Madani

Tentang Kami

Hakikat Hutan

Izinkan saya memulai tulisan ini dengan mengajak pembaca yang budiman untuk membayangkan sebatang pohon. Beragam jenis pohon pun tentunya masuk ke dalam pikiran kita. Saya yakin semua yang membayangkan pohon selalu memulainya dengan warna hijau, mungkin juga ditambah dengan kerimbunan yang menyejukkan. Ya, begitulah kiranya pohon pada umumnya.

Sekarang coba bayangkan jika pohon tersebut bisa bergerak layaknya seorang manusia. Saya yakin bahwa di antara kita ada yang merasa takut, dan ada juga yang takjub. Kemudian, bayangkan jika pohon tersebut hidup seperti karakter manusia pohon dalam film fiksi berjudul “The Lord of The Rings”.

Dalam salah satu cuplikan film tersebut, tampil sesosok manusia pohon atau dikenal sebagai bangsa “Ent” dan ent yang menjadi sorotan bernama Treebeard. Manusia pohon ini tampil sebagai makhluk yang baik hati, kebaikannya tersebut terlihat ketika dirinya memperlakukan dua orang hobbit yakni Mery dan Pippin dengan begitu ramah. Walaupun pada dasarnya kedua hobbit ini menginginkan Treebeard dan bangsanya untuk menyerang sekumpulan makhluk buruk rupa atau yang dikenal sebagai “Orc”. Treebeard pun selalu mencoba menghindari obrolan mengenai orc. Dalam film ini, digambarkan bahwa bangsa ent ingin hidup damai tanpa peperangan.

Namun Treebeard yang baik hati pun murka karena provokasi kedua hobbit yang memancingnya untuk melewati sebuah jalan menuju ke area hutan yang telah dibabat habis oleh bangsa orc. Melihat kondisi pohon-pohon yang mengenaskan, Treebeard pun kemudian memanggil kelompoknya untuk memberikan pelajaran kepada bangsa orc yang telah melakukan perbuatan buruk kepada hutan.Dari kisah ini, saya pun lantas membayangkan, apa jadinya jika pohon-pohon di sekitar kita hidup layaknya bangsa ent? Lalu, bagaimana nasib manusia yang kerap merusak hutan? Apakah mungkin pohon-pohon tersebut akan marah dan membalaskan dendam rekan-rekannya ketika tahu bahwa banyak hutan telah hilang?

Politik Hutan

Apa yang saya bayangkan tentu adalah imajinasi belaka, karena pada kenyataannya, hutan beserta satwa di dalamnya tidak punya akal sehat layaknya seorang manusia. Oleh karena itu, manusia yang berakal dapat melakukan apa saja, baik itu melindungi ataupun merusak hutan dan seisinya.

Seiring berjalannya waktu, populasi manusia semakin bertambah. Kebutuhan atas lahan pun tidak bisa dihindari. Alhasil, hutan-hutan pun dialihfungsikan untuk menjawab semua kebutuhan manusia. Faktanya, negara-negara maju di dunia telah lama membabat hutannya untuk membangun perekonomian tanpa memikirkan dampak yang terjadi. Setelah dampak dari pembabatan hutan mulai dirasakan, penyesalan pun seolah tidak ada artinya.

Di satu sisi, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seolah terdesak dengan tuntutan global. Jika tidak menebang pohon, ekonomi pun sulit berkembang. Sementara jika pohon-pohon di hutan ditebang (deforestasi), kualitas hidup akan buruk, bukan hanya berdampak di dalam negeri, melainkan juga secara global. Inilah yang disebut kutukan sumber daya alam. Paradoksnya yakni negara-negara yang kaya akan SDA terjerat dalam lambannya pertumbuhan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, banyak negara di dunia telah sepakat untuk berkomitmen menjaga hutan. Kesepakatan tersebut pun salah satunya menghasilkan mekanisme carbon trading atau jual beli karbon. Sederhananya, negara-negara maju harus membeli karbon yang dihasilkan oleh hutan milik negara-negara yang kaya akan SDA karena telah berkomitmen untuk menjaganya.Namun, banyak pihak menilai mekanisme carbon trading tersebut adalah mekanisme yang tidak adil. Mekanisme tersebut seolah menghilangkan tanggungjawab lingkungan negara-negara yang telah merusak hutan.

Logikanya, dengan mekanime ini, negara-negara maju seolah sedang menebus dosa kejahatan mereka atas lingkungan dengan sejumlah uang. Hal ini jelas dianggap tidak ada bagi sebagian pihak. Terkait dengan konteks tersebut, hemat saya, kebijakan politik yang tepat adalah kunci penyelamatan hutan dunia. Pemimpin-pemimpin dunia harus terlebih dahulu memiliki komitmen yang kuat untuk menyelamatkan hutan. Komitmen tersebut terwujud dengan berbagai kebijakan yang adil bagi semua pihak.

Negara maju yang dosa atas kerusakan lingkungannya besar, harus membayar sejumlah uang sebagai upaya mendukung negara-negara yang kaya akan hutan untuk menjaga asetnya tersebut. Hal itu juga harus diimbangi dengan komitmen untuk menjaga hutan yang tersisa dan juga memulihkan hutan-hutan yang telah rusak. Sedangkan negara-negara yang kaya akan SDA, harus menerapkan prinsip membangun dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan, bahkan jika perlu mereka harus mendorong pembangunan tanpa merusak atau tanpa deforestasi. Dalam konteks ekonomi hijau, semakin rendah deforestasi, maka pertumbuhan ekonomi semakin berkualitas.

Sebagai manusia, memanfaatkan hutan untuk kepentingan bersama adalah hal yang wajar. Pohon-pohon yang berkumpul menjadi hutan pada hakikatnya adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dimanfaatkan dengan bijak. Tentu pemanfaatannya harus jelas dan harus sesuai dengan pertimbangan dampak lingkungan yang hadir bersamaan dengan pemanfaatan hutan tersebut. Kini, nasib pohon-pohon di dunia ada di tangan manusia. Mau terbakar, mau digunduli, atau mau dikelola dengan baik, semua keputusan ada di tangan para elite politik. Pemimpin politik yang cerdas tentu akan belajar dari pengalaman banyak negara, bisa jadi dari pengalaman negara-negara yang kini menyesal karena merusak hutannya, atau belajar dari negara-negara yang kini konsisten untuk menjaga hutannya.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 18 November 2019.

Related Article

id_IDID