauma, penyakit menular seperti virus korona ini, kekurangan gizi, gangguan psikologis, dan banyak lainnya akibat dislokasi populasi dari perubahan iklim. Dalam hal ini, mereka yang hidup di tempat dengan sanitasi buruk, udara yang terpolusi, dan nutrisi kurang, akan menyebabkan imun tubuh melemah, sehingga membuat tubuh rentan dan mempercepat penyebaran penyakit.
Oleh karena itu, menyelesaikan masalah dengan memulai di akar permasalahan adalah solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan korona atau virus-virus lainnya yang mungkin saja akan muncul di kemudian hari. Benar bahwa antisipasi virus seperti korona wajib dilakukan secepat mungkin agar penyebaran dan dampaknya terhadap sektor lainnya selain kesehatan manusia dapat diminimalisir.
Tidak terlepas dari hubungan antara korona dan krisis iklim ini, belum lama ini juga NASA menyebarkan citra satelit yang menggambarkan bahwa virus korona berhasil menekan lajunya polusi di China. Sampai-sampai, polusi di China seolah terhapus seketika dari permukaan bumi.
Saya pun lantas berpikir, jangan-jangan, fenomena virus korona ini adalah bentuk ekspresi bumi untuk membersihkan dirinya sendiri karena merasa terlalu lelah dengan polusi yang semakin mencekam. (*)
Oleh : Delly Ferdian
Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan
Artikel telah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 06 Maret 2020.