Sebuah momen di mana pemikiran serta tindakan khalayak terpukul telak hingga terkoyak, yaitu dengan hadirnya pandemi covid-19. Entah kehadirannya merupakan cara alam merespon berbagai ulah penghuninya atau memang disengaja oleh makhluk yang katanya wise species itu sendiri. Terlepas dari hal tersebut sejauh jangkauan pandangan kaca mata pribadi, saya melihat hal ini merupakan objek sebagai sebuah refleksi serius dan pengalaman berharga sebagai momentum untuk melihat kembali hubungan kita antar sesama ciptaan-Nya.
Jika benar pengalaman adalah guru terbaik, mulai sekarang dan mungkin seterusnya, pandemi ini merupakan analogi tersebut yaitu sebagai guru yang memberikan begitu banyak pelajaran untuk dimaknai sebagai modal untuk hari-hari berikutnya. Momen sepanjang 2020 yang terjadi sekadar mewakili banyaknya mata pelajaran yang diberikan untuk dipelajari dan dimaknai serta menjadi PR kita bersama, Manusia.
Mata Pelajaran Pertama
‘Serumah’, alam merupakan kakak sulung bagi adiknya manusia yang dalam keseharian mereka begitu tak harmonis satu sama lain. Sang kakak menghendaki ketenangan, tapi lupa kalau punya adik amat rewel yang mengusiknya terus-menerus. Mengetahui sang adik dengan kenakalannya, sang sulung pun abai dan bersabar. Si bungsu dengan usilnya memanfaatkan hal tersebut dengan bermain sesuka hati lalu mengesampingkan dan melupakan bahwa si sulungnya, hadir. Karena merasa bosan dan kesepian, si bungsu pun mengundang beberapa koleganya. Dalam aktivitas bermain mereka, timbullah beberapa masalah dalam lingkungan ‘rumah’.
BACA JUGA: Bencana Iklim dan Peluang Ekonomi Hijau
Melansir dari World of Buzz: “The World is Dying” – It’s Only January 2020 But 7 Natural Disasters Already Recently Happened, dimulai Januari 2020 kejadian pertama yang terjadi di ‘rumah’ yaitu berada di ruang Asia Tenggara yaitu Filipina, di mana terjadi letusan gunung.
Hal kedua yaitu terbakarnya ruangan ‘rumah’ di bagian Selatan, yaitu Australia. Kenaikan suhu udara yang drastis dan bencana kekeringan parah makin memperburuk situasi di Australia yang dilanda kebakaran hutan dan semak yang hebat. Kebakaran tersebut telah menewaskan lebih dari 500 juta hewan dan menjadikan koala terancam punah. Ketiga yaitu imbas dari kebakaran yang terjadi di Australia, gletser di Selandia Baru berubah menjadi kecoklatan setelah terkena debu dari kebakaran yang terjadi, dan dapat menyebabkan gletser mencair hingga 30 persen.
Kemudian hal berikutnya yaitu perubahan iklim yang terjadi begitu cepat di bagian pegunungan Himalaya. Hal tersebut telah menyebabkan pencairan gletser Himalaya yang menimbulkan peningkatan pertumbuhan vegetasi semak dan rumput di kawasan pegunungan. Kekacauan selanjutnya yaitu banjir. Biasanya sangat jarang terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab. Curah hujan ekstrem yang terjadi di sana dampak dari perubahan iklim.
Kegaduhan lainnya yang serupa di Dubai, yaitu banjir di Jakarta. Memang hal ini merupakan bencana tahunan yang terjadi di ibu kota Indonesia. Meski dianggap lumrah, banjir kali ini dianggap yang terburuk selama dekade terakhir dan telah merenggut 66 korban jiwa saat itu. Lalu kejadian selanjutnya yaitu badai hebat yang melanda Negara Bagian Texas, Alabama, dan Louisiana USA, yang merenggut 11 korban jiwa saat itu.
Gelombang badai dahsyat di wilayah selatan Amerika Serikat juga banyak dihubungkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. Berbagai kejadian tersebut yang diakibatkan perubahan iklim, kiranya juga merupakan tanda warning bagi kita mengingat hal ini betapa disepelekannya, tapi begitu seriusnya dampak yang dirasakan.
BACA JUGA: Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan)
Seraya dengan uraian di atas, mengutip jurnal Nature Climate Change yang dipublikasikan para peneliti dari ETH Zurich yang dilansir dari National Geographic Indonesia, hasilnya menunjukan bahwa suhu dunia jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan, setiap hari sejak Maret 2012. Sederet kejadian tersebut hanya rangkuman saat bulan Januari 2020 berlangsung, dan bulan serta tahun-tahun berikutnya masih menanti.
Mata Pelajaran Kedua
Semenjak 2020 bergulir, ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan para pemangku kepentingan. Salah satunya yang mengundang perhatian publik yaitu perihal Omnibus Law. Publik menilai kebijakan ini justru menambah sengsara para kaum pekerja, masyarakat kecil, serta dirampasnya ruang hidup. Pekerja, bekerja, mempekerjakan, pekerjaan, bukankah seharusnya merupakan suatu ekosistem yang mutualisme? Letak keadilannya untuk masyarakat kecil patut diragukan dalam konteks kebijakan tersebut. Teruntuk elit mungkin iya tak diragukan lagi. Dari sisi efisiensinya tentang investasi memang bagus nan manis, tapi terhadap rakyat kecil efeknya sangat teramat bengis.
Pekerjaan Rumah
Berbagai uraian pelajaran di atas mengarahkan kita ke pekerjaan rumah bersama demi nilai kehidupan yang lebih layak. Era disrupsi saat ini pun menstimulus kita agar bisa lebih peka terhadap berbagai permasalahan, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Berdasarkan mata pelajaran kedua di atas, sudah redupnya sense of humanity then just they just care about profit bagi segelintir 1% para elit di Ibu Pertiwi ini. Berbagai program pembangunan berkelanjutan harus terus digalakkan, dengan tidak melupakan makna dari Triple Bottom Line, yang menyelaraskan Profit, People, dan Planet.
Sebagai tunas muda yang nantinya akan menyambut bonus demografi, mari kita berkarya mandiri serta berekspresi dan berkreasi dengan cara otentik masing-masing untuk mengimbangi aktivitas keseharian kita, salah satunya bisa dimulai dengan cara menerapkan pola hidup yang ramah lingkungan dalam setiap aktivitas keseharian kita masing-masing, Karena percuma menggalakan ide jika para pemangku wewenangnya pun apatis dalam meresponnya.
Dan pada akhirnya jangan melupakan hal yang sederhana tapi justru fundamental agar kembali terciptanya equilibrium dalam ekosistem kita bersama, yaitu harus serius dalam memaknai kembali apa itu “Humanis nan Harmonis”.
Oleh: Mersondy Adrian
Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi Manado