Madani

Tentang Kami

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Jakarta, 2 Juli 2019 – Pemerintahan Jokowi jilid II harus lebih serius dan tegas dalam menunjukkan kepemimpinan politik untuk memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia, salah satunya dengan memperkuat implementasi restorasi gambut saat ini dan pasca-2020. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kepatuhan korporasi, meningkatkan pengawasan, serta melakukan penegakan hukum yang tegas. Karena Indonesia adalah kunci penyelamatan iklim dunia.

Selain penguatan restorasi gambut, pelaksanaan kebijakan moratorium hutan (yang rencananya akan dipermanenkan), evaluasi perizinan melalui implementasi moratorium sawit, serta perhutanan sosial adalah kunci untuk mencapai komitmen iklim Indonesia di tahun 2030 agar Indonesia bisa kembali memimpin di meja perundingan internasional. Penguatan ini penting mengingat masih terdapat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang ditargetkan oleh Indonesia dengan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Karhutla di Momentum Politik: Saat Ini & Pasca Tahun 2020” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Indonesia membutuhkan penguatan sejumlah kebijakan apabila benar-benar ingin mencapai target penurunan emisi dengan moratorium hutan dan restorasi gambut sebagai kebijakan paling besar dampaknya terhadap penurunan emisi,” sambung Teguh.

Kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi masih menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan komitmen iklim dan sekaligus indikator apakah restorasi gambut telah dilakukan dengan tepat dan masif sebagaimana diperintahkan dalam Perpres No. 1 tahun 2016. Kajian Madani bersama Kelompok Advokasi Riau (KAR) di wilayah Riau pada kurun waktu Januari-Maret 2019 menunjukkan bahwa terdapat 737 hotspot di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Dan diperkirakan area terbakar seluas 5.400 ha di wilayah konsesi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena merujuk pada data KLHK, kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia tahun 2015.

“Secara historis, ada konsesi-konsesi yang terus terbakar setiap tahunnya, setidaknya sejak tahun 2015. Di lokasi ini, kami juga tidak menemukan adanya upaya restorasi sebagaimana yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016,” papar Rahmaidi Azani, GIS Specialist dari Kelompok Advokasi Riau (KAR).

Kajian ini dilakukan dengan melakukan analisis hotspot di Provinsi Riau menggunakan data dengan tingkat kepercayaan tinggi (≥ 80%) dan investigasi lapangan untuk menelisik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode Januari-Maret 2019.

Prof. Bambang Hero, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menegaskan bahwa yang paling penting dilakukan adalah memastikan bahwa korporasi benar-benar telah melakukan upaya restorasi gambut dengan mengikuti standar yang ada. Itu adalah kunci untuk mengawal agar target penurunan emisi 2030 tercapai.

“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya di tahun ke-4 konsesinya sudah direstorasi. Kenyataannya, wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Ini harus segera dicari penyelesaiannya,” tandasnya. “Dalam memastikan kepatuhan korporasi, BRG dan KLHK seharusnya bersinergi seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi.”

Sementara itu, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsesi sawit dan HTI yang kembali terbakar di Riau.

“Titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tapi selalu ada pemicunya, salah satunya adalah konflik. Jika kita mau menyelesaikan karhutla, kita harus menyelesaikan konfliknya juga. Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” ujar Inda.

“Mengingat mandat BRG yang wilayahnya luas, komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, dan jaringan masyarakat di daerah harus dikuatkan. Sinergi agenda BRG dan jaringan masyarakat harus diakselerasi. Selain itu, Nota Kesepahaman dengan RSPO harus ditindaklanjuti karena banyak perusahaan yang punya konsesi di wilayah prioritas restorasi adalah anggota RSPO,” tambahnya.

Pemerintahan Jokowi Jilid II hanya memiliki waktu sekitar satu tahun untuk menyusun strategi penguatan dan akselerasi restorasi gambut pasca-mandat BRG berakhir tahun 2020. Kepemimpinan politik yang tegas dari Presiden, wewenang yang memadai, serta kelembagaan yang kuat adalah syarat mutlak untuk memecahkan permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang sudah terpola selama berpuluh-puluh tahun melalui restorasi gambut.

“Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi Jilid II, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yaitu memperkuat implementasi restorasi gambut sekarang dan pasca2020 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum, menjalankan evaluasi perizinan yang dipertegas melalui implementasi moratorium sawit untuk mencegah hilangnya pendapatan negara, dan mempermanenkan serta memperkuat kebijakan moratorium hutan,” tutup Teguh.

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Rahmaidi Azani, GIS Specialist, Kelompok Advokasi Riau (KAR)
0813 7182 2940
comet.azani@gmail.com

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar bidang Perlindungan Hutan IPB
0816 1948 064
bhherosaharjo@gmail.com

Related Article

id_IDID