MARRAKESH, KOMPAS — Indonesia membeberkan langkah-langkahnya saat diberi kesempatan berbicara dalam pertemuan tingkat tinggi Konferensi Perubahan Iklim Ke-22 di Marrakesh, Maroko. Jakarta pun berpandangan agar Perjanjian Paris dijalankan serius dan mencegah negosiasi ulang. Di sisi lain, Indonesia perlu lebih berani memimpin dalam menghimpun negara-negara dalam penerapan Persetujuan Paris.
“Indonesia menyiapkan pedoman untuk implementasi Perjanjian Paris. Penting bagi semua pihak untuk menjaga pemahaman keseimbangan demi mencegah dari renegosiasi perjanjian,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Rabu (16/11). Hal itu dipaparkan saat mewakili Indonesia memberikan pernyataan pada pertemuan tingkat tinggi Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) Ke-22, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Ichwan Susanto, di Marrakesh. Ia menunjukkan Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada 31 Oktober 2016 dan mendaftarkan komitmen penurunan emisi nasional pertama pada 6 November 2016. Hal itu dilakukan sebagai mandat konstitusi Indonesia terhadap perlindungan hak warga negara mendapat lingkungan sehat. “Kami berkomitmen meningkatkan aksi menuju 2020 dan mengimplementasikan komitmen pasca-2020,” ujarnya.
Sejauh ini, Indonesia menjalankan kebijakan yang memberikan dasar kuat bagi pelaksanaan Persetujuan Paris. Kebijakan itu antara lain penguatan kebijakan Satu Peta, pelaksanaan moratorium izin kehutanan pada hutan primer dan gambut, peninjauan ulang perizinan di rawa gambut, restorasi ekosistem gambut, dan alokasi 12,7 juta hektar perhutanan sosial.
Disusun bersama
Berbagai kebijakan itu disusun bersama para pengampu kepentingan, seperti akademisi dan masyarakat sipil. Itu agar langkah pemerintah seiring peningkatan kesejahteraan warga sekitar hutan di lebih dari 30.000 desa.
Siti menegaskan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan dan konservasi stok karbon REDD+). Di sektor energi, Indonesia membangun sumber energi bersih dan bauran energi 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050, penggunaan batubara 30 persen pada 2025, dan 25 persen pada 2050.
Menanggapi pidato Menteri LHK RI itu, Yayasan Madani berpandangan Indonesia sebagai negara kepulauan besar yang rentan terhadap bencana atau dampak perubahan iklim lupa menegaskan kendala besar dalam negosiasi. “Pemenuhan tanggung jawab historis negara maju menurunkan emisi domestik secara radikal, khususnya Pre 2020, karena fase itu menentukan untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius,” kata Muhammad Teguh Surya, aktivis Yayasan Madani, di Maroko.
Satu hal lagi, katanya, Indonesia seharusnya mendorong komitmen negara maju untuk mendukung adaptasi, terutama dari segi pembiayaan. Sebab, orientasi negara maju saat ini hanya pada keluaran mitigasi dalam Persetujuan Paris.