Madani

Tentang Kami

GAGALNYA PERUNDINGAN G20 DI BALI PICU KEKHAWATIRAN MUNDURNYA JANJI IKLIM

Para menteri iklim dan energi berselisih mengenai Ukraina, keuangan iklim, metana, pengiriman, pungutan karbon, dan ambisi 1,5 °C atau 2 °C yang harus menjadi batas pemanasan global

Para menteri energi dan iklim dari beberapa negara ekonomi terbesar dunia gagal menyepakati komunike bersama pada pertemuan G20 di Bali, Indonesia. Dengan dua bulan waktu tersisa menuju KTT COP27, tuan rumah Mesir COP27 memperingatkan negara-negara G20 agar tidak ada “kemunduran” komitmen iklim.

Draf teks komunike yang dilihat oleh Climate Home News menunjukkan bahwa para menteri G20 berbeda pandangan terkait bahasa yang digunakan bagi perang Rusia di Ukraina, keuangan iklim, dan mana yang seharusnya menjadi target iklim dunia—pembatasan kenaikan suhu bumi di atas 1,5 atau 2 °Celsius. 

Setelah perundingan gagal, Presiden COP26, Alok Sharma, dan Presiden COP27 yang akan datang, Sameh Shoukry, memberikan peringatan bagi negara-negara yang mengendorkan janji iklimnya.

Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, mengatakan, “Anggota G20 harus mengambil peran utama dalam memastikan bahwa tantangan hasil dari situasi global saat ini tidak menjadi alasan atau pembenaran bagi penundaan terus-menerus dalam memenuhi janji iklim atau pengunduran diri  dari hasil kerja keras perjuangan global melawan perubahan iklim.”

“Adalah suatu hal yang mengkhawatirkan untuk melihat batubara muncul kembali sebagai sumber energi di beberapa bagian dunia,” katanya, seraya menambahkan bahwa kekurangan pendanaan iklim juga mengkhawatirkan.: “Ini juga menyangkut komitmen pendanaan iklim, terutama janji $100 miliar dolar A.S., yang implementasinya masih tertinggal  jauh  sedangkan kebutuhan negara berkembang terus meningkat.”

Alok Sharma, anggota parlemen Inggris yang memimpin perundingan iklim tahun lalu, mengatakan, “Tentu saja apa yang kami lihat adalah sejumlah negara yang mundur dari komitmen yang mereka buat di Paris pada tahun 2015 dan di Glasgow tahun lalu.” Baik Sharma maupun Shoukry tidak menyebut negara manapun.

Seorang menteri yang hadir menjelaskan pertemuan tersebut kepada Climate Home mengatakan, “tidak ada yang terjadi di Bali. Kegagalan. Kepresidenan yang lemah.”

Para menteri iklim dan lingkungan hidup mengadakan pertemuan satu hari pada hari Rabu dan para menteri energi bersidang pada hari Kamis. Tidak ada kelompok yang bisa menyepakati komunike bersama. Sebagai gantinya, “Bali Compact” diharapkan akan diterbitkan.

Climate Home telah berbicara dengan beberapa sumber di Bali dan melihat dokumen yang menunjukkan bahwa kedua kelompok menteri menghadapi perbedaan yang sama.

Invasi Rusia ke Ukraina

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia sekaligus perwakilan iklim Indonesia, memulai dialog dengan dengan permohonan untuk “membangun jembatan, bukan tembok”. Utusan iklim Italia Alessandro Modiano menyerukan komunike tingkat menteri untuk mengikutsertakan bahasa yang, “mencerminkan perang agresi Rusia yang tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan terhadap Ukraina”.

Sebuah draf teks menyatakan bahwa, “beberapa anggota mencatat bahwa tantangan yang ada untuk mengatasi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati telah diperburuk oleh perang di Ukraina.” Namun teks teks tersebut tidak akan pernah disetujui oleh Rusia dan sehingga teksnya tidak bisa menjadi teks bersama.

Diskusi serupa terjadi antara para menteri energi. Usulan bahasa yang menganggap perang di Ukraina bertanggung jawab atas melonjaknya harga energi dan penurunan ekonomi global didukung oleh negara-negara G7, tetapi ditentang oleh negara-negara berkembang, termasuk Rusia, menurut suatu sumber.

Keuangan iklim

Draf teksnya juga menunjukkan ada ketidaksepakatan tentang seberapa kuat komunike bersama perlu mengkritik kegagalan negara-negara kaya untuk memenuhi janji pendanaan iklim senilai $100 miliar dolar A.S. bagi negara-negara berkembang pada tahun 2020.

Ada ketidaksepakatan lebih lanjut tentang seberapa besar penekanan pada “kerugian dan kerusakan”⁠—mengacu pada kerusakan yang disebabkan oleh dampak iklim yang tidak dapat dipulihkan atau diadaptasikan.

Negara-negara berkembang telah menyerukan pembiayaan kerugian dan kerusakan yang ditentukan terlebih dahulu yang kemudian dibayar oleh negara-negara yang paling bertanggung jawab menyebabkan perubahan iklim. Negara-negara kaya sejauh ini menolak.

Ambisi

Perselisihan yang berlangsung lama mengenai apakah akan menekankan pembatasan pemanasan global “jauh di bawah 2 °C” atau hingga 1,5 °C di atas tingkat praindustri terus berlanjut. Di dalam Perjanjian Paris, negara-negara sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global hingga “jauh di bawah 2 °C” dan “mengejar upaya” untuk membatasi hingga 1,5 °C.

Sumber kedua pada pembicaraan tersebut mengatakan kepada Climate Home bahwa Tiongkok dan India mendorong penekanan 2 °C, dengan perwakilan Tiongkok menggambarkannya sebagai lebih “layak secara ilmiah”.

Saat COP26, semua negara sepakat untuk “meninjau kembali dan memperkuat” target iklim 2030 mereka pada akhir 2022. Sejak saat itu, hanya sedikit negara yang melakukannya.

Sebuah proposal untuk mengulangi perjanjian dengan tenggat waktu pengikutsertaan dalam laporan sintesis PBB pada 23 September juga tidak menemukan konsensus.

Sementara itu, India mendorong penggunaan istilah tujuan ‘global net zero’. Usulannya ditentang Jerman dan Uni Eropa yang berpendapat bahwa hal tersebut mengalihkan perhatian dari tindakan pada tahun 2020-an, kata sumber Climate Home.

Tanda kurung siku

Sumber ketiga di Bali mengatakan kepada Climate Home bahwa Indonesia, yang telah kehilangan hampir 20% tutupan pohonnya sejak tahun 2000, memimpin penentangan bahasa yang keras terkait deforestasi dan degradasi lahan.

Tidak ada kesepakatan tentang bahasa untuk mengurangi emisi metana meskipun lebih dari 100 negara menandatangani perjanjian metana global saat COP26 untuk mengurangi emisi metana kolektif 30% pada tahun 2030. Tiongkok,, India, dan Rusia belum turut serta.

Draf teks tersebut mengusulkan bahasa untuk membersihkan industri perkapalan, tetapi  masih dalam tanda kurung yang berarti tidak ada kesepakatan.

Draf teksnya juga menyebut usulan untuk “menghilangkan tindakan sepihak dan lintas batas serta hambatan yang tidak kondusif untuk mengatasi tantangan perubahan iklim” – referensi untuk pungutan karbon yang diadopsi oleh EU atas barang impor dari negara-negara dengan standar lingkungan yang lebih rendah.

Tiongkok, India, Brazil, dan Afrika Selatan sebelumnya menyebut pajak perbatasan karbon yang direncanakan EU bersifat  “sepihak” dan “diskriminatif”. Sebagai tanggapannya, EU mengusulkan teks alternatif yang mempromosikan “dialog dalam desain dan pelaksanaan langkah-langkah kebijakan domestik, konsisten dengan aturan internasional”.

Sumber:

Collapse of G20 talks in Bali spark fears of ‘backtracking’ on climate pledges

 

Related Article

id_IDID